Sepatu itu saya beli sekitar tahun 2016. Awal masuk kuliah. Mereknya crocodile. Belinya di daerah Menganti Gresik, dekat kampus UNESA Lidah Wetan.
Saya beli di hari kedua PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru). Di hari pertama, sepatu yang saya gunakan tidak sesuai peraturan. Akibatnya, saya mendapat hukuman.
Agar tidak mendapat hukuman lagi, uang saku pemberian orang tua dari rumah, saya gunakan membeli sepatu baru, padahal sepatu dari rumah juga terbilang baru beli.
Saya masih ingat betul, harganya Rp80.000. Saya membelinya pada malam hari setelah tugas PKKMB selesai saya kerjakan. Sepatu itu tidak selalu saya pakai, kecuali pas ada acara-acara formal yang mengharuskan memakai sepatu pantofel.
Setelah beberapa tahun saya pakai, akhirnya jebol juga. Saya berniat tidak memakainya lagi. Waktu saya pulang ke rumah, saya bawa sepatu itu dengan niatan mau saya taruh di rumah saja, karena tidak memungkinkan dipakai.
Ternyata, tanpa saya ketahui, saat saya di Surabaya, sepatu itu sudah terjahit rapi. Ibu yang menyerahkannya ke tukang sol sepatu. Karena sudah diperbaiki, mau tidak mau, akhirnya saya pakai lagi, saya bawa balik ke Surabaya.
Meski wujudnya tidak karuan, sepatu itu sampai hari ini masih ada. Baru kemarin saya pakai lagi, karena sepatu yang biasa saya gunakan, basah. Meski malu, tapi saya menahannya, karena memang tidak ada lagi sepatu yang bisa digunakan.
Bagi orang yang melihat, tentu sepatu itu sangat tidak bernilai. Dlihat dari sisi mana saja, tidak ada indikator layak dipakai. Bagi saya, pemilik sepatu, dan yang tahu sejarah, sepatu itu justru syarat akan nilai.
Saya kira memang begitu, soal bernilai tidaknya suatu barang, bergantung siapa yang melihat. Bukan dari diri kita sebagai pemiliknya. Sama seperti etika.
Yang bisa memberi nilai kita beretika baik atau buruk itu dari orang lain, bukan dari diri kita sendiri. Kalau dari diri kita sendiri, itu namanya sombong, bahkan bisa merembet ke manipulatif.
Sebagai contoh sepatu tadi. Sudah jelas sepatu itu rusak dan tidak layak pakai. Kalau saya tetap mengatakan sepatu itu bagus, berarti saya bohong, karena realitasnya tidak seperti itu. Mata orang yang melihat pun mengatakan hal serupa, sangat tidak layak pakai.
Lalu, apakah boleh kita sendiri mengatakan itu sangat bernilai? Tentu boleh dan tak jadi soal, asal harus dikonsumsi sendiri.
Jadi, untuk menjadi bernilai itu tidak mudah. Sepatu itu menurut saya bernilai karena sejarah panjangnya. Sedangkan orang itu bernilai karena jasa dan karyanya. Produk itu akan melekat menjadi identitas pada penciptanya.
Produk karya bisa berupa banyak hal. Misalnya keputusan, kebijakan, dan hasil-hasil lain yang kalau bisa ada wujud dan menjadi legacy. Kenapa begitu? Karena zaman sekarang, orang akan lebih percaya dengan hasil, daripada hanya sekadar omongan belaka.

Komentar
Posting Komentar