Seandainya ia bingung ketika ditanya siswa, cara paling jitu, sebisa mungkin ia punya jurus siasat untuk menjawab pertanyaan itu. Menghindar seperti apapun, ia tetap tidak akan bisa. Bagaimana bisa menghindar, ia berada dalam satu kelas dengan para siswanya. Semakin menghindar, maka semakin kentara.
Maka ia harus berani menjawab. Ibarat perang, sebanyak apapun musuh, harus dihadapi. Entah metode menghadapinya dengan siasat atau kelicikan, yang penting itu bentuk sarana usaha untuk menghadapi masalah.
Tipikal siswa itu bermacam-macam. Ada yang tahu tapi sengaja bertanya. Ada juga yang memang benar-benar tidak tahu. Kesengajaan itu punya maksud mungkin ingin sekali-kali menguji kemahiran gurunya.
Sepertinya hal itu perlu, sebenarnya bukan menguji, justru guru harus bersyukur, melalui siswanya, guru bisa menguji dirinya sendiri. Meski di awal belum tahu jawabannya, cuma bisa digunakan sebagai sock Terapy, itung-itung tes mental.
Dari situ Basuki berpikir, artinya di ruang kelas, guru dan siswa itu bebas. Guru setidaknya mempersilahkan siswanya bertanya apapun. Soal pertanyaannya menguji atau tidak, yang pasti namanya pertanyaan, pasti sifatnya menguji. Meski didasari dengan ketidaktahuan, tetapi yang dibutuhkan siswa hanya jawaban. Sedangkan harapan jawaban itulah menjadi sebuah ujian bagi guru.
Bisa dipastikan pula, bilamana ada seorang guru dalam proses pembelajarannya tidak menyediakan ruang bertanya, maka bisa dikira-kira, guru itu memang sengaja menutup dirinya. Membatasi pengetahuannya. Kurang berani menguji dirinya.
Basuki adalah seorang guru Bahasa Indonesia. Konon, pelajaran ini jadi momok menakutkan bagi banyak orang. Ada yang mengatakan sulit, repot, sukar, dan sebagainya. Padahal itu bahasa nasional, tapi kenapa masyarakatnya sendiri bisa kerepotan mempelajarinya? Itu pertanyaan besar yang bisa dijawab sendiri-sendiri.
Beberapa Minggu lalu, Basuki sempat mengikuti program tryout yang diadakan sekolahnya. Pesertanya adalah guru-guru pengampu mata pelajaran yang diujikan di UTBK pada umumnya. Contohnya: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Biologi, Geografi, dan lain-lain.
Dari awal, perasaan Basuki was-was. Bisa tidak ia menjawab. Kalau salah semua gimana. Ini soal harga diri sebagai guru. Agak kurang etis bila guru sampai salah banyak. Mau ditaruh mana mukanya. Mengambil narasi di awal, guru adalah segalanya. Itu narasi pakem yang selama ini beredar.
Padahal Basuki punya cara pandang sendiri soal pelajaran Bahasa Indonesia ini. Menurutnya, pelajaran Bahasa Indonesia adalah satu pelajaran di lingkup akademis yang unik. Pelajaran ini memiliki karakter tersendiri dibanding pelajaran-pelajaran lain.
Ada ilmu pasti, ilmu sosial, sedang bahasa ini bisa masuk kategori dua ilmu sekaligus. Bisa ilmu bahasa, bisa juga sosial. Mengapa begitu? Kalau ilmu bahasa sudah pasti, karena bahasa Indonesia masuk dalam rumpun bahasa.
Namun di rana sosial ini juga tak kalah penting diperhatikan. Sepengetahuan Basuki, ilmu sosial cenderung dituntut memilki daya analisis tinggi. Soal-soal atau materi yang dipelajari berkutat pada wilayah sosial kemanusiaan, bukan pada kepastian.
Beda dengan MTK, Biologi, Fisika, dan sejenisnya. Pelajaran-pelajaran itu mempunyai kepastian, sehingga memang itu jawabannya. Sedangkan untuk bahasa dan sosial ini sangat berbeda. Jangankan dalam wilayah soal begini. Dalam konteks wacana kebijakan, permasalahan, dan narasi kenegaraan, bahasa memiliki pemaknaan tak terbatas.
Siapapun boleh memaknai bahasa. Politisi, ulama', tukang sapu, tukang bangunan, dan lainnya sangat diperbolehkan mengartikan bahasa. Kefatalan pemaknaan terjadi ketika seseorang memaknai bahasa pada kanca media massa. Terlebih salah dan menimbulkan huruhara, maka sifatnya sangat fatal.
Apalagi pada lingkup soal-soal latihan yang diujikan pada ujian-ujian tertentu. Jangankan sarjana, seorang profesor pun belum tentu mahir mengerjakan soal-soal sejenis itu. Ibaratnya, hari ini jawabannya A, bisa saja besok berubah jadi C. Tak mudah menganalisisnya, harus jeli. Logikanya harus mapan.
Basuki masih percaya, soal semacam itu, cara berlatihnya adalah dengan terus mengerjakan soal-soal. Analoginya, sesuatu hal yang dilakukan terus-menerus akan menjadi pembiasaan. Membiasakan menganalisis, perlahan-lahan mampu meningkatkan daya analisis seseorang.
Sehingga tak bisa menjustifikasi orang itu tidak mahir berbahasa hanya dengan sekali latihan soal. Soal ilmu pasti, kalau salah, otomatis salah rumus, salah langkah pengerjaan. Sebab rumusnya sudah paten. Sedang untuk ilmu bahasa dan sosial, tidak bisa disamakan begitu saja.
Tidak ada kepastian benar salah dalam ilmu bahasa. Bahkan Basuki punya pikiran, semua soal, tentu ada pembuatnya. Kalau ngomong soal kemahiran, perlu diuji juga itu pembuat soalnya. Sehingga tidak ada tumpang tindih pemaknaan siapa yang mahir dan tidak mahir berbahasa.
Kesimpulannya, untuk guru-guru bahasa, terutama Bahasa Indonesia, kalian jangan berkecil hati bila kena klaim tidak mahir berbahasa hanya karena pengerjaan soal Anda tidak dapat nilai bagus. Itu masalah biasa dan tak perlu disesali terlalu dalam.
Komentar
Posting Komentar