Kehidupan di perkotaan memang sangat berbeda dengan di pedesaan. Dari suasananya, budaya masyarakatnya, atau sampai pada cara bersosial mereka.
Pendapat saya ini tidak muncul di satu kota saja, karena di
beberapa kota yang sempat saya kunjungi, rata-rata menunjukkan hal yang serupa.
Saya kecil di desa dengan budaya masyarakat pedesaan. Cara berpikir mereka sedikit banyaknya saya tahu. Dari bagaimana cara mereka menyikapi suatu masalah, sampai memperlakukan masalah itu.
Tetapi poin yang
saya ceritakan ini lebih ke dimensi-dimensi bagaimana mereka bersosial.
Terutama berhubungan dengan para tetangga dan lingkungan sekitar.
Saat itu, semenjak Covid ke dua, suasana di Surabaya sangat mencekam. Setiap hari, tidak kenal waktu, para ambulans berkeliaran di jalanan. Sambil sirinenya dibunyikan, ambulans itu melaju cepat.
Kemudian di
bagian belakang mobil, coba saya perhatikan ternyata banyak perawat yang
memakai baju hazmat. Artinya, kalau bukan pasien Covid, pasti itu pasien kritis
yang segera membutuhkan rumah sakit.
Saban kali malam-malam saya keluar kantor membeli
sesuatu, di jalan pasti bertemu satu atau dua ambulans. Bukan hanya itu,
suasana jalanan pun terlihat sangat sepi sekali. Padahal waktu saya keluar, jam
menunjukkan masih pukul sembilan malam.
“Lonjakan kedua ini memang sangat parah. Efeknya bukan
hanya di fisik, tapi di psikologis juga,” kataku dalam hati sambil bersepeda
menyusuri jalan.
Sepinya jalan menunjukkan bahwa masyarakat memang
khawatir terhadap kesehatannya masing-masing.
Saat di Surabaya itu, entah mengapa banyak musibah yang terjadi di kantor. Saya dan teman-teman di kantor tidak hanya hubungan kerja.
Melainkan kita di sana lebih mencoba membangun kedekatan secara
kekeluargaan. Sehingga apabila ada salah satu di antara mereka terkena musibah,
yang lain juga ikut membantu.
Musik yang mengagetkan kala itu lebih kepada kabar
duka yang silih berganti. Pertama, nenek teman saya meninggal. Kedua kakak
kandung teman saya juga meninggal. Orang pertama dan kedua ini beda orang. Di
antara dua kabar itu, ada satu cerita yang sangat menarik.
Saya sebagai orang desa, tidak menyangka jika di
perkotaan, terutama di kawasan perumahan dengan kondisi seperti itu. Bahkan
rasa penasaran itu memunculkan pertanyaan yang berkali-kali saya tanyakan.
Mungkin itu pengalaman pertama. Jadi agak kaget saat mengalaminya sendiri.
Sekitar pukul tiga pagi. Saat saya dan beberapa teman kantor berketepatan tidur di kantor. Saya tidur di sofa depan, sedangkan teman saya itu tidur di ruang kerja.
Ukurannya agak besar. Jadi muat jika digunakan
tidur. Lampu depan tiba-tiba menyala. Sontak saya langsung terbangun. Ternyata
sambil mengucek matanya, ia memberi kabar kalau saudaranya Pak Bos meninggal.
Sebelum meninggal, Pak Bos sering menceritakan kondisi kakaknya itu. Awalnya terpapar Covid. Diagnosisnya bukan dari rumah sakit, tapi diagnosisnya sendiri. Sebab, saat ia sakit, gejala yang ditampilkan mirip sekali dengan gejala Covid. Ditambah lagi orang itu memiliki karyawan dan sebelum ia sakit, dari salah satu karyawannya ada yang positif Covid.
Rasa parno semakin meningkat. Malamnya sebelum meninggal, ia coba periksa ke rumah sakit, sekaligus tes Covid. Setelah selesai tes, terima kasih ia negatif.
Bukti datanya dikirim Pak Bos langsung ke grup
kantor. Sebelum meninggal juga ia meminta agar dirawat di rumah Pak Bos.
Sehingga anak dan istrinya juga ikut merawat di sana.
Langsung tanpa basa-basi. Setelah cuci muka, kami
bertiga yang ada di kantor langsung menuju ke rumah duka. Kebetulan rumahnya
tidak jauh dari kantor. Fenomena berbeda dimulai dari sini. Saya pikir di rumah
duka sudah dipenuhi orang. Namun kenyataannya di sana belum ada siapa-siapa.
Seyogyanya orang meninggal, pasti ada satu atau dua tetangga yang mengetahui dan ikut nimbrung di sana. Bahkan ketika saya menunggu di luar sambil minum, banyak juga tetangga berseliweran melewati rumah.
Tapi
dari mereka sama sekali tidak ada yang mau bertanya. Padahal susana rumah tidak
baik-baik saja. Penuh tangis dan derai air mata.
Perbedaan Meninggal di Desa dan Kota
Berbeda dengan suasana di desa. Pukul berapapun orang
meninggal, para tetangganya pasti menghormati dan ikut mendekati rumah.
Walaupun hanya sekadar menemani, namun dengan sikap itu, pihak duka pasti akan
senang karena merasa ditemani dalam kondisi dukanya.
Waktu itu juga, saya yang sebelumnya sama sekali tidak
pernah memegang jenazah, saat itu juga mau tidak mau harus memegangnya. Karena
posisi jenazah di kamar tidak pada posisi yang pas, maka saya coba memberanikan
diri memegang jenazah itu bersama beberapa teman di sana.
Mereka masing-masing memegang bagian tubuh jenazah.
Ada yang memegang leher, kepalanya, lalu perutnya. Sedangkan saya sendiri ada
di posisi bawah, yaitu kaki. Bagian yang lumayan berat. Perlu bantuan beberapa
orang karena memang ukuran badannya agak besar.
Ketika sama sekali belum ada orang, waktu masih menunjukkan subuh, saya menemani pemakaman tersebut di kamar. Dengan perasaan deg-degan, saya duduk di sebelahnya pas.
Mulut saya tak henti-hentinya
membacakan doa-doa yang saya bisa. Terutama Al-fatihah dan selawat. Dua bacaan
itu terus menerus saya lantunkan sambil sesekali melirik ke wajahnya. Kadang
dalam benak saya bertanya-tanya,
“Apakah nanti saat aku mati, masih ada orang yang mau
menemani di waktu kematianku? Apa ada juga orang yang masih mau susah payah
merawat jenazahku?”
Pasca salat subuh, satu per satu warga mulai datang. Awalnya banyak warga yang ragu, karena berspekulasi positif Covid. Namun setelah bukti tes itu ditunjukkan untuk mengurus surat kematian, akhirnya warga percaya jika memang jenazah itu negatif.
Di mulai dari situ hormat warga
muncul. Meski tak banyak, tapi seenggaknya masih ada satu dua orang yang masih
peduli juga.
Pelan-pelan mereka mengambil perlengkapan merawat jenazah. Dari keranda sampai tempat pemandiannya. Setelah semuanya lengkap dan siap, ada masalah satu lagi, yaitu saat dikonfirmasi, ternyata Modin perumahan tidak bisa hadir karena ada yang dikerjakan di luar.
Maklum saja, jadi Modin
menghitungnya kerja sosial. Beberapa Modin terkadang juga mempunyai pekerjaan
lain untuk menambah pemasukan.
Akhirnya saya kebagian mencari pengganti Modin. Saya harus berkeliling dari perumahan satu ke perumahan lain. Setelah dapat di perumahan sebelah, saya tidak langsung bertemu orangnya. Saya hanya diberi nomor ponselnya.
Tanpa pikir panjang, saya langsung menelponnya. Lama sekali
tidak diangkat. Padahal di rumah duka, jenazah belum dikafani dan dimandikan.
Sedangkan waktu itu hari Jumat. Jadi terpaksa harus segera diselesaikan.
Sekitar satu jam lebih sedikit, Modin itu datang. Sesampainya di rumah, ia langsung memposisikan jenazah yang akan segera dimandikan. Kain kafan sudah ia ukur. Tinggal memindahkan jenazah, dari dalam rumah ke tempat pemandian air panas.
Belum sampai dipindah, Modin tadi menyuruh
saya untuk mencari pohon batang pisang buat penyanggah jenazah agar tidak
berpindah-pindah ketika dimandikan.
Saya waktu itu bingung juga. Di daerah perumahan apa ada pohon pisang. Meski begitu, saya tetap harus muter-muter lagi, tanya sana-sini. Saat tiba di sebuah lahan kosong, saya tidak sengaja melihat pohon pisang di pojokan.
Ada sekitar empat pohon pisang di sana. Tanpa basa-basi,
saya langsung mengurung satu pohon pisang tersebut. Saya bagi jadi tiga untuk
ditaruh di leher, perut sama kaki.
Tak lama kemudian, saat saya hampir selesai memotong, tiba-tiba ada orang yang mendekat dan marah-marah. Awalnya saya kira itu pohon pembohong, tapi tak disangka orang yang menjaga tanah itu datang.
Setelah saya
memberi pengertian kalau ini untuk memandikan jenazah, akhirnya orang itu mau
mengizinkan, asal lain kali kalau mau meminta lagi, wajib izin dulu.
Merawat jenazah di masa Pandemi memang serba repot.
Orang di sekitar kita pun terkadang menjaga jarak masing-masing. Mereka saling
menjaga dirinya sendiri-sendiri. Tapi di saat genting seperti itu, kita yang
hidup bermasyarakat, bergantung dengan siapa kalau bukan orang di sekitar kita.
Maka dari itu, hal paling penting yang dilakukan sekarang adalah memupuk ikatan persaudaraan kepada siapa pun, karena orang di sekitar kita tidak harus ada ikatan darah persaudaraan.
Terkadang pertemanan
yang dipupuk dengan rasa jujur dan saling menghargai satu sama lain, bisa
menciptakan hubungan yang lebih dari sekadar persaudaraan. Dan jangan lupa
untuk tetap saling menguatkan di tengah pandemi yang tak tentu kapan akan
berakhir.
.png)
Komentar
Posting Komentar