![]() |
| Sumber gambar: Shutterstock.com |
Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran.
Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya.
Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan.
Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merembet Jadi masalah nasional. Sekonyol itu.
Contoh kasus hilangnya rendang ratusan kilo di acara masak besar content creator bernama Willy Salim di Palembang. Sampai-sampai dewan adat sana membuat pernyataan tidak memperbolehkan Willy Salim datang ke Palembang seumur hidupnya.
Padahal hanya kasus rendang. Terjadinya di Palembang. Viralnya di media sosial. Pembahasannya sampai ke seantero negeri. Sekarang, penting tidaknya masalah, tidak diukur dari seberapa banyak orang membahas masalah itu, karena semakin ke sini, semakin banyak orang membahas masalah yang tidak bermanfaat bagi keberlangsungan hidupnya ke depan. Itulah dampak yang ditimbulkan media sosial.
Kira-kira kalau dibahas, apa urgensinya? Apa manfaat informasi itu untuk masyarakat yang ada di daerah-daerah lain. Akan baik jika untuk pelajaran. Sekali dua kali tidak jadi soal, tapi ini di timeline setiap hari muncul informasi seperti itu. Istilahnya mubazir informasi. Sama sekali kurang bermanfaat. Tidak membuat otak semakin kritis dan analitis.
Mungkin sumber daya manusia Indonesia tidak terlalu diperhitungkan, karena kebiasaan berpikir mereka terlalu berlebihan. Yang tidak seharusnya mereka pikir, malah dipikir. Jadi semuanya dipikir.
Padahal, tidak semua yang terjadi, patut dipikir. Masalah orang lain, dipikir. Sedangkan masalahnya sendiri diabaikan. Mirip seperti kita sedang melihat tayangan-tayangan gosip yang membahas selebritis.
Mempertimbangkan Indikator Masalah Nasional
Bahkan terkait dengan masalah nasional. Saya tidak yakin semua yang dianggap masalah nasional, indikatornya memenuhi menjadi masalah nasional. Logikanya, jika itu masalah nasional, maka imbasnya harus menyeluruh ke semua lapisan masyarakat tidak terkecuali. Dari kelompok elite sampai akar rumput.
Masalahnya, urusan nasional selalu berpatokan pada ramai tidaknya di media sosial. Masalah yang diangkat pun perlu dipertanyakan ulang. Di antaranya, sejak kapan kasus rumah tangga selebritis menjadi masalah nasional? Padahal masih banyak masalah-masalah lain yang perlu diperhitungkan.
Kesimpulannya adalah, sebenarnya masalah bisa dibuat. Begitu juga bagaimana dengan kadar meluasnya. Namun yang paling bisa dijadikan tolok ukur masalah nasional adalah, bila masyarakat kecil juga membahasnya di mana-mana.
Seperti masalah UU TNI yang gonjang-ganjingnya tidak jelas manfaatnya ini. Saya melihat keramaian yang ditimbulkan tidak seberapa pengaruh pada masyarakat akar rumput. Masyarakat desa yang tidak begitu paham masalah di media sosial, justru mereka sama sekali tidak tahu jika ada masalah itu.
Orang tani, mereka akan tetap berangkat ke sawah. Penjual bakso, akan tetap membuka lapak jualannya. Orang kuli bangunan juga sama, tiap pagi mereka tetap Istiqomah bekerja membangun bangunan.
Dalam benak mereka, tidak akan menjadi masalah selama tidak menganggu pekerjaan mereka sehari-hari. Misalanya, pemerintah membuat kebijakan, semua pembangunan dalam bentuk apapun harus diambil alih oleh pemerintah. Kuli bangunan kecil yang ada di desa-desa tidak dapat jatah untuk mengerjakan.
Atau pada hari itu juga, pemerintah membuat kebijakan, tepung tapioka tidak boleh diproduksi lagi karena mengandung zat tertentu. Sehingga membuat para kuli dan penjual bakso gelisah, marah, dan kecewa, karena pada hari itu mereka tidak bisa jualan.
Bisa jadi setelah itu mereka membuat aliansi penjual cilok dan kuli bangunan untuk menginisiasi gerakan unjuk rasa di berbagai daerah. Unik bukan? Kapan lagi ada orang-orang yang dianggap dari kelas-kelas ekonomi rendah berkonsolidasi membuat aksi menuntut agar segera diproduksi tepung tapioka dan kebijakan baru tentang diperbolehkannya kuli-kuli bangunan kecil mengerjakan proyeknya.
Apakah salah jika orang-orang akar rumput tidak tahu masalah UU TNI? Saya mengatakan jelas tidak salah mereka. Ketika antara masyarakat dan pemerintah ada mis komunikasi atau informasi yang tidak tersampaikan, seharusnya itu menjadi kesempatan bagi para mahasiswa, aktivis, intelektual, sampai akademisi sekalipun untuk masuk menyusup memberi pemahaman, jika kebijakan pemerintah dianggap merugikan mereka.
Keseringan Ramainya Cuma di Medsos
Jangan cuma mengandalkan media sosial dengan berbagai tagarnya, itu sama sekali tidak memengaruhi sikap mereka yang ada di desa-desa dan kampung-kampung. Tagar yang kita buat tidak akan sampai ke mereka.
Jika kita menganggap mereka ditindas, seharusnya kita bisa menyadarkan bahwa mereka sebenarnya ditindas dengan adanya UU TNI.
Seviral apapun, kondisi masyarakat kecil juga akan sama, samar-samar, kurang begitu tahu masalahnya. Mereka hanya tergerak saat ada ajakan pengajian. Contohnya pengajian Gus Iqdam.
Saya rasa sementara ini, pengaruh media sosial yang paling bisa dilihat hasilnya adalah acara-acara yang bersifat religius, seperti pengajian, shalawatan, dan tabligh akbar.
Justru momen-momen seperti itu yang pas untuk menyadarkan mereka. Saat mereka berkumpul dalam majelis pengajian semacam itu. Selain menyadarkan, kalau bisa sekaligus juga melakukan konsolidasi.
Soalnya, kalau hanya mengandalkan media sosial, kemudian berharap mereka bergerak dan sadar, itu harapan yang sangat minim.
People power kuncinya ada di akar rumput, ada musuh bersama, dan apa yang diperjuangkan juga sama. Suara-suara mereka dari bawah yang perlu diperjuangkan ke atas. Jangan suara yang atas, malah diperjuangkan lagi ke atas. Itu bukan perjuangan, tetapi permainan.
Masyarakat Perlu Disadarkan Bahwa Mereka Ditindas
Jangan sampai apa yang kita perjuangkan, justru membuat mereka risih dan salah paham. Niatnya membantu, malah dianggap mengganggu.
Maka dari itu, selain menyuarakan di medsos, kita juga perlu turun ke bawah, menyadarkan mereka dengan banyak realitas yang belum mereka ketahui.
Lain cerita ketika reformasi 1998. Semua masyarakat sadar, musuh mereka cuma satu, yaitu Soeharto, sehingga perjuangannya sama, sama-sama menurunkan Soeharto.
Lantas sekarang, siapa musuhnya? Apakah musuh kita dengan musuh masyarakat juga sama?
Lah wong kadang meskipun demo di mana-mana, ketika Presiden atau pejabat lainnya turun ke masyarakat, banyak juga masyarakat yang menyambutnya, yang senang dengan kehadiran mereka.
Lalu, siapa musuh bersama kita sebenarnya? Apakah masyarakat kecil sadar, jika mereka sedang diperjuangkan, atau jangan-jangan musuh di antara kita sendiri malah beda-beda.

Media sosial paradoks. Sosial yang seharusnya di gaungkan, malah berujung penghinaan atau pembulian berkedok kritikan dan saran yang seharusnya membangun.
BalasHapus