Langsung ke konten utama

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan


Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak. 

Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh. 

Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau permainan adalah jawaban saat individu mengalami jiwa yang lelah. Tempat hiburan sebagai pelarian, membuat orang dewasa sejenak lupa permasalahan yang menimpa mereka. 

Saya termasuk generasi yang kurang beruntung. Saya lahir ketika odong-odong belum ditemukan. Ketika saya sudah memasuki masa remaja, saya hanya bisa melihat ponakan saya naik odong-odong yang naik-turun. Sembari membayangkan saya sendiri yang naik di odong-odong tersebut. Naik turun sambil mendengar lagu anak-anak. Sepertinya asyik juga. 

Rasa ingin yang tak kesampaian ini, masih membuat saya penasaran bagaimana rasanya naik odong-odong. Jika saya ditanya apakah ingin naik odong-odong? Jawabannya sudah pasti iya. Ini juga sebenarnya sudah masuk inner child. Namun masih dibelenggu oleh aturan-aturan orang dewasa sehingga saya tidak jadi memunculkannya. Kalau saja saya tidak memikirkan tentang rasa malu atau gengsi orang dewasa, sudah pasti saya sudah naik odong-odong dari dulu. 

Satu lagi tentang kisah tak sampai tentang mainan yang saya ingat sampai sekarang. Cukup miris memang, karena alasannya adalah masalah keuangan. Keluarga saya adalah keluarga yang sederhana. Tidak miskin, juga tidak kaya. Soal keuangan keluarga, bapak saya adalah orang yang strategis dalam mengatur finansial. Pemasukan kadang banyak kadang sedikit, menjadi pondasi Bapak begitu berhati-hati dalam mengalokasikan dana. 

Saya ingat betul, saat itu di kampung saya sedang musim mainan mobil dengan remot kontrol jarak jauh. Semua anak-anak di kampung dibelikan mobil mainan, tentunya mereka dapatkan dengan berbagai cara. Ada yang menangis, ada yang marah-marah, dan ada yang tak perlu susah payah karena orangtua mereka sudah kaya. 

Waktu itu, mobil remot yang paling canggih adalah yang di remotenya terdapat layar kecil dimana kita sebagai player bisa melihat mobilnya dari jarak jauh melalui layar. Tidak perlu repot-repot mengikuti mobilnya. Entah kecanggihan seperti apa lagi yang bisa didapat di masa kini ketika tahun-tahun telah berlalu.

Saat siang pulang sekolah, anak-anak berkumpul untuk bermain mobil remote yang mereka miliki. Ada yang balapan, ada yang muter-muter tidak jelas, dan ada yang tabrak-tabrakan. Sedangkan saya, saya hanya bisa melongo melihat teman-teman bermain dengan mobil kesayangan masing-masing. 

Saya tidak berani minta pada orangtua, sebab di masa itu saja harganya sudah menembus angka 250 ribu rupiah (saya tahu sebab saya riset dengan menanyai satu-persatu teman saya). Angka yang terasa cukup besar hingga saat ini untuk harga sebuah mainan. Saya bisa memaklumi Bapak. 

Jika saya dengan pemikiran dewasa saat ini, saya tentu sepaham dengan Bapak. Mengeluarkan uang 250 ribu untuk membeli mainan, rasanya kurang elok ketika saya sendiri (di kondisi ekonomi kami waktu itu) masih berpikir besok keluarga saya makan apa. Anak sekecil itu tentu tidak akan memikirkan ini. Cukup saya tidak meminta saja sudah sebuah pencapaian.

Ingatan tentang tidak tercapainya memiliki mobil remote waktu saya kecil masih saya simpan rapi dalam kepala saya. Kadang saat melihat mobil remote ingin saya untuk membelinya. Tapi yang tidak ingin-ingin banget. Buktinya kendati sekarang sudah (cukup) punya uang, mobil remote tetap tidak terbeli.

Dari sini saya punya simpulan menarik, inner child bisa tumbuh karena banyak faktor. Salah satunya adalah ketidakmampuan untuk mendapatkan sesuatu di waktu kecil (seperti pada kasus saya). Rasa penasaran akibat ketidakmampuan itu tetap ada seiring berjalannya usia. 

Tak ada akar, rotan pun jadi. Mobil remote gagal didapat, tapi Pajero Sport ada di genggaman. Semoga.



Ahmad Burhanuddin. Penulis dan Akademisi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...