Langsung ke konten utama

Hiperbola

 


Majas itu banyak. Tidak hanya hiperbola. Diingatan siswa, hiperbola sangat melekat. Mungkin kata hiperbola mudah buat mengingatnya. 

Ada dua kata yang membuat mereka gampang ingat, hiper dan bola. Hiper berarti melampaui batas. Sedangkan bola, benda yang menyerupai bulatan.

Hiperbola memang melampau batas. Cenderung dilebih-lebihkan dengan maksud tertentu. Padahal hidup tidak boleh begitu. Harus sederhana, tak boleh berlebihan.

Bahasa punya pengecualian. Boleh berlebihan. Apalagi untuk fiksi. Kalau tidak berlebihan, bukan fiksi namanya. 

Fiksi adalah penggambaran tentang fakta. Tentang kejadian real dengan kasap mata. Tetapi ketika difiksikan, fakta butuh bahasa-bahasa majas buat penggambarannya.

Seperti kata Sapardi Djoko Damono, fiksi lebih nyata dari fakta itu sendiri. Fakta kurang menarik jika hanya sekadar diceritakan. 

Nembak cewek juga begitu. Bahasanya harus konotatif banget. Tidak boleh terpaku pada denotasi, karena denotasi terlalu flat, garing, dan tidak menarik.

Perasaan cinta itu fakta. Namun untuk mengungkapkannya, butuh kata-kata majas yang mendayu-dayu, agar terkesan serius, estetik, dan beneran.

Aku mencintaimu akan berbeda dengan aku mencintaimu sedalam aku memahami diriku. Hiperbolanya dapat. Gombalannya juga dapat. Kalau beruntung, mungkin cintanya juga.

Cinta itu tak pernah salah, selama diungkapkan ke orang yang benar-benar mencintai kita juga. Kenapa cinta bisa salah? Karena kita salah dalam mencintai orang.

Kembali lagi. Semua majas itu berlebihan dan dibuat-buat. Tetapi untuk hiperbola, ini berbeda. Ada semacam kata yang dibuat-buat untuk mengekspresikan kesan yang serius.

Lagi, cintai orang yang tepat. Pastikan cintamu berlabuh ke orang yang benar. Sama seperti majas. Gunakan majas seperlunya. 

Di mata orang yang salah, sikap berlebihanmu akan menjadi masalah. Di mata orang benar, ukurannya cintanya bukan lebih dan kurang, karena menurut cinta, semuanya pas.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...