Langsung ke konten utama

Kuliah Adalah Salah Satu Cara Menguji Keberuntungan Kita


Di sekolah tempat saya mengajar, beberapa hari yang lalu membuat acara Campus Expo. Acara itu bertujuan memfasilitasi para siswa agar mereka punya lebih banyak referensi kampus sebelum mereka melanjutkan ke jenjang perkuliahan.

Acaranya sangat meriah. Sangat berbeda dengan Campex zaman saya sekolah dulu. Zaman saya konsepnya sederhana. Alumni yang datang juga tidak begitu banyak.

Di sekolah lain biasanya dibedakan antara kampus satu dengan kampus lain. Di beri batas pemisah untuk menandakan asal kampusnya. Di zaman saya tidak. 

Konsepnya general, karena tidak banyak juga alumni yang kuliah. Maklum, sekolah kejuruan. Fokusnya tidak kuliah, tapi kerja.

Jadi respon mereka biasa saja saat melihat para kakak kelasnya memakai almamater kebanggaannya. Tidak seperti anak SMA pada umumnya. Mungkin dari situ, saya dulu tidak terlalu merasa bangga dengan jas almamater yang saya pakai. 

Karena dengan kebanggan, kita berpeluang besar jadi jumawa, sebab kita sudah siap bahannya. Tinggal memainkannya seperti apa.

Berbeda dengan Campex di tempat saya mengajar. Acaranya megah dan sangat meriah. Sama seperti di sekolah-sekolah lain. Saya melihat para siswa tampak begitu senang. Di matanya seolah-olah terpampang jelas masa depannya. Mereka tinggal pilih mau jadi apa. 

Ikut Campex, malah Bingung

Rasa senang itu tidak saya temui di salah satu siswa yang sempat saya tanyai. Setelah ikut Campex, ia bilang tambah bingung. Sebelum ikut, konon ia sudah punya pilihan kampus beserta jurusannya. Ia terlanjur yakin dengan kampus dan jurusan itu.

Tetapi pasca Campex, ia malah dibuat bingung, ternyata banyak kampus dan jurusan yang belum ia ketahui. Mau tidak mau akhirnya ia berpikir ulang menentukan kampusnya.

Untuk berpikir ulang ini katanya agak susah. Perlu diskusi berkali-kali dengan orang tuanya. Susahnya adalah, kata dia kadang dalam beberapa diskusi, kemauan orang tuanya tidak sejalan dengan kemauannya.

Atau juga ada fenomena orang tua tidak tahu passion dan kemampuan anaknya di mana, sehingga orang tua memaksakan pilihannya. Menurut orang tuanya, pilihan merekalah yang terbaik. Padahal belum tentu pilihan orang tua itu terbaik. Akibatnya, passion si anak tidak berkembang.

Bisa saja di sela-sela kuliahnya, passion itu berkembang, tapi sayang, berkembangnya kurang maksimal. Ia tidak bisa fokus karena harus beriringan dengan kuliah yang dipilih orang tuanya.

Lain cerita jika si anak tidak punya ketertarikan pada sesuatu. Tidak punya keahlian atau tidak punya passion. 

Biasanya anak seperti ini, pertimbangan kuliahnya diukur dari jurusan yang progres pekerjaannya setelah lulus nanti akan mendapat gaji mentereng.

Itu biasanya dilakukan tanpa perlu passion. Asal pintar dan mudah mencerna informasi-informasi baru dalam perkuliahan, ia akan lulus dan berpeluang mencapai target pekerjaan yang dia inginkan.

Saya memilih diksi berpeluang, karena belum bisa dipastikan juga apakah mereka nanti akan dapat pekerjaan sesuai jurusannya atau tidak. Zaman sekarang, hal semacam itu sangat sulit dipastikan.

Profesionalisme tanpa Skill

Mengingat dunia profesionalisme tidak hanya mengandalkan kertas bernama ijazah. Di balik ijazah, perlu ada namanya pengalaman dan soft skill.

Sekarang banyak anak punya ketertarikan pada suatu bidang, tapi banyak juga di antara mereka yang belum tumbuh soft skillnya. Sekadar minat, tapi tidak dikembangkan lagi.

Paling penting yaitu perlu keseimbangan antara ijazah dengan keterampilan. Akan lebih baik lagi keterampilannya sejalan dengan ijazahnya. Andaikan tidak sejalan juga tidak jadi masalah. Justru ada dua senjata. 

Kalau tidak menggunakan ijazah, maka keterampilannya yang digunakan. Atau salah satunya digunakan untuk menjalankan kerja sampingan, di samping ada pekerjaan utamanya.

Dari acara itu, saya sebagai orang yang pernah kuliah, dalam hati berkata, ternyata kondisinya sama dari waktu ke waktu. 

Perkuliahan masih dominan menjadi pilihan siswa untuk meraih masa depannya. Padahal kalau dipikir-pikir, itu juga masih belum jelas.

Apalagi di sekolah-sekolah bonafit, baik swasta dan negeri, siswa yang tidak berkuliah, seakan-akan aib bagi sekolah. 

Terlebih prosentase alumni yang berkuliah atau tidak, bisa dijadikan salah satu indikator penilaian akreditasi sekolah.

Melihat teman-temannya pada sibuk ingin kuliah, maka, tidak ada alasan lagi bagi siswa yang awalnya tidak kuliah, lalu memutuskan berkuliah. Padahal itu pilihan, bukan ikut-ikutan. Tidak kuliah juga tidak mengapa.

Saya mengatakan itu pilihan karena saya punya contoh pengalaman nyata. Kenapa pilihan, karena kesuksesan orang tidak selalu bergantung pada ijazah kuliahnya.

Tidak Ada Jaminan Sukses

Saya punya teman SMA. Ia memutuskan tidak berkuliah karena ia tidak mau membebani orang tuanya lagi. Meski sekolah lagi itu kegiatan positif, tetapi menurutnya cukup dan gantian, sekarang ia yang harus dibebani orang tuanya.

Dari situ ia memutuskan pasca lulus SMA langsung bekerja. Sama seperti orang pada umumnya. Setelah lulus, ia ke sana ke mari mencari pekerjaan. 

Dari satu pabrik ke pabrik lain. Hasilnya nihil. Tidak ada perusahaan yang mau menerimanya.

Saat itu, di puncak lelahnya mencari kerja, ia dapat kabar, ada salah satu perusahaan asing, karyawannnya lagi gencar-gencarnya demo menuntut kenaikan gaji. Tuntutan tidak dikabulkan, tetapi karyawan yang terdata demo tadi, di-PHK.

Setelah ia tahu rumor PHK besar-besaran, ia berpikir bahwa perusahaan asing itu jelas butuh banyak pekerja. Tak menunggu lama, ia masukkan lamarannya. 

Singkat cerita akhirnya ia diterima kerja sampai detik ini. Karena perusahaan asing, otomatis upahnya banyak. Beda dengan BUMN, apalagi BUMD.

Di awal-awal bekerja, ia tampak biasa. Sama seperti teman-teman lain yang juga bekerja. Namun setelah itu, lama tak jumpa. 

Kemudian berjumpa lagi, tiba-tiba ia datang bawa mobil. Katanya itu mobilnya sendiri, meski masih kredit sekitar 4 jutaan setiap bulan.

Kalau dipikir-pikir, sebulan saja ia menghabiskan uang 4 juta buat bayar mobil, berarti sebulan ia bisa dapat minimal dua kali lipatnya atau bisa juga lebih.

Sedangkan kami, teman-temannya yang masih kuliah waktu itu, uang minta orang tua. Lulus kuliah pun, kerja, belum tentu bisa dapat upah sebegitu banyaknya. 

Padahal, butuh minimal 4 tahun untuk kita habiskan di bangku perkuliahan. Empat tahun itu pun sama sekali tidak bisa dibuat jaminan.

Jadi, soal kesusksesan di masa depan, sebenarnya tidak terlalu bergantung pada kuliah atau tidak, sebab, ada sepersekian persen yang namanya keberuntungan. 

Setiap orang punya keberuntungan itu, tetapi tidak semua orang tahu, kapan dan di mana ia berjumpa dengan keberuntungannya. ***

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...