Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Hibernasi

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...

Konvensional, Inovatif, dan Eksentrik

Lawan kata konvensional adalah eksentrik. Cuma di dunia pendidikan, lawan dari konvensional bukan itu, tapi inovatif.  Sekarang, dua kata tersebut seperti tom and Jerry, selalu ditandingkan dan dipermusuhkan. Yang tidak inovatif, berarti dia konvensional. Yang konvensional, ia tidak mau belajar. Begitu kira-kira. Berarti perkembangan pendidikan itu soal melihat waktu, karena inovatif dan konvensional adalah dua kata yang konteksnya dihubungan dengan waktu. Inovatif itu sekarang. Konvensional itu masa lalu. Ibaratnya, para guru yang dulu-dulu itu konvensional. Sedangkan guru-guru sekarang, yang notabene mudah-mudah, itu inovatif. Atau bisa juga, inovatif itu pembelajaran masa sekarang. Konvensional itu pembelajaran masa lalu. Kalau begitu, pembelajaran konvensional sekarang tidak berlaku, karena konvensional letaknya pada masa lalu. Membuat kata konvensional dipojokkan, seolah-olah menjadi kata jelek. Sebisa mungkin harus dijauhi. Perannya sudah mendekati sebagai kata justifikasi. A...

Kisah Sopir Grab, di Usia Senjanya, Rela Sewa Mobil di Sidoarjo, meski Rumahnya di Perak Surabaya

Waktu scroll tiktok, saya menemukan kata-kata indah dari Gus Iqdam. Ia mengatakan, entah di depan nanti seperti apa, indah atau tidak, intinya sekarang aku masih di perjalanan. Menurut saya, kata yang menarik dari quote tersebut adalah perjalanan. Diksi perjalanan selalu dipakai dan dicocokkan dengan sebuah proses.  Semacam ada kegagahan kata. Atau bisa juga sebagai kata yang digunakan untuk menggambarkan misteri, hal-hal yang belum pasti.  Berhasil apa tidak, yang penting aku berjalan, masih berproses.  Meski bertahun-tahun berjalan, kok masih saja belum sukses, lagi-lagi kata perjalanan itu dipakai. Aku belum sukses, karena aku masih dalam perjalanan. Begitu kira-kira. Namun sejatinya orang berjalan, tentu punya tujuan. Setidaknya punya tempat singgah. Berjalan terus juga capek. Apalagi sendirian. Tak punya teman ngobrol. Capek dirasakan sendiri. Sedih pun diratapi sendiri.  Perjalanan itu unik. Orang Sufi konon senang dengan laku perjalanan ini. Tapi berjalan me...

Hiperbola

  Majas itu banyak. Tidak hanya hiperbola. Diingatan siswa, hiperbola sangat melekat. Mungkin kata hiperbola mudah buat mengingatnya.  Ada dua kata yang membuat mereka gampang ingat, hiper dan bola. Hiper berarti melampaui batas. Sedangkan bola, benda yang menyerupai bulatan. Hiperbola memang melampau batas. Cenderung dilebih-lebihkan dengan maksud tertentu. Padahal hidup tidak boleh begitu. Harus sederhana, tak boleh berlebihan. Bahasa punya pengecualian. Boleh berlebihan. Apalagi untuk fiksi. Kalau tidak berlebihan, bukan fiksi namanya.  Fiksi adalah penggambaran tentang fakta. Tentang kejadian real dengan kasap mata. Tetapi ketika difiksikan, fakta butuh bahasa-bahasa majas buat penggambarannya. Seperti kata Sapardi Djoko Damono, fiksi lebih nyata dari fakta itu sendiri. Fakta kurang menarik jika hanya sekadar diceritakan.  Nembak cewek juga begitu. Bahasanya harus konotatif banget. Tidak boleh terpaku pada denotasi, karena denotasi terlalu flat, garing, dan tidak...

Memahami Teks

Belajar teks itu sulit. Dari membaca sampai menuliskannya, sama-sama sulit. Makanya, dulu waktu kuliah, empat keterampilan dasar berbahasa, masing-masing dipelajari selama satu semester. Bukan waktu yang sebentar. Enam bulan. Cukup untuk melatih orang-orang terampil yang profesional. Satu dari ketrampilan itu adalah menyimak atau mendengar. Bayangkan, bagaimana bosannya, belajar mendengar saja butuh waktu satu semester. Semakin ke sini, saya baru sadar, ternyata sepenting itu. Meski kadang-kadang tidak sedikit yang menganggapnya remeh. Buat apa belajar mendengar dan membaca saja butuh waktu sepanjang itu. Kenyataannya memang membutuhkan waktu panjang. Melek huruf sama bisa membaca itu dua sisi mata uang yang berbeda. Orang melek huruf, tidak semuanya tahu cara membacanya. Padahal membaca ini keterampilan penting berbahasa. Bagaimana orang itu bisa memahami apa yang ia baca, jika ia terus-terusan salah membacanya. Hasilnya fatal, pembaca bisa salah paham dengan apa yang ia baca. Kemudia...

Pengalaman Mengurus Jenazah di Perumahan, Sebuah Kematian yang Penting untuk Direncanakan

  Kehidupan di perkotaan memang sangat berbeda dengan di pedesaan. Dari suasananya, budaya masyarakatnya, atau sampai pada cara bersosial mereka.  Pendapat saya ini tidak muncul di satu kota saja, karena di beberapa kota yang sempat saya kunjungi, rata-rata menunjukkan hal yang serupa. Saya kecil di desa dengan budaya masyarakat pedesaan. Cara berpikir mereka sedikit banyaknya saya tahu. Dari bagaimana cara mereka menyikapi suatu masalah, sampai memperlakukan masalah itu. Tetapi poin yang saya ceritakan ini lebih ke dimensi-dimensi bagaimana mereka bersosial. Terutama berhubungan dengan para tetangga dan lingkungan sekitar. Saat itu, semenjak Covid ke dua, suasana di Surabaya sangat mencekam. Setiap hari, tidak kenal waktu, para ambulans berkeliaran di jalanan. Sambil sirinenya dibunyikan, ambulans itu melaju cepat. Kemudian di bagian belakang mobil, coba saya perhatikan ternyata banyak perawat yang memakai baju hazmat. Artinya, kalau bukan pasien Covid, pasti itu pasien k...

Tentang Keruwetan dan Ketidaklogisan

  Menjadi editor bahasa merupakan pekerjaan yang sulit. Butuh keterampilan khusus dan kejelian tinggi, baik mata dan perasaan. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan ini.  Banyak penerbit yang mempunyai syarat khusus ketika melakukan perekrutan profesi ini, salah satunya harus pernah berkuliah di bidang bahasa atau sering-sering membaca buku fiksi. Saya pernah melakukan pekerjaan ini. Meski tidak lama, tapi berkesan. Sungguh tidak mudah. Tidak bisa instan. Tidak bisa juga dilakukan sejam dua jam. Kalau halamannya banyak, bisa berhari-hari.  Belum lagi misalnya si penulis tidak cocok dengan hasil editingnya, bisa jadi masalah. Editor harus mengecek ulang lagi per halamannya. Suatu hal yang membosankan, melakukan pekerjaan sama yang diulang-ulang. Tapi saya coba ambil hikmah dari pekerjaan itu. Konon, setiap kesengsaraan, pasti ada hikmahnya, tetapi tidak perlu juga orang harus sengsara dulu baru dapat hikmah.  Susah atau tidak, selama orang punya kemampuan analisi...

Kuliah Adalah Salah Satu Cara Menguji Keberuntungan Kita

Di sekolah tempat saya mengajar, beberapa hari yang lalu membuat acara Campus Expo. Acara itu bertujuan memfasilitasi para siswa agar mereka punya lebih banyak referensi kampus sebelum mereka melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Acaranya sangat meriah. Sangat berbeda dengan Campex zaman saya sekolah dulu. Zaman saya konsepnya sederhana. Alumni yang datang juga tidak begitu banyak. Di sekolah lain biasanya dibedakan antara kampus satu dengan kampus lain. Di beri batas pemisah untuk menandakan asal kampusnya. Di zaman saya tidak.  Konsepnya general, karena tidak banyak juga alumni yang kuliah. Maklum, sekolah kejuruan. Fokusnya tidak kuliah, tapi kerja. Jadi respon mereka biasa saja saat melihat para kakak kelasnya memakai almamater kebanggaannya. Tidak seperti anak SMA pada umumnya. Mungkin dari situ, saya dulu tidak terlalu merasa bangga dengan jas almamater yang saya pakai.  Karena dengan kebanggan, kita berpeluang besar jadi jumawa, sebab kita sudah siap bahannya. Tinggal mem...

Nilai Barang Lama

Jika dibanding laptop-laptop lain yang umurnya sekitar 5-10 tahun, laptop saya tidak berarti apa-apa. Umurnya hanya sekitar 7 tahunan. Tidak sampai puluhan tahun. Saya beli sebelum masuk kuliah tahun 2016-an.  Itu pengalaman pertama saya beli, sekaligus punya laptop. Untuk sekadar memegang, saya pernah, tetapi belum memiliki. Maklum, selama sekolah tidak membutuhkan. Tidak apa-apa tidak punya, yang penting tahu cara memakainya. Pada satu momen, saya merasa sangat beruntung punya laptop itu. Benda ini sangat menolong pekerjaan saya sehari-hari. Meski tergolong laptop lama, jadul. Pernah sekali ganti LCD, jatuh berkali-kali, dan dua kali ganti keyboard, tapi tetap bandel.  Ibarat anak nakal, pakai nasihat apa saja, pasti sulit sadar. Peristiwa laptop di atas adalah nasihat agar bisa berhati-hati memakai barang berharga nominal. Selama bisa memberi manfaat, harganya bukan lagi nominal, tetapi nilai value. Tidak kalah dengan laptop-laptop model sekarang, canggih-canggih, bahkan le...

Sepeda Kenangan

Lama sudah saya tak memakai sepeda ini. Kalau soal usia, kalian tidak perlu tanya. Mengapa begitu? Tradisi keluarga saya, sepeda itu dipakai secara bergantian dan turun temurun. Habis dipakai saudara, lanjut saya pakai, tentu setelah ada sepeda baru yg sudah dibeli. Sepeda ini awal mulanya dipakai sama paman untuk mobilitas kerja, karena jarak kosan ke tempat kerjanya tidak terlalu jauh. Daripada pakai motor, mending naik sepeda ini. Itung-itung juga sekalian berolahraga. Selepas bosan tak terpakai dan nganggur lama, akhirnya sepeda ini diwariskan ke kakak saya. Setelah Kakak saya, lalu turun ke saya sampai sekarang. Waktu saya kuliah, sepeda ini sempat tak terawat hampir 2-3 tahunan di rumah. Peleknya berkarat, bannya bocor, dan kerangkanya penuh kotoran. Kemudian setelah ada pandemi awal dulu. Sepeda ontel mulai diramaikan lagi. Saya memutuskan untuk memperbaikinya. Dari membersihkan kerangkanya sampai mengganti ban yang baru. Tapi saat itu, penggunaan saya tidak terlalu jauh. Hanya ...

Memaknai Rasa Cukup

Apa sih cukup itu? Sepintas pertanyaan dasar saya saat melihat cuplikan video dialog Sabrang dengan Habib Husein Ja'far di YouTube beberapa hari lalu. Di berbagai macam media sosial pun juga sudah booming video itu. Dengan pembawaan santai, Sabrang menyajikan kegelisahan usang, tapi dibarengi cara berpikirnya yang logis dan cukup diterima akal sehat. Terutama soal penyadaran. Di ranah tersebut memang kita butuh mulut dan cara berpikir orang lain. Mungkin itu salah satu wujud sifat sosial manusia, saling bergantung. Tidak usah terlalu dirumitkan, cukup bahasanya kita pinjam sebentar. Bila lupa bisa diputar lagi. Misalnya sajian motivasi dari motivator ulung akan habis mengubah semangat, pandangan, dan cara berpikir kita. Maklum saja, sadar dan tak sadar memang banyak keadaan yang tidak jelas bagi kita. Kalau jelas, tentu kita tak perlu ambil pusing menunggu masukkan orang lain. Pikiran kita sebenarnya simpel dan kompleks, hanya saja kadang kita berpikir terlalu rumit sehingga menamb...

Pilihan Menu Makan saat Perjalanan Pulang

Seperti biasa. Dalam rangka menjalani rutinitas seminggu sekali pulang ke Lamongan, sering saya di tengah perjalanan mampir ke warung makan yang ada di pinggir" jalan. Jarang sekali direncanakan warung mana yang akan jadi rujukan. Random saja. Itu juga tidak selalu makan, bergantung kondisi perut. Kadang hanya sekadar ngopi sebentar sambil melepas penat sehabis menyaksikan rumitnya kemacetan di jalanan. Pulang kali ini berbeda. Sengaja saya rencanakan mau mampir ke mana. Saya coba ingin makan mie ayam Arge di Manyar Gresik. Sudah lama saya tidak makan mie ini. Kebetulan pulang dan ingat, maka segera saya langsung merencanakan ke sana. Tempatnya sangat mudah dicari. Kalau dari arah Surabaya atau Gresik Kota, tepat depan Polsek Manyar, coba tengok ke arah kanan, ada warung kecil berwarna kuning bertuliskan Mie Ayam Arge. Itu tempatnya. Porsi mienya sangat banyak. Saya sarankan kalau makan di situ, perut kalian harus benar-benar kosong. Kalau berisi, saya pastikan tidak habis. Beda l...

Memahami Waktu Orang Lain

Saya mau mengutip omongannya Mas Sabrang beberapa waktu lalu saat mengisi seminar di salah satu organisasi keterpelajaran. Ia menggambarkan, penyakit orang moderen terletak pada otaknya. Efeknya, kita sering punya cara berpikir terpecah", terkotak", dan terlalu rumit mengolah sesuatu yang mudah. Ia mengatakan, penyebabnya karena orang sekarang sulit mengistirahatkan otak. Bekerja terus sampai tak kenal lelah. Di berbagai bidang, bahkan di mana saja, metode mengistirahatkan seperti ini hampir tidak ditemui, bahkan tak diajarkan. Padahal, untuk benda saja jika selalu bekerja, benda itu akan cepat rusak. Apalagi dengan otak. Kerusakannya bisa fatal. Bila rusak, kita tak bisa menggantinya dengan beli otak baru. Sama halnya seperti sifat manusia, cenderung suka bosen dengan hal yang monoton. Saya rasa otak juga sama. Berpikir monoton terhadap satu objek permasalahan itu juga membuat otak mudah melakukan perlawanan. Otak perlu diistirahatkan dengan sengaja. Berpikir itu baik, tapi ...

Ilmu dan Penyikapannya

  Sebagai orang yang pernah mencicipi lingkungan pondok, meski tidak ikut mondok, saya sedikit tahu bagaimana budaya mereka. Dari cerita-cerita teman, melihat sendiri waktu mereka di pondok, dan sekarang, untuk mengetahui lingkungan pondok, orang tidak perlu terjun langsung ke lokasi, cukup melihat di media sosial sudah bisa. Di sana banyak sekali cuplikan video yang memperlihatkan keanekaragaman hubungan sosial di pondok. Cuma, tahunya hanya sebatas tahu, tidak benar-benar punya pengalaman orisinil. Kultur budaya paling kentara yang coba saya deskripsikan adalah kebiasaan mengantuk para santri. Reliatanya tentu bukan hanya itu budaya mereka. Pastinya beragam dan berwarna. Ini saya tidak menggeneralisasikan semua santri. Kebanyakan mereka yang saya temui menunjukkan kebiasaan semacam itu. Saya pun memaklumi. Mereka seperti itu tentu dengan alasan. Karena kegiatan pondok, terutama ngajinya banyak. Tidurnya pun ikut larut malam. Hampir semua santri mengatakan hal serupa.  Karena...

Cara Menghindari Penyesalan untuk Guru Bahasa Indonesia

  Sebagai seorang pendidik dan pengajar, Basuki paham sedari awal, kalau guru adalah segalanya saat di dalam kelas. Ia tidak boleh terlihat bodoh di depan para siswanya. Ia harus tampak pintar, bahkan wajib tahu segalanya.  Seandainya ia bingung ketika ditanya siswa, cara paling jitu, sebisa mungkin ia punya jurus siasat untuk menjawab pertanyaan itu. Menghindar seperti apapun, ia tetap tidak akan bisa. Bagaimana bisa menghindar, ia berada dalam satu kelas dengan para siswanya. Semakin menghindar, maka semakin kentara. Maka ia harus berani menjawab. Ibarat perang, sebanyak apapun musuh, harus dihadapi. Entah metode menghadapinya dengan siasat atau kelicikan, yang penting itu bentuk sarana usaha untuk menghadapi masalah. Tipikal siswa itu bermacam-macam. Ada yang tahu tapi sengaja bertanya. Ada juga yang memang benar-benar tidak tahu. Kesengajaan itu punya maksud mungkin ingin sekali-kali menguji kemahiran gurunya.  Sepertinya hal itu perlu, sebenarnya bukan menguji, justr...

Menjadi Penantang dan Pengalah

Semenjak Pandemi, perhelatan sepak bola tanah air mengalami kembang kempis. Setelah vakum dengan waktu cukup lama, akhirnya laga yang ditunggu-tunggu itu mendapat angin segar. Para penggemar sepak bola Indonesia bersorak ramai menyambutnya. Tidak perlu menunggu waktu lama, puncaknya ada di piala AFF 2020 yang digelar di tahun 2021. Seolah-olah fokus mereka terpusat di sana. Dalam laga tersebut, Indonesia cukup jadi perhatian. Tidak boleh dipandang remeh begitu saja. Ia memiliki sejarah cukup baik, meski tak ada kemenangan trophy yang ia peroleh. Tetapi sejarah itu jadi penanda sekaligus pengingat. Tidak terlalu penting bagaimana sejarah negara lain. Paling penting bagaimana sejarah bangsa ini bisa tercipta, berjalan, dan terinternalisasi. Setelah itu jadi bahan pembelajaran bersama. Sebab, untuk bangkit, kita tidak butuh sejarah orang lain. Berharap memang tak ada salahnya. Sebagai warga negara yang baik, berdoa untuk kemenangan Timnas itu wajib. Tapi untuk memaksa mena...

Bagaimana Upaya Pemdes Menjadikan Miru Sebagai Sentra Petani Tanaman Hias di Gresik

Sejak krisis moneter tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi besar-besaran. Saat itu dampaknya juga berimbas ke penduduk Indonesia, terutama para pedagang kecil di sudut-sudut kota.  Nurul Huda contohnya, penjual bunga keliling di Surabaya yang memutuskan untuk pulang kampung ke Dusunnya Miru Banyurip Kedamean Gresik. Setelah pulang ia di kampung tetap konsisten berjualan bunga, tetapi sudah tidak keliling seperti di Surabaya. Cerita tersebut mengawali bagaimana sejarah Miru sekarang bisa menjadi sentra tanaman hias di Gresik. Awalnya hanya satu atau dua orang saja yang memulai usaha menjual bunga. Kemudian banyak warga yang pulang kampung, akhirnya mereka membuka usaha jual bunga di lahan seadanya yang mereka punya. Sepanjang perjalanan itu, lambat laun sampai tahun 2010, pihak dusun yang dipelopori Kepala Dusun Miru Muhammad Ismail berinisiatif membuka lahan di tanah Kas Desa (TKD) untuk dipakai warga berjualan. “Ya waktu itu saya berinisiatif ...

Kemenangan Kita untuk Siapa?

Tidak pernah saya menjumpai suatu penjelasan mengenai makna substansial dari kata lebaran. Secara tafsir budaya, tanpa kita mencari terlalu dalam makna lebaran, kita sebenarnya sudah mengerti dengan sendirinya. Kenapa orang begitu kuat keinginannya untuk mudik, lalu kenapa harus ada momen terlebih dahulu kalau hanya sekadar meminta maaf ke sesama. Dua indikator yang saya sebutkan di atas merupakan satu korelasi yang saling berhubungan kuat. Tujuannya saya coba galih agak dalam agar makna lebaran itu bisa kita raih melalui ijtihad diri kita sendiri tanpa melalui media apapun. Meski tidak terlalu presisi, tetapi kepuasan jawaban akan lebih dapat ketika kita mampu mencarinya sendiri, tanpa harus berpatokan pada siapapun. Fenomena baju lebaran yang serba baru juga tidak kalah penting untuk dicari penyebab pastinya. Bagaimana hukum budaya semacam itu bila masih ada tetangga kita yang butuh uluran tangan kita bersama. Seperti halnya hukum kenapa harus pergi haji berkali-kali, di ...