Langsung ke konten utama

Kisah Sopir Grab, di Usia Senjanya, Rela Sewa Mobil di Sidoarjo, meski Rumahnya di Perak Surabaya


Waktu scroll tiktok, saya menemukan kata-kata indah dari Gus Iqdam. Ia mengatakan, entah di depan nanti seperti apa, indah atau tidak, intinya sekarang aku masih di perjalanan.

Menurut saya, kata yang menarik dari quote tersebut adalah perjalanan. Diksi perjalanan selalu dipakai dan dicocokkan dengan sebuah proses. 

Semacam ada kegagahan kata. Atau bisa juga sebagai kata yang digunakan untuk menggambarkan misteri, hal-hal yang belum pasti. 

Berhasil apa tidak, yang penting aku berjalan, masih berproses. 

Meski bertahun-tahun berjalan, kok masih saja belum sukses, lagi-lagi kata perjalanan itu dipakai. Aku belum sukses, karena aku masih dalam perjalanan. Begitu kira-kira.

Namun sejatinya orang berjalan, tentu punya tujuan. Setidaknya punya tempat singgah. Berjalan terus juga capek. Apalagi sendirian. Tak punya teman ngobrol. Capek dirasakan sendiri. Sedih pun diratapi sendiri. 

Perjalanan itu unik. Orang Sufi konon senang dengan laku perjalanan ini. Tapi berjalan memang semenarik itu. Para seniman Jogja, murid Umbu, untuk menggali ide, biasanya mereka berjalan. 

Kalau tidak percaya, coba saja. Sebab berjalan itu juga sambil mikir. Orang melamun, biasanya sambil duduk. Kalau ini tidak, berjalan itu menumbuhkan angan-angan, imajinatif. 

Jadi, perjalanan itu sedikit melamun, juga sedikit berpikir. 

Seperti kisah unik yang saya temui hari ini. Kisahnya dengan sopir grabcar. Saya mau ke stasiun Pasar Turi. Kebetulan dapat sopir yang terbilang cukup tua. 

Kebiasaan orang tua, kalau dia humbel, di bisa cerita banyak. Kebetulan lagi, si sopir ini suka cerita.

Ia bercerita tentang hidupnya. Di masa tuanya sekarang, tidak ada yang bisa dilakukan, selain bekerja non formal.

"Mau di pabrik juga sudah berumur mas. Pasti tidak bisa," terangnya.

Rumahnya di Perak Surabaya. Setiap hari, ia selalu PP Perak - Sidoarjo. Berangkat pagi, pulang malam. Bergantung kondisi badannya.

"Lha kok bisa gitu, Pak."

"Saya ambil mobil dulu di Wonoayu pagi-pagi."

"Kenapa nggak ambil di Sidoarjo saja, Pak."

Ceritanya begini, ia dapat mobil ini karena kepepet. Tanpa sengaja, di sebuah warkop, saat ia pusing mencari kerja, ia bertemu dengan seseorang yang sama sekali tidak ia kenal.

"Waktu itu ia duduk sendirian. Akhirnya saya minta tempat untuk duduk semeja dengannya." ceritanya.

Pusing sudah melanda. Kerjaan nggak dapat-dapat, sampai dibelain ke Sidoarjo dari Surabaya. 

"Namanya orang cari kerja. Yang penting keluar gitu saja. Nggak tahu dapat apa nggak. Yang penting melangkah keluar," tegasnya.

Saat duduk bersama, ia langsung bertanya apakah ada kerjaan untuknya. Ia tidak mematok mau kerja apa, yang penting bisa buat makan sehari-hari.

Tidak semua orang berani bertanya begitu. Butuh keberanian dan mental kuat. Tetapi yang namanya orang butuh, apa saja bakal dilakukan. Meskipun kadang-kadang sampai merelakan harga dirinya.

Ia tidak punya lowongan, tapi punya mobil yang tak kepakai di rumah. Akhirnya mobil itu ia pakai buat grab. 

Sehari, ia harus setor uang sewa mobil sebesar dua ratus ribu. Si pemilik mobil awalnya menarif dua ratus lima puluh ribu. Tarif umum orang rental mobil.

"Kalau rental kan tidak setiap hari, Mas. Sedangkan saya menyewanya setiap hari. Akhirnya saya minta keringanan dua ratus ribu," jelasnya.

Saat saya tanya mulai kapan. Ia bercerita baru dua minggu. Ia menguji dirinya, seberapa lama ia kuat bekerja dengan kondisi seperti ini di masa senjanya. 

Anehnya, si pemilik mobil percaya begitu saja. Rela menyewakan mobil dengan lepas kunci. Padahal sebelumnya tidak pernah bertemu.

"Saya tidak begitu tahu apa yang membuat dia percaya saya. Entah karena ia kasihan atau memang Tuhan sengaja membuat orang itu tiba-tiba percaya pada saya," ungkapnya.

Mungkin itu jalan Tuhan. Ia dipertemukan dengan jalan rezeki, meski belum sesuai dengan harapannya.

Saya tidak bertanya lebih lanjut soal hidupnya. Tapi yang pasti, persoalan manusia memang sengaja dibuat Tuhan berbeda-beda, agar kita bisa saling evaluasi. 

Tidak perlu mencari siapa orang yang paling susah, karena pada intinya, pencarian itu perlu dibarengi dengan rasa syukur yang mendalam.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...