Belajar teks itu sulit. Dari membaca sampai menuliskannya, sama-sama sulit. Makanya, dulu waktu kuliah, empat keterampilan dasar berbahasa, masing-masing dipelajari selama satu semester.
Bukan waktu yang sebentar. Enam bulan. Cukup untuk melatih orang-orang terampil yang profesional. Satu dari ketrampilan itu adalah menyimak atau mendengar. Bayangkan, bagaimana bosannya, belajar mendengar saja butuh waktu satu semester.
Semakin ke sini, saya baru sadar, ternyata sepenting itu. Meski kadang-kadang tidak sedikit yang menganggapnya remeh. Buat apa belajar mendengar dan membaca saja butuh waktu sepanjang itu.
Kenyataannya memang membutuhkan waktu panjang. Melek huruf sama bisa membaca itu dua sisi mata uang yang berbeda. Orang melek huruf, tidak semuanya tahu cara membacanya.
Padahal membaca ini keterampilan penting berbahasa. Bagaimana orang itu bisa memahami apa yang ia baca, jika ia terus-terusan salah membacanya. Hasilnya fatal, pembaca bisa salah paham dengan apa yang ia baca.
Kemudian berbicara. Berbicara itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan membaca. Hasil dari membaca, kemudian dirangkum, dianalisis, dielaborasi, dan diaktualisasikan dengan berbicara.
Kebetulan, materi di kelas kemarin, cerpen. Meski mereka sudah mendapatkannya di SMP, tetapi mereka saya ajak lebih jauh lagi mengenal cerpen. Dari variasi karya dan penulisnya. Masa bertahun-tahun sekolah, kenalannya Cuma Tere Liye saja.
Saat materi itu, saya menekankan pada dua kterampilan, membaca dan menulis. Mereka saya beri satu cerpen per orang. Cerpennya macam-macam. Ada yang milik Seno Gumira Ajidarma, Gus Mus, Agus Noor, S. Prasetyo Utomo, dan Yetti Aka.
Pada pertemuan ke tiga, mereka menceritakan ulang dengan bahasa sendiri. Menceritakan ulang itu tidak membaca ulang. Jadi ada proses pemahaman baru. Setelah mereka memahami, mereka lanjut pada proses menceritakan ulang.
Saat menceritakan ulang, harapan saya mereka bisa bercerita dengan lancar, menangkap inti ceritanya, dan tahu pesan apa yang disimpan penulis dalam ceritanya.
Nyatanya jauh dari harapan. Mereka bisa membaca, tetapi lebih banyak yang kurang bisa bercerita.
Untuk sekadar memahami jalan cerita saja, sangat sulit. Mereka mengeluh ceritanya aneh dan membingungkan.
Saya tanya, apa yang membingungkan? Mayoritas mereka mengatakan jalan cerita. Sedangkan jalan cerita bisa dipahami dari mereka memahami teksnya, kalimat-kalimatnya.
Tetiba saya ingat, waktu kuliah di semester awal dulu. Ada satu mata kuliah bernama linguistik. Semua jurusan bahasa, sepertinya bakal dapat matkul ini.
Berhubung dosennya orang filsafat, maka kebahasaan dihubungkan dengan itu. Bukunya juga terbilang berat-berat. Berat dalam arti bahasa dan ketebalannya.
Sebagai mahasiswa awal, kami kala itu cukup sulit memahami bahasanya. Mungkin sama seperti yang dialami anak-anak itu.
Pada satu perkuliahan, ada satu teman saya, ia memberanikan diri bertanya. Kira-kira begini pertanyaannya.
Pak, kira-kira kenapa ya, kalau kami membaca buku-buku ini merasa sangat sulit dipahami, karena bahasanya tinggi?
Si Dosen itu menjawab, tidak ada bahasa tinggi rendah itu. Kalian tidak bisa memahami itu karena tingkat intelektual kalian cukup segitu. Pemahaman kalian hanya segitu.
Ketika kalian membaca dan ada yang tidak kalian pahami, terus kalian memutuskan berhenti. Itu keputusan salah, karena seharusnya tidak boleh berhenti.
Kalau kalian melanjutkan membaca, ketidakpahaman kalian akan kalian temukan di teks-teks selanjutnya.
Kemampuan berpikir itu akan kalian temukan di saat daya pikir kalian terus kalian gunakan.

Masyallah
BalasHapus