Langsung ke konten utama

Menjadi Penantang dan Pengalah


Semenjak Pandemi, perhelatan sepak bola tanah air mengalami kembang kempis. Setelah vakum dengan waktu cukup lama, akhirnya laga yang ditunggu-tunggu itu mendapat angin segar. Para penggemar sepak bola Indonesia bersorak ramai menyambutnya. Tidak perlu menunggu waktu lama, puncaknya ada di piala AFF 2020 yang digelar di tahun 2021. Seolah-olah fokus mereka terpusat di sana.

Dalam laga tersebut, Indonesia cukup jadi perhatian. Tidak boleh dipandang remeh begitu saja. Ia memiliki sejarah cukup baik, meski tak ada kemenangan trophy yang ia peroleh. Tetapi sejarah itu jadi penanda sekaligus pengingat. Tidak terlalu penting bagaimana sejarah negara lain. Paling penting bagaimana sejarah bangsa ini bisa tercipta, berjalan, dan terinternalisasi. Setelah itu jadi bahan pembelajaran bersama. Sebab, untuk bangkit, kita tidak butuh sejarah orang lain.

Berharap memang tak ada salahnya. Sebagai warga negara yang baik, berdoa untuk kemenangan Timnas itu wajib. Tapi untuk memaksa menang, sambil menghardik saat mengalami kekalahan itu sangat tidak baik. Sama sekali tak mencerminkan nilai-nilai moral sebagai warga negara yang baik. Ada sebagian masyarakat berharap menang. Ada juga yang berharap biasa-biasa saja. Tidak terlalu berharap menang, tapi kalah pun enggan.

Yang tak terlalu berharap mungkin mereka punya pemahaman sendiri tentang kondisi pesepak bola kita. Bila organisasi sehat, anggota, program kerjanya, anggarannya, masyarakatnya turut sehat pula. Jika sakit, justru sebaliknya. Makanya, kurang elok bila berharap pada organisasi yang masih sakit dan belum sepenuhnya pulih.

Cara pandang masyarakat kepada Timnas itu tak terbatas. di usia berapa pun, yang namanya Timnas, tetap menjadi Timnas, kesebelasan yang bersisi para putra terbaik bangsa. Tak peduli berapa usia mereka. Yang ada di otak pecintanya, mereka menang dan harus menang. Belum lagi dengan banyak tag line dari suporter yang menggema di stadion. Suara itu terus mengejar semangat dan psikis mental para pemain.

Dari dimulainya piala AFF ini, tercatat Indonesia belum pernah jadi juara. Peringkat tertingginya ada di runner-up. Saban kali final selalu mengalami kekalahan. Terhitung sebanyak enam kali, Indonesia masuk posisi tersebut. Bahkan Indonesia berturut-turut di tahun 2000, 2002, dan 2004 menjadi penantang, artinya runner-up, bukan jadi pemenang. Apa memang Indonesia tidak terdidik sebagai pemenang? Atau justru Indonesia hanya entitas negara penantang, tapi untuk mengalah? Apa maksud penantang, tapi mengalah? Bagi kalian yang menjawab, mungkin jawaban kalian benar, mungkin juga salah.

***

Timnas adalah komponen organisasi yang menciptakan organisasinya sendiri. Sebelas pemain dalam lapangan adalah sebuah sistem organisasi yang strukturnya sudah tertata rapi. Ada kiper, sayap kanan kiri, back tengah, dan sebagainya. Mereka organ yang menempati posisinya masing-masing. Secara profesional, mereka bekerja sesuai tupoksi kerjanya.

Kiper tidak boleh sembarangan maju ke gawang lawan. Ia diberi amanah gawang yang harus dijaga rapat-rapat. Itu harkat dan martabat bangsanya. Begitu juga dengan para pemain lainnya. Mereka diberi amanah dan tanggung jawab berbeda-beda. Di pundak mereka ada harga diri sebuah bangsa.

Tapi antara bagian satu dengan bagian lainnya, ada satu hubungan. Mereka saling berkaitan. Seperti ada benang yang tak boleh putus. Mengapa? Karena bola itu bergulir dan saling menghubungkan. Antara satu pemain dengan lainnya harus menyalakan sinyal sensitivitasnya.

Meski bola datar atau lambung, bola itu tidak boleh terputus dari kaki ke kaki. Dari rasa ke rasa. Dari kerendahhatian dan kemauan. Ada keyakinan, bahwa dalam menuju gawang lawan, bola tidak bisa menggelinding sendiri. Perlu dibawa ramai-ramai dan dikawal dengan semangat tinggi.

Maka perlu ada penyesuaian lama untuk menciptakan iklim saling cocok di antara bola dan kaki mereka. Bukan hanya itu, adaptasi jiwa dan psikis juga tak kalah penting diperhatikan. Tidak ada satu hubungan yang kekal bila dalam hubungan itu tidak tercipta saling keterkaitan dan kebergantungan.

Selain karena internal organisasi besarnya tidak baik, saya masih mencari-cari alasan yang bijak dan baik untuk menerima kekalahan Timnas semalam. Mengenai Timnas, saya tiba-tiba teringat kalau Cak Nun dulu pernah menyinggung soal perkembangan Timnas U-19 beberapa tahun lalu. Saya yakin, apa yang ia bahas, pasti ada satu atau beberapa bahasannya yang dituangkan dalam tulisan.

Ada tulisannya berjudul "U-19, Senja, dan Fajar" yang sedikit membuka kenyataan bagaimana kondisi sepak bola kita. Cak Nun menjabarkan bagaimana bodoh dan kejamnya kita jika terlalu memaksa Timnas juara. Indikator kemenangan memang menjadi satu terminologi kebangkitan sepak bola nasional, tapi ada yang lebih penting dari itu, yakni melihat capaian mereka di titik sekarang ini. Walau penyesuaian mereka terlalu dini, tapi sinergitas strategi permainan mereka sudah terbangun. Ukuran tersebut perlu jadi catatan sebuah perkembangan yang baik. Meskipun kemajuan itu tak banyak orang bisa memahami.

Apalagi kesebelasan itu selalu mengalami perubahan dan penyesuaian. Maka kemenangan hanya puing kecil di antara puing-puing besar bernama sejarah perjuangan mereka. Atau analoginya seperti petani dan suami istri. Soal panen, petani tak berkuasa menentukan baik buruk hasil taninya. Tugas manusia hanya bertani. Sama juga dengan suami istri, tugas mereka hanya mengusahakan hamil. Selebihnya, kuasa untuk hamil atau tidak, itu urusan yang di atas. Itu yang harus dipahami betul saat menerima kekalahan semalam.

Cak Nun mengalihkan kebangkitan itu pada sebuah kalimat yang berbunyi "Ada bagian dari Indonesia yang sedang sedang memasuki senja dan siap tenggelam dalam di kegelapan malam, ada yang sedang memancarkan matahari baru di fajar hari". Bagi kalian yang terus nyinyir dengan kekalahan Timnas semalam, coba kalian maknai dengan seksama dan penuh keyakinan kalimat tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...