Apa sih cukup itu? Sepintas pertanyaan dasar saya saat melihat cuplikan video dialog Sabrang dengan Habib Husein Ja'far di YouTube beberapa hari lalu. Di berbagai macam media sosial pun juga sudah booming video itu. Dengan pembawaan santai, Sabrang menyajikan kegelisahan usang, tapi dibarengi cara berpikirnya yang logis dan cukup diterima akal sehat.
Terutama soal penyadaran. Di ranah tersebut memang kita butuh mulut dan cara berpikir orang lain. Mungkin itu salah satu wujud sifat sosial manusia, saling bergantung. Tidak usah terlalu dirumitkan, cukup bahasanya kita pinjam sebentar. Bila lupa bisa diputar lagi.
Misalnya sajian motivasi dari motivator ulung akan habis mengubah semangat, pandangan, dan cara berpikir kita. Maklum saja, sadar dan tak sadar memang banyak keadaan yang tidak jelas bagi kita. Kalau jelas, tentu kita tak perlu ambil pusing menunggu masukkan orang lain.
Pikiran kita sebenarnya simpel dan kompleks, hanya saja kadang kita berpikir terlalu rumit sehingga menambah beban otak yang semestinya mampu diterima, tapi dengan kerumitan yang tidak jelas, kita dibuat pusing dengan sendirinya.
"Cukup" jadi kata yang sangat berarti untuk membatasi muatan berpikir itu. Artinya tidak berlebihan dan berkekurangan. Ibarat orang Jawa mengatakan "Pas nek butuh"e, mesti ono". Kadang kita itu cukup, dalam artian cukup di segala sesuatunya. Namun merasa kurang saja, alhasil berapapun yang kita dapat, selalu kurang dan ingin lebih.
Padahal tidak ada yang perlu dipikir kecuali memang masalah yang butuh dipikir. Jika tak memungkinkan sendiri, bisa sama-sama. Masalah itu juga kadang bukan masalah, tapi karena kita pikirkan, akhirnya jadi masalah beneran. Apalagi melibatkan pikiran banyak orang.
%20(1).png)
Komentar
Posting Komentar