Langsung ke konten utama

Tablet

Setelah sekian lama akhirnya saya kesampean juga membeli tablet. Alat kecil yang kehadirannya cukup dibutuhkan. Dari situ nanti saya bisa duduk-duduk sambil bermain tablet. Bisa juga ngopi-ngopi santai sambil tabletan. Menarik bukan. 

Membeli tablet bukanlah sebuah prestasi yang membanggakan. Bukan pula pencapaian yang benar-benar perlu diperjuangkan. Apalagi dicatat sebagai modal sejarah. Sangat tidak perlu. Tidak juga terhitung sebagai kontributor perubahan bangsa. 

Tetapi menurut sebagian orang, membeli sesuatu yang sudah lama ingin dibeli dengan hasil jerih payah sendiri itu rasanya berbeda. Tapi bagi yang masih disubsidi uang dari orang tua, mungkin tidak akan pernah merasakan hal yang serupa.

Hal ini juga pernah saya alami ketika baru membeli motor baru. Kemudian datang seorang teman yang mulutnya tanpa aturan tiba-tiba njeplak dengan omongan yang sangat tidak enak didengar. Ia anak orang yang cukup punya uang. Selain motor, kendaraan hariannya adalah mobil. Jadi ketika kumpul, ia sering membawa mobilnya.

Saya tidak mempermasalahkan itu. Entah bawa mobil, pesawat, terserah, itu urusan dia. Cuma yang jadi masalah adalah harta yang ia punya hanya ia jadikan untuk meledek teman-temannya. 

Ia belum pernah merasakan beli sesuatu dengan uangnya sendiri, hasil keringatnya sendiri. Yang ia tahu hanya meminta ke orang tuanya. Langsung ada dan serba tercukupi. Itu yang membuat ia kurang bisa menghargai temannya, karena kepuasan membeli barang sendiri seperti yang dirasakan teman-temannya sama sekali belum pernah ia rasakan.

***

‎Laptop dan tablet adalah dua alat yang berbeda, baik secara fisik dan kegunaannya. Ada beberapa hal yang bisa dikerjakan menggunakan laptop, tapi tidak memungkinkan menggunakan tablet. 

‎Namun, pada beberapa bidang pekerjaan, tablet bisa lebih menyederhanakan. Presentasi misalnya atau edit-edit ringan menggunakan Canva.‎ Memang begitu, semakin ke sini orang akan lebih memilih kesederhanaan dan sebisa mungkin menghindari keruwetan. Hal-hal yang mekanismenya terlalu panjang dan ribet, sebisa mungkin dipangkas, agar lebih cepat dan memudahkan pekerjaan.

‎Bagi yang suka edit-edit ringan, memakai laptop adalah hal yang cukup rumit. Selain bentuknya lebih besar dan berat, memakai laptop juga butuh waktu yang tidak sat set dan memakan tempat yang agak banyak. Sedangkan tablet sangat simpel. Sama seperti HP. Cukup tekan on atau off untuk menyala dan mematikannya. ‎

‎Selain itu, orang membawa tablet akan memiliki kesan berbeda jika dibandingkan dengan orang membawa laptop. Makanya, orang-orang yang ingin memiliki kesan value berbeda, mereka akan menggunakan tablet atau laptop 2 in 1 yang secara look, mirip seperti tablet.‎ Bisa digunakan terpisah antara kyboard dan layarnya.

‎Sebagai pengguna tablet, tentu orang tidak mungkin berkata demikian. Tidak mungkin ia gamblang mengatakan ke orang lain, gimana aku sudah terkesan berkelas apa tidak. Tidak perlu, cukup dimaksudkan dalam hati saja, karena biar tidak terkesan sombong. Yang ditangkap orang biar agar terlihat lebih praktis saja. ‎

Kesombongan itu pasti, cuma cara agar tidak terlihat sombong itu perlu siasah. Sebagai manusia memang begitu, sebisa mungkin menyembunyikan aib atau keburukan kita sendiri. Biarkan itu menjadi tugas orang lain untuk menyebarkannya.

***

‎Sebelum membeli tablet, saya sebenarnya punya dua pilihan, mau membeli tablet atau laptop. Maklum, laptop saya sejak zaman Majapahit ini secara akselerasi memang seharusnya sudah waktunya ganti. Namun saya mempertimbangkan, jika membeli tablet, lumayan bisa mewakili dua alat bantu itu, yakni laptop dan HP. Lagian sebelum membeli tablet kemarin, laptopnya sudah saya servis biar tidak lemot.

‎Saya juga tidak terlalu berat menggunakan laptop, hanya sekadar presentasi, ketik mengetik, dan edit tipis-tipis. Oleh karena itu akhirnya saya memutuskan membeli, karena praktis, fleksibel, dan mudah dibawa ke mana-mana.

***

‎Dari beberapa alasan itu, saya masih belum bisa meyakinkan diri saya sendiri, membeli tablet ini apakah itu kebutuhan atau hanya sekadar keinginan. Jika melihat dari kebutuhannya juga tidak terlalu butuh, tetapi melihat dari kepraktisannya, adanya tablet bisa sangat membantu saya lebih produktif.‎

‎Tidak menjadi soal, jika pertimbangannya hanya sekadar ingin atau butuh, tetapi di balik itu ada hal lain yang pertimbangannya lebih besar, yaitu kepuasan dan produktivitas.

‎Kadang, pertimbangan secara kebutuhan dan keinginan itu bisa dilihat dari berapa uang yang ada. Jika masih ada kebutuhan lain yang belum terpenuhi, tapi sudah mendahulukan keinginannya, maka jelas itu salah. ‎

‎Apalagi jika membeli tanpa mempertimbangkan banyak hal, langsung beli, terutama soal fungsi setelah membeli. Jelas sia-sia dan mubazir. Setidaknya ada pertimbangan nilai guna pasca pembelian. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...