Langsung ke konten utama

Ilmu dan Penyikapannya

 


Sebagai orang yang pernah mencicipi lingkungan pondok, meski tidak ikut mondok, saya sedikit tahu bagaimana budaya mereka. Dari cerita-cerita teman, melihat sendiri waktu mereka di pondok, dan sekarang, untuk mengetahui lingkungan pondok, orang tidak perlu terjun langsung ke lokasi, cukup melihat di media sosial sudah bisa. Di sana banyak sekali cuplikan video yang memperlihatkan keanekaragaman hubungan sosial di pondok. Cuma, tahunya hanya sebatas tahu, tidak benar-benar punya pengalaman orisinil.

Kultur budaya paling kentara yang coba saya deskripsikan adalah kebiasaan mengantuk para santri. Reliatanya tentu bukan hanya itu budaya mereka. Pastinya beragam dan berwarna. Ini saya tidak menggeneralisasikan semua santri. Kebanyakan mereka yang saya temui menunjukkan kebiasaan semacam itu. Saya pun memaklumi. Mereka seperti itu tentu dengan alasan. Karena kegiatan pondok, terutama ngajinya banyak. Tidurnya pun ikut larut malam. Hampir semua santri mengatakan hal serupa. 

Karena saya tidak pernah menjadi mereka, maka saya tidak boleh menyalahkan begitu saja. Sebagai orang awam, saya rasa alasan itu tidak boleh dikambing hitamkan, disalah-salahkan. Itu sudah jadi tanggungjawab mereka. Mau tidak mau, seberat apapun, mereka wajib melakukannya. 

Saat sekolah, kebiasaan itu paling terlihat. Ketika jam pelajaran dimulai, rasa kantuk itu datang. Entah kenapa, setelah jam pelajaran usai, kantuk mereka hilang begitu saja. Tanpa sebab yang kongkrit. 

Bahkan paling parah, sejak jam pertama dimulai, setelah doa bersama, mereka sudah ngantuk. Kepalanya pelan-pelan ditaruh di meja. Matanya sayup-sayup. Dan pasti badannya ikut lemas. Jika badan sudah ngantuk, diikuti dengan tubuh lemas, maka alamat malas mulai datang.

Salah satu kelemahan orang bisa terlihat saat mereka mulai ngantuk. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Logika tidak berjalan normal. Kadang, kalau ngantuknya berat, bicaranya akan ngelantur. Kepala merasa pening. Badan pun tidak kuat sepenuhnya. Lebih ke malas, sulit untuk bertindak. Obatnya cuma satu, tidur.  

Nikmatnya orang tidur itu tak bisa dihitung. Saking nikmatnya sampai tak sanggup dilukiskan bahasa. Konon, banyak orang berkata, suatu tindakan penting untuk diniati, dipersiapkan, dan dikonsep secara apik. Tetapi tidur malah sebaliknya, nikmatnya tidur itu berada saat ketiduran. Bukan yang sengaja menidurkan. 

Itu kultur yang semestinya pelan-pelan perlu diubah. Bagaimana cara mengubahnya juga saya masih bingung. Sering sekali, saat saya melakukan pembelajaran di kelas. Badan kadang tak menentu. Bisa tiba-tiba capek banget. Bisa juga tiba-tiba semangat. Kebetulan saat itu capek. Saya coba membiarkan mereka tertidur. Terserah mau dengarkan materi saya atau tidak. Yang penting mereka tahu pelajaran apa dan siapa guru yang mengajar. 

Terkadang, kita perlu memberi sikap pembiaran. Tujuannya supaya mereka tahu konsekuensi ke depan apa atas sikapnya dulu. Akibat tidur, mungkin sebagian materi belum mereka tangkap. Tanya teman juga belum tahu efektif tidaknya. Merembetnya lagi karena tidak paham, nilai ujiannya bisa jelek. Pengaruhnya di nilai akhir atau di nilai akumulatif yang mereka gunakan untuk naik ke jenjang selanjutnya.

Tidurnya mereka terjadi saat berkegiatan sekolah, itu bisa diindikasi mereka tidak menghargai gurunnya. Analoginya, bagaimana rasanya, misalkan ada teman mau bercerita, tapi justru kita enggan mendengarkan. Pasti rasanya sakit. 

Terlebih mereka dihadapkan pada dua keilmuan yang menurut mereka bersebrangan. Ada ilmu agama dan ilmu dunia. Tentu mereka lebih mengutamakan agama, tapi juga melakukan keduniawiaan. Dua batas ilmu tadi memumculkan pola penyikapan berbeda di masing-masing ilmu.

Orang yang menjadi guru agama punya kekhususan tersendiri dibanding guru duniawi. Padahal di Islam, saya belum menemukan penggolongan seperti itu. Guru juga sama. Namanya guru, tetap guru. Orang yang mendidik sekaligus mengajar. Hanya budaya kita saja yang membedakan. Ada guru agama, ngaji, sekolah, dan jenis guru lainnya.

Asumsinya, Ilmu agama berasal dari Tuhan. Ilmu duniawi berasal dari manusia. Manusia asal mulanya dari siapa, jika bukan dari Tuhan. Siapa yang membuat manusia berpikir? Ilmunya dari siapa kalau bukan dari Tuhan?.

Sementara itu, kalau mau berpikir substansial dan mendasar, ilmu-ilmu yang tergolong duniawi, ujung-ujungnya atau orientasinya ada di Tuhan. Kembalinya ke sana. Adapun tambahan dasarnya adalah Allah Swt. mengatakan, "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu." Artinya, apapun yang dilakukan manusia, selama bermanfaat dan diniati ibadah, maka itu bisa jadi nilai ibadah.

Pemahaman awal mengenai ilmu perlu ditanamkan sedari awal. Sehingga ke depan pandangan mereka tidak terkotak-kotakan lagi. Di samping itu, imbas baiknya adalah mereka akan tahu tujuan sekolah serta belajar. Bahwa di setiap pembelajaran, materi yang ia terima, pengaplikasiannya ada kehidupan nyata mereka. Di situ ada narasi besar yang mengokohkan mereka, yaitu menghargai ilmu dan orang berilmu (guru).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...