Langsung ke konten utama

Tentang Keruwetan dan Ketidaklogisan

 


Menjadi editor bahasa merupakan pekerjaan yang sulit. Butuh keterampilan khusus dan kejelian tinggi, baik mata dan perasaan. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan ini. 

Banyak penerbit yang mempunyai syarat khusus ketika melakukan perekrutan profesi ini, salah satunya harus pernah berkuliah di bidang bahasa atau sering-sering membaca buku fiksi.

Saya pernah melakukan pekerjaan ini. Meski tidak lama, tapi berkesan. Sungguh tidak mudah. Tidak bisa instan. Tidak bisa juga dilakukan sejam dua jam. Kalau halamannya banyak, bisa berhari-hari. 

Belum lagi misalnya si penulis tidak cocok dengan hasil editingnya, bisa jadi masalah. Editor harus mengecek ulang lagi per halamannya.

Suatu hal yang membosankan, melakukan pekerjaan sama yang diulang-ulang. Tapi saya coba ambil hikmah dari pekerjaan itu. Konon, setiap kesengsaraan, pasti ada hikmahnya, tetapi tidak perlu juga orang harus sengsara dulu baru dapat hikmah. 

Susah atau tidak, selama orang punya kemampuan analisis, muhasabah yang baik di setiap keadaan, dia bisa mengambil hikmah sebanyak-banyaknya.

Terminologinya begini, tulisan itu mencerminkan bagaimana penulisnya. Ada yang mengatakan, saya lupa siapa namanya, dia berkata, kalau ingin tahu karakter seseorang, bisa dilihat dari tulisan tangannya. Mungkin itu latar belakang kenapa ada ilmu Grafologi. Ilmu yang mempelajari tipologi tulisan manusia.

Itu hanya soal tulisan. Beda lagi soal struktur kalimatnya. Dalam soal UTBK untuk masuk kuliah kemarin, saya menemukan soal kalimat logis dan tidak logis. Dalam bahasa, ada dua ketegori kenapa kalimat bisa dikatakan tidak logis. 

Pertama karena struktur gramatikal atau kedudukan fungsinya tidak jelas. Kedua, karena makna kalimatnya tidak logis. Istilah lainnya tidak bisa dimaknai. Padahal syarat sah sebuah kalimat harus punya makna. Minimal terdiri dari dua fungsi, yaitu subjek dan predikat.

Ada kemungkinan lain, kenapa orang kalau nulis semrawut tidak bisa dimaknai, kalimatnya tidak sesuai strukturnya, subjek predikatnya tidak jelas. 

Kemungkinan yang paling mendasar adalah bisa jadi karena pikiran si penulis sedang ruwet. Orang kalau ruwet, daya analisisnya berkurang. Yang salah bisa jadi benar, dan sebaliknya.

Saya pernah menemukan tulisan seperti itu. Jika bukan milik teman sendiri, mungkin saya akan mengembalikan naskah buku itu ke penulisnya. 

Sadar atau tidak, membaca tulisan yang amburadul, membuat saya khawatir tulisan yang saya buat pasca membaca tulisan itu akan sama karakternya, karena apa yang kita baca pelan-pelan terekam otomatis dalam otak kita.

Saya coba mengalahkan ego itu, karena terhitung waktu itu masih pemula. Tapi tidak apa-apa, hitung-hitung buat pembelajaran. Sekitar sebulanan saya selesaikan. 

Setelah selesai, rasanya seakan-akan nggak pingin mau tahu lagi soal bukunya. Sampai di penerbit atau belum. Dicetak atau masih dianggurin, saya nggak pingin kepo. Rasanya pingin jauh-jauh dari tulisan itu. 

Beberapa hari kemarin, saya bertemu lagi dengan penulisnya di sebuah acara. Sambil basa-basi, saya tanya perkembangan bukunya bagaimana. Dia bilang sudah terdokumentasikan dengan baik. 

Saya syukur mendengar hal itu. Saya tanya balik, apakah tidak mau menerbitkan lagi. Dia bilang akan menerbitkan buku baru, tetapi rencananya tidak perlu pakai editor.

Sambil cerita, ia menunjukkan sebuah fitur AI, tugasnya mengedit teks yang amburadul. Bahkan fiturnya sudah canggih. Ia bisa menambahkan dan mengurangi tulisan. 

Tulisan bagus bisa dibaguskan lagi. Tulisan jelek, bisa diparafrasakan dengan baik. Jangan ditanya apa fiturnya. Waktu itu saya tidak melihat jelas. Jadi lupa.

Kalau begini, pelan-pelan kerja editor tersingkir. Orang bisa menggunakan fitur itu dengan mudah, kapan saja dan di mana saja. Kok rasa-rasanya semakin ke sini nilai seorang manusia tidak terlalu begitu berharga. Murah banget. Bahkan bisa ditawar.

Dalam beberapa bidang mungkin tidak jadi soal kalau diganti. Tapi dalam bidang lain mau nggak mau seharusnya ada beberapa sektor yang wajib diisi manusia. 

Salah satu contohnya di sektor guru. Meski kita kebanjiran pengetahuan, namun fungsi guru jangan dilupakan. Sebab, ilmu tanpa guru juga berbahaya, Karena mereka yang mengajarkan nilai, bukan hanya sekadar pengetahuan yang bersumber dari informasi-informasi.

Saya tidak bisa membayangkan jika suatu saat nanti semua pengetahuan didasarkan pada informasi semu tanpa tuntunan. Pasti pengetahuan itu hanya sekadar pengetahuan. 

Tidak menjadi sumber nilai untuk kehidupan. Makanya, kita perlu kehadiran guru, meski hanya untuk sekadar penuntun, tapi kesanggupan menuntunnya itu yang tidak dimiliki AI.

Secara sifat mungkin tidak jauh beda dengan manusia. Tidak semua manusia yang ada di sekeliling kita, nantinya bakal hadir mengingatkan dan peduli. Ada kalanya, kehadirannya hanya sekadar hadir, tapi tidak dengan kepedulian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...