Langsung ke konten utama

Postingan

Dari Sepatu Reot, Kita Bisa Belajar Bagaimana Menjadi Orang Bervalue

Sepatu itu saya beli sekitar tahun 2016. Awal masuk kuliah. Mereknya crocodile. Belinya di daerah Menganti Gresik, dekat kampus UNESA Lidah Wetan.‎ Saya beli di hari kedua PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru). Di hari pertama, sepatu yang saya gunakan tidak sesuai peraturan. Akibatnya, saya mendapat hukuman. Agar tidak mendapat hukuman lagi, uang saku pemberian orang tua dari rumah, saya gunakan membeli sepatu baru, padahal sepatu dari rumah juga terbilang baru beli. Saya masih ingat betul, harganya Rp80.000. Saya membelinya pada malam hari setelah tugas PKKMB selesai saya kerjakan. Sepatu itu tidak selalu saya pakai, kecuali pas ada acara-acara formal yang mengharuskan memakai sepatu pantofel. Setelah beberapa tahun saya pakai, akhirnya jebol juga. Saya berniat tidak memakainya lagi. Waktu saya pulang ke rumah, saya bawa sepatu itu dengan niatan mau saya taruh di rumah saja, karena tidak memungkinkan dipakai. Ternyata, tanpa saya ketahui, saat saya di Surabaya, sepatu it...

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...

Tablet

Setelah sekian lama akhirnya saya kesampean juga membeli tablet. Alat kecil yang kehadirannya cukup dibutuhkan. Dari situ nanti saya bisa duduk-duduk sambil bermain tablet. Bisa juga ngopi-ngopi santai sambil tabletan. Menarik bukan.  Membeli tablet bukanlah sebuah prestasi yang membanggakan. Bukan pula pencapaian yang benar-benar perlu diperjuangkan. Apalagi dicatat sebagai modal sejarah. Sangat tidak perlu. Tidak juga terhitung sebagai kontributor perubahan bangsa.  Tetapi menurut sebagian orang, membeli sesuatu yang sudah lama ingin dibeli dengan hasil jerih payah sendiri itu rasanya berbeda. Tapi bagi yang masih disubsidi uang dari orang tua, mungkin tidak akan pernah merasakan hal yang serupa. Hal ini juga pernah saya alami ketika baru membeli motor baru. Kemudian datang seorang teman yang mulutnya tanpa aturan tiba-tiba njeplak dengan omongan yang sangat tidak enak didengar. Ia anak orang yang cukup punya uang. Selain motor, kendaraan hariannya adalah mobil. Jadi ketika ...

Menghormati Usia Senja dengan Berkarya

Bagi Budi Darma, mungkin menulis sudah menjadi bagian jalan hidupnya. Sebagian besar hidupnya dia abdikan untuk menulis, di samping kegiatan dia yang lain. Usia tidak terlalu jadi masalah. Ia tetap menyediakan waktu dan tenaga untuk menulis.  Saat saya praktik mengajar di SMKN 2 Probolinggo. Di sana punya mading etalase yang dipasang di lorong utama tempat siswa berjalan. Mading tersebut setiap hari selalu menempelkan koran yang dipisah per rubriknya. Saya masih melihat Budi Darma menulis opini di kompas.  Padahal usianya sudah senja dan saya masih ingat, kalau tidak salah sepertinya itu opini terakhir yang ia tulis sebelum menghadap di haribaan Tuhan, karena tidak lama dari itu, saya mendengar kabar dukanya ketika masih di Probolinggo. Konon, masa tua orang siklusnya berputar. Sangat rentan kembali menjadi anak-anak. Sulit diatur, terlalu imajinatif, dan kurang matang dalam menyikapi persoalan orang dewasa.  Namun berbeda dengan sebagian orang seperti Budi Darma, meski s...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Konvensional, Inovatif, dan Eksentrik

Lawan kata konvensional adalah eksentrik. Cuma di dunia pendidikan, lawan dari konvensional bukan itu, tapi inovatif.  Sekarang, dua kata tersebut seperti tom and Jerry, selalu ditandingkan dan dipermusuhkan. Yang tidak inovatif, berarti dia konvensional. Yang konvensional, ia tidak mau belajar. Begitu kira-kira. Berarti perkembangan pendidikan itu soal melihat waktu, karena inovatif dan konvensional adalah dua kata yang konteksnya dihubungan dengan waktu. Inovatif itu sekarang. Konvensional itu masa lalu. Ibaratnya, para guru yang dulu-dulu itu konvensional. Sedangkan guru-guru sekarang, yang notabene mudah-mudah, itu inovatif. Atau bisa juga, inovatif itu pembelajaran masa sekarang. Konvensional itu pembelajaran masa lalu. Kalau begitu, pembelajaran konvensional sekarang tidak berlaku, karena konvensional letaknya pada masa lalu. Membuat kata konvensional dipojokkan, seolah-olah menjadi kata jelek. Sebisa mungkin harus dijauhi. Perannya sudah mendekati sebagai kata justifikasi. A...