Langsung ke konten utama

Memahami Waktu Orang Lain

Saya mau mengutip omongannya Mas Sabrang beberapa waktu lalu saat mengisi seminar di salah satu organisasi keterpelajaran. Ia menggambarkan, penyakit orang moderen terletak pada otaknya. Efeknya, kita sering punya cara berpikir terpecah", terkotak", dan terlalu rumit mengolah sesuatu yang mudah.

Ia mengatakan, penyebabnya karena orang sekarang sulit mengistirahatkan otak. Bekerja terus sampai tak kenal lelah. Di berbagai bidang, bahkan di mana saja, metode mengistirahatkan seperti ini hampir tidak ditemui, bahkan tak diajarkan. Padahal, untuk benda saja jika selalu bekerja, benda itu akan cepat rusak. Apalagi dengan otak. Kerusakannya bisa fatal. Bila rusak, kita tak bisa menggantinya dengan beli otak baru.

Sama halnya seperti sifat manusia, cenderung suka bosen dengan hal yang monoton. Saya rasa otak juga sama. Berpikir monoton terhadap satu objek permasalahan itu juga membuat otak mudah melakukan perlawanan.

Otak perlu diistirahatkan dengan sengaja. Berpikir itu baik, tapi memaksa berpikir tidak pada waktu dan tempatnya justru tidak baik. Memaksa berpikir itu juga ada baiknya, tapi harus tahu tempat, kapan, dan objek apa yang wajib dipikir.

Salah satu cara menghargai pikiran sendiri adalah dengan berusaha menghargai waktu orang di luar dari waktu yang mewajibkan otanya bekerja. Banyak orang yang sudah kehilangan rasa itu.

Apalagi dibarengi dengan perut lapar. Tindakan pertama adalah secepatnya mengalihkan perhatian itu dengan hal lain, utamanya makan. Bayangkan, keadaan perut lapar, otak pasti ga mungkin bekerja efektif, tapi mata dipaksa melihat kabar yang sangat tak mengenyangkan. Justru semakin dibuat lapar.

Menghargai waktu orang bisa dimulai dari diri kalian masing". Dan kalian akan tahu juga bagaimana rasanya ketika orang menghargai waktumu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...