Dua indikator yang saya sebutkan di atas merupakan satu korelasi yang saling berhubungan kuat. Tujuannya saya coba galih agak dalam agar makna lebaran itu bisa kita raih melalui ijtihad diri kita sendiri tanpa melalui media apapun. Meski tidak terlalu presisi, tetapi kepuasan jawaban akan lebih dapat ketika kita mampu mencarinya sendiri, tanpa harus berpatokan pada siapapun.
Fenomena baju lebaran yang serba baru juga tidak kalah penting untuk dicari penyebab pastinya. Bagaimana hukum budaya semacam itu bila masih ada tetangga kita yang butuh uluran tangan kita bersama. Seperti halnya hukum kenapa harus pergi haji berkali-kali, di saat tetangga atau sanak saudara kita butuh pertolongan, tapi kita hanya diam saja.
Memang hal seperti itu lumrah dan bergantung penyikapan masing-masing orang. Saya tidak menyalahkan, kemudian mengharam-haramkan mereka yang berbondong-bondong berbelanja baju lebaran. Namun saya coba memfokuskan sekaligus ingin menggali lebih dalam lagi apa sebenarnya nilai yang bisa kita raih saat lebaran tiba.
Yang saya takutkan adalah saat identitas eksistensi terlalu digaungkan. Akibatnya banyak orang lebih memiliki kecenderungan mengikat pada suatu hal yang sifatnya matrealis. Sehingga tiap tahun lebaran akan selalu ditempatkan pada kepentingan konsumtif matrealis terus-menerus.
Sama halnya seperti salah satu teman yang kapan hari konsultasi tentang pemberian ampau ke sanak keluarga yang masih anak-anak. Ia menyebutkan berapa nominal yang pantas untuk diberikan ke mereka. Perhitungannya di tengah-tengah, tidak kecil dan tidak besar-besar amat. Bernominal itu baik, tetapi kalau sampai memberatkan justru itu tidak baik, yang penting mampu dan sanggup memberi.
Belum lagi cerita teman saya yang terkungkung dengan anggapan kalau setiap hari raya harus mengenakan pakaian baru. Hal itu dilatarbelakangi karena lingkungan yang ia tempati. Ditambah lagi setelah ia lulus kuliah sampai saat ini masih belum mempunyai pekerjaan yang layak, sehingga belum ada pemasukan buat beli baju lebaran.
Maka dari itu, historis lebaran jangan cuma diintisarikan secara matrealis, takutnya nanti permasalahan finansial yang tidak tercukupi akan mengurangi kekhidmatan dalam menjalankan tradisi lebaran. Itulah kemampuan kita, kurang mampu membedakan mana yang masuk wilayah sekunder dan primer.
Selama ini kita hanya mampu menangkap gejala populisme lebaran, tetapi tidak mampu menginternalisasi nilai-nilai yang membangun makna hari raya, lebaran, dan kemenangan.
Apa gunanya membangun tembok hawa nafsu saat puasa Ramadan, tetapi saat lebaran tiba, tembok itu jebol dan menjadikan kita semua hedonistik berlebihan. Beli baju, sarung, peci, dan celana tak cukup satu. Bahkan beberapa orang ada yang melegitimasi dirinya sendiri kalau hari lebaran harus serba baru.
Namun mereka tidak melihat bagaimana kondisi orang yang ada tapi berpenghasilan rendah. Ia harus mencukupi kebutuhan anak istrinya. Ia juga rela berbuat apapun agar bisa membeli baju anaknya, sebab yang ia tahu, anak jangan sampai merasa malu ketika berada dalam lingkaran pertemanannya.
Jika seperti itu, lalu apa bedanya dengan ketika puasa Ramadan datang. Promo-promo produk Ramadan gencar muncul di mana-mana. Para ustadz televisi muncul seolah-olah Ramadan adalah populisme agama yang cocok dijadikan tema untuk kepentingan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Sebenarnya kita lebaran hari ini untuk siapa? Kita semakin tidak jelas arah. Jika kemenangan zaman Rasulullah Saw. diawali dengan kemenangan pasca perang Badar, maka kemenangannya sudah jelas untuk Allah Swt. Lantas kemenangan kita untuk siapa? Untuk Allah, diri sendiri, atau orang lain? Hakikatnya kita ini dalam posisi bingung, namun kita tidak tahu dan tak sadar di mana letak kebingungan kita.
Dalam praktiknya, kita tidak bisa membedakan makna Puasa dan Lebaran seperti apa. Kadang justru kita kebalik menempatkannya. Kalau memang puasa adalah sarana untuk latihan menahan nafsu, lantas apa manfaatnya jika saat lebaran tiba, nafsu kita justru semakin tidak terbatas.
-
Komentar
Posting Komentar