Bagi Budi Darma, mungkin menulis sudah menjadi bagian jalan hidupnya. Sebagian besar hidupnya dia abdikan untuk menulis, di samping kegiatan dia yang lain. Usia tidak terlalu jadi masalah. Ia tetap menyediakan waktu dan tenaga untuk menulis.
Saat saya praktik mengajar di SMKN 2 Probolinggo. Di sana punya mading etalase yang dipasang di lorong utama tempat siswa berjalan. Mading tersebut setiap hari selalu menempelkan koran yang dipisah per rubriknya. Saya masih melihat Budi Darma menulis opini di kompas.
Padahal usianya sudah senja dan saya masih ingat, kalau tidak salah sepertinya itu opini terakhir yang ia tulis sebelum menghadap di haribaan Tuhan, karena tidak lama dari itu, saya mendengar kabar dukanya ketika masih di Probolinggo.
Konon, masa tua orang siklusnya berputar. Sangat rentan kembali menjadi anak-anak. Sulit diatur, terlalu imajinatif, dan kurang matang dalam menyikapi persoalan orang dewasa.
Namun berbeda dengan sebagian orang seperti Budi Darma, meski sudah memasuki usia senja, bahkan menjelang akhir hayatnya, ia masih menulis. Opininya masih bertengger di media masa.
Itu membuktikan bahwa Tuhan tahu, kehadirannya masih dibutuhkan. Cara berpikirnya masih relevan dengan zaman. Analisisnya masih diperhitungkan untuk menilai banyak fenomena yang ada di sekitarnya.
Usia matang diperkirakan kira-kira umur 20-50 tahun. Secara kelogisan berpikir, usia segitu bisa dikatakan sudah cukup matang. Cara berpikirnya lebih berkembang, terstruktur, karena berpacu dengan banyak pengalaman. Setiap hari otaknya selalu dipacu untuk produktif (bagi yang produktif).
Ketika memasuki usia senja, kebanyakan orang tidak terlalu menandai apakah pendapat yang dikeluarkan sudah matang atau tidak, tapi yang ditandai orang adalah bijak tidaknya dia saat menanggapi sesuatu, karena usia senja adalah usia-usia yang pada dirinya sudah penuh dengan nilai, sehingga apa yang dikeluarkan harus bisa menjadi contoh baik untuk orang lain. Jika tidak bisa menjadi contoh, orang akan protes.
Makanya, ketika ada tokoh publik muncul dengan mengeluarkan pendapat atau sejenisnya, tetapi dia tidak mencerminkan nilai-nilai baik di usianya, malah sering membuat kontroversi, orang akan sulit segan, karena mereka beranggapan bahwa ia tidak mencerminkan nilai-nilai yang sesuai dengan usianya.
Bukan berarti tidak boleh bersikap, tetapi yang jadi permasalahan adalah caranya bersikap dan reaksinya pada persoalan tertentu, serta yang paling banyak disoroti adalah bahasa verbal yang sering ia keluarkan.
***
Hari Jumat kemarin, saat pulang dari Lamongan Kota, saya singgah sholat jumat di salah satu masjid yang searah jalan pulang. Tanpa disangka, ternyata itu masjid Muhammadiyah. Sama sekali tidak jadi soal.
Justru ada pemandangan yang menarik ketika khotbah. Pengkhotbah sama sekali tidak menggunakan teks apapun. Tidak membuat contekan atau menulis isi khotbahnya di kertas. Pemandangan yang sangat langkah, di samping banyak pengkhotbah yang membawa media kertas dan fokusnya hanya melihat di kertas, tidak pada jamaah di depannya.
Saya lebih kagum lagi, karena melihat pengkhotbahnya ternyata sudah sepuh. Tidak mudah lagi, dan pastinya lebih ekspresif, karena tangannya tidak megang apa-apa. Dari ekspresi tangannya saat khotbah, seakan-akan menambah ketertarikan orang untuk mendengar. Meminimalisir jamaah yang suka tidur saat khotbah.
Ditambah, kefasihan bicaranya melebihi usianya. Dia menggunakan bahasa campuran, Indonesia dan Jawa, tetapi lebih dominan ke bahasa Indonesia. Saya berpikir, di usianya yang tidak mudah, tapi public speakingnya bagus, pemilihan diksinya juga mudah dipahami, dan pelafalannya jelas, ini pasti sejak mudah sudah terbiasa dengan dunia dakwah.
Untuk menghasilkan kualitas public speaking bagus dan berkualitas, tentu tidak bisa dilakukan sekali dua kali. Sebelumnya sudah dibayar dengan jam terbang yang tinggi.
Begitu juga dengan penampilannya. Kalau biasanya pengkhotbah selalu berpenampilan agamis, pakai baju putih, bersorban, berjubah, tetapi pengkhotbah satu ini tidak. Dia hanya memakai baju dan sarung seadanya, bahkan bajunya hanya cukup memakai batik. Sarungnya biasa. Paling juga tidak merek BHS.
Dua contoh di atas menjelaskan, bahwa jarang sekali orang berkarya sampai di usia senjanya. Karya sanggup membuat orang lebih bergairah dalam hidupnya. Setiap orang punya karya, asal mau menyadari bahwa apa yang mereka hasilkan, itu adalah karyanya.
Petani berkarya dari hasil taninya. Guru berkarya melalui para siswanya. Buruh pabrik berkarya melalui produk yang dihasilkan dari mesin-mesin pabrik.
Kenapa para buruh sering melakukan demo? Niat mereka baik. Mereka sadar, semakin mereka dijauhkan dari hasil-hasil kerja mereka melalui kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan, maka barang yang mereka hasilkan akan mengalami penurunan kualitas, karena mereka tidak puas dan diasingkan dari barang-barang yang mereka hasilkan sendiri.
Lalu, sudahkah kita merasa berkarya? Sejauh mana kita dekat dan merasa puas dengan karya-karya kita?

Komentar
Posting Komentar