Langsung ke konten utama

Konvensional, Inovatif, dan Eksentrik


Lawan kata konvensional adalah eksentrik. Cuma di dunia pendidikan, lawan dari konvensional bukan itu, tapi inovatif. 

Sekarang, dua kata tersebut seperti tom and Jerry, selalu ditandingkan dan dipermusuhkan. Yang tidak inovatif, berarti dia konvensional. Yang konvensional, ia tidak mau belajar. Begitu kira-kira.

Berarti perkembangan pendidikan itu soal melihat waktu, karena inovatif dan konvensional adalah dua kata yang konteksnya dihubungan dengan waktu.

Inovatif itu sekarang. Konvensional itu masa lalu. Ibaratnya, para guru yang dulu-dulu itu konvensional. Sedangkan guru-guru sekarang, yang notabene mudah-mudah, itu inovatif.

Atau bisa juga, inovatif itu pembelajaran masa sekarang. Konvensional itu pembelajaran masa lalu. Kalau begitu, pembelajaran konvensional sekarang tidak berlaku, karena konvensional letaknya pada masa lalu.

Membuat kata konvensional dipojokkan, seolah-olah menjadi kata jelek. Sebisa mungkin harus dijauhi. Perannya sudah mendekati sebagai kata justifikasi. Asumsinya, semua kata yang digunakan justifikasi, itu cenderung jelek.

Padahal, bahasa punya pragmatik, melihat fungsi kata dari kontekstualnya. Kata bodoh tidak bisa berdiri sendiri. Perlu melihat seperti apa indikator penilaiannya.

Bisa jadi hari ini orang itu bodoh, tetapi di hari lain, tidak. Bisa jadi orang ini di satu bidang, bodoh, tetapi di bidang lain, justru tidak.

Pembelajaran itu dua arah. Indikator suatu pembelajaran bisa sukses, karena ada kerjasama antara guru dan murid. 

Minimal saling memahami. Kalau sudah saling memahami, akhirnya saling memberi dukungan.

Makanya, yang paling penting dari seorang guru sebenarnya bukan dilihat dari mana-mana, cukup dilihat dari dirinya sendiri. Istilah lain, sosok pembawaannya.

Ada guru yang sangat tidak inovatif, tapi ia sangat inspiratif. Sebaliknya, ada guru yang sangat inovatif, tapi malah tidak inspiratif.

Munif Chatib, penulis buku "Sekolahnya Manusia" mengatakan, guru memiliki tiga tingkatan. Medium teacher, good teacher, excellent teacher, dan great teacher.

Medium teacher, guru hanya sekadar ngomong. Penjelasannya abstrak dan tidak runtut. Guru semacam ini akan kalah dengan teknologi. 

Naik level ke good teacher, tidak hanya ngomong, tapi menjelaskan secara detail. Hal-hal yang rumit, dijelaskan dengan mudah. Guru ini selalu punya cara untuk mempermudah penyampaian materi ajar.

Naik lagi ke excellent teacher, selain menjelaskan, juga memberi contoh. Terlebih contoh dengan konteks kebutuhan siswa sehari-hari, sehingga, pendidikan tahu jalan kegunaannya untuk kehidupan siswa.

Di level puncak, ada great teacher, guru yang menginspirasi. Ini guru yang mengalahkan ketiga jenis guru sebelumnya. Istilahnya merangkum semua dari ketiga jenis guru tersebut. Andai guru sudah pada titik ini, maka ia sulit tergantikan.

Kalau indikatornya menginspirasi, bisa jadi ia inovatif, bisa juga tidak. Penilaiannya bukan di inovatif apa tidak, tetapi yang lebih penting dari itu adalah sosok dan arti kehadirannya.

Bagaimana caranya. Tentu sangat banyak. Bisa karena ia inovatif. Bisa juga karena pembawaannya selalu menarik. Atau bisa juga yang lain. Mungkin karakternya berbeda dari guru-guru di sekelilingnya.

Bahkan bisa jadi, ia sebenarnya tidak menarik di mata guru yang lain, tetapi dia sangat menarik di mata para siswa. 

Karena pembelajaran itu dua arah, maka letak penilaiannya tidak bisa cenderung hanya pada satu arah. Harus dua mata pisau.

Siswa punya kemauan. Begitu juga gurunya. Apa mungkin titik inovatif itu terletak di tengah-tengah antara dua kemauan itu. Artinya saling menuruti kemauan guru dan siswa. 

Padahal, kemauan guru, bisa jadi salah di mata guru lain. Sehingga menurut siswa, dia inovatif, tetapi di mata guru-guru lain, dia sangat tidak inovatif. Begitu juga sebaliknya.

Barusan saya selalu menyebut dua penilaian, dari siswa dan guru. Apakah benar inovatif tidaknya seorang guru dinilai dari dua subjek itu. 

Sepertinya, selama ini soal assessment pembelajaran masih rancu. Konon, assessment itu dilakukan secara hierarkis, dilakukan oleh orang yang lebih tinggi strukturnya. 

Tapi apakah bisa menjamin, orang yang melakukan assessment, pembelajarannya lebih baik dari guru yang diassessement. 

Ah, cari sendiri jawabannya!

Sambil menulis ini, saya sedang di Undip. Di depan fakultas hukumnya. Saya duduk-duduk sendirian hampir setengah hari. 

Saya mendampingi anak-anak lomba debat. Tapi sayang, pendampingnya tidak boleh masuk. Bayangkan, berapa jam waktu saya terbuang hanya sambil duduk-duduk ngerokok dan tidak ngapa-ngapain.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...