Majas itu banyak. Tidak hanya hiperbola. Diingatan siswa, hiperbola sangat melekat. Mungkin kata hiperbola mudah buat mengingatnya.
Ada dua kata yang membuat mereka gampang ingat, hiper dan bola. Hiper berarti melampaui batas. Sedangkan bola, benda yang menyerupai bulatan.
Hiperbola memang melampau batas. Cenderung dilebih-lebihkan dengan maksud tertentu. Padahal hidup tidak boleh begitu. Harus sederhana, tak boleh berlebihan.
Bahasa punya pengecualian. Boleh berlebihan. Apalagi untuk fiksi. Kalau tidak berlebihan, bukan fiksi namanya.
Fiksi adalah penggambaran tentang fakta. Tentang kejadian real dengan kasap mata. Tetapi ketika difiksikan, fakta butuh bahasa-bahasa majas buat penggambarannya.
Seperti kata Sapardi Djoko Damono, fiksi lebih nyata dari fakta itu sendiri. Fakta kurang menarik jika hanya sekadar diceritakan.
Nembak cewek juga begitu. Bahasanya harus konotatif banget. Tidak boleh terpaku pada denotasi, karena denotasi terlalu flat, garing, dan tidak menarik.
Perasaan cinta itu fakta. Namun untuk mengungkapkannya, butuh kata-kata majas yang mendayu-dayu, agar terkesan serius, estetik, dan beneran.
Aku mencintaimu akan berbeda dengan aku mencintaimu sedalam aku memahami diriku. Hiperbolanya dapat. Gombalannya juga dapat. Kalau beruntung, mungkin cintanya juga.
Cinta itu tak pernah salah, selama diungkapkan ke orang yang benar-benar mencintai kita juga. Kenapa cinta bisa salah? Karena kita salah dalam mencintai orang.
Kembali lagi. Semua majas itu berlebihan dan dibuat-buat. Tetapi untuk hiperbola, ini berbeda. Ada semacam kata yang dibuat-buat untuk mengekspresikan kesan yang serius.
Lagi, cintai orang yang tepat. Pastikan cintamu berlabuh ke orang yang benar. Sama seperti majas. Gunakan majas seperlunya.
Di mata orang yang salah, sikap berlebihanmu akan menjadi masalah. Di mata orang benar, ukurannya cintanya bukan lebih dan kurang, karena menurut cinta, semuanya pas.

Komentar
Posting Komentar