Langsung ke konten utama

Postingan

Tablet

Setelah sekian lama akhirnya saya kesampean juga membeli tablet. Alat kecil yang kehadirannya cukup dibutuhkan. Dari situ nanti saya bisa duduk-duduk sambil bermain tablet. Bisa juga ngopi-ngopi santai sambil tabletan. Menarik bukan.  Membeli tablet bukanlah sebuah prestasi yang membanggakan. Bukan pula pencapaian yang benar-benar perlu diperjuangkan. Apalagi dicatat sebagai modal sejarah. Sangat tidak perlu. Tidak juga terhitung sebagai kontributor perubahan bangsa.  Tetapi menurut sebagian orang, membeli sesuatu yang sudah lama ingin dibeli dengan hasil jerih payah sendiri itu rasanya berbeda. Tapi bagi yang masih disubsidi uang dari orang tua, mungkin tidak akan pernah merasakan hal yang serupa. Hal ini juga pernah saya alami ketika baru membeli motor baru. Kemudian datang seorang teman yang mulutnya tanpa aturan tiba-tiba njeplak dengan omongan yang sangat tidak enak didengar. Ia anak orang yang cukup punya uang. Selain motor, kendaraan hariannya adalah mobil. Jadi ketika ...

Menghormati Usia Senja dengan Berkarya

Bagi Budi Darma, mungkin menulis sudah menjadi bagian jalan hidupnya. Sebagian besar hidupnya dia abdikan untuk menulis, di samping kegiatan dia yang lain. Usia tidak terlalu jadi masalah. Ia tetap menyediakan waktu dan tenaga untuk menulis.  Saat saya praktik mengajar di SMKN 2 Probolinggo. Di sana punya mading etalase yang dipasang di lorong utama tempat siswa berjalan. Mading tersebut setiap hari selalu menempelkan koran yang dipisah per rubriknya. Saya masih melihat Budi Darma menulis opini di kompas.  Padahal usianya sudah senja dan saya masih ingat, kalau tidak salah sepertinya itu opini terakhir yang ia tulis sebelum menghadap di haribaan Tuhan, karena tidak lama dari itu, saya mendengar kabar dukanya ketika masih di Probolinggo. Konon, masa tua orang siklusnya berputar. Sangat rentan kembali menjadi anak-anak. Sulit diatur, terlalu imajinatif, dan kurang matang dalam menyikapi persoalan orang dewasa.  Namun berbeda dengan sebagian orang seperti Budi Darma, meski s...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Konvensional, Inovatif, dan Eksentrik

Lawan kata konvensional adalah eksentrik. Cuma di dunia pendidikan, lawan dari konvensional bukan itu, tapi inovatif.  Sekarang, dua kata tersebut seperti tom and Jerry, selalu ditandingkan dan dipermusuhkan. Yang tidak inovatif, berarti dia konvensional. Yang konvensional, ia tidak mau belajar. Begitu kira-kira. Berarti perkembangan pendidikan itu soal melihat waktu, karena inovatif dan konvensional adalah dua kata yang konteksnya dihubungan dengan waktu. Inovatif itu sekarang. Konvensional itu masa lalu. Ibaratnya, para guru yang dulu-dulu itu konvensional. Sedangkan guru-guru sekarang, yang notabene mudah-mudah, itu inovatif. Atau bisa juga, inovatif itu pembelajaran masa sekarang. Konvensional itu pembelajaran masa lalu. Kalau begitu, pembelajaran konvensional sekarang tidak berlaku, karena konvensional letaknya pada masa lalu. Membuat kata konvensional dipojokkan, seolah-olah menjadi kata jelek. Sebisa mungkin harus dijauhi. Perannya sudah mendekati sebagai kata justifikasi. A...

Kisah Sopir Grab, di Usia Senjanya, Rela Sewa Mobil di Sidoarjo, meski Rumahnya di Perak Surabaya

Waktu scroll tiktok, saya menemukan kata-kata indah dari Gus Iqdam. Ia mengatakan, entah di depan nanti seperti apa, indah atau tidak, intinya sekarang aku masih di perjalanan. Menurut saya, kata yang menarik dari quote tersebut adalah perjalanan. Diksi perjalanan selalu dipakai dan dicocokkan dengan sebuah proses.  Semacam ada kegagahan kata. Atau bisa juga sebagai kata yang digunakan untuk menggambarkan misteri, hal-hal yang belum pasti.  Berhasil apa tidak, yang penting aku berjalan, masih berproses.  Meski bertahun-tahun berjalan, kok masih saja belum sukses, lagi-lagi kata perjalanan itu dipakai. Aku belum sukses, karena aku masih dalam perjalanan. Begitu kira-kira. Namun sejatinya orang berjalan, tentu punya tujuan. Setidaknya punya tempat singgah. Berjalan terus juga capek. Apalagi sendirian. Tak punya teman ngobrol. Capek dirasakan sendiri. Sedih pun diratapi sendiri.  Perjalanan itu unik. Orang Sufi konon senang dengan laku perjalanan ini. Tapi berjalan me...

Hiperbola

  Majas itu banyak. Tidak hanya hiperbola. Diingatan siswa, hiperbola sangat melekat. Mungkin kata hiperbola mudah buat mengingatnya.  Ada dua kata yang membuat mereka gampang ingat, hiper dan bola. Hiper berarti melampaui batas. Sedangkan bola, benda yang menyerupai bulatan. Hiperbola memang melampau batas. Cenderung dilebih-lebihkan dengan maksud tertentu. Padahal hidup tidak boleh begitu. Harus sederhana, tak boleh berlebihan. Bahasa punya pengecualian. Boleh berlebihan. Apalagi untuk fiksi. Kalau tidak berlebihan, bukan fiksi namanya.  Fiksi adalah penggambaran tentang fakta. Tentang kejadian real dengan kasap mata. Tetapi ketika difiksikan, fakta butuh bahasa-bahasa majas buat penggambarannya. Seperti kata Sapardi Djoko Damono, fiksi lebih nyata dari fakta itu sendiri. Fakta kurang menarik jika hanya sekadar diceritakan.  Nembak cewek juga begitu. Bahasanya harus konotatif banget. Tidak boleh terpaku pada denotasi, karena denotasi terlalu flat, garing, dan tidak...

Memahami Teks

Belajar teks itu sulit. Dari membaca sampai menuliskannya, sama-sama sulit. Makanya, dulu waktu kuliah, empat keterampilan dasar berbahasa, masing-masing dipelajari selama satu semester. Bukan waktu yang sebentar. Enam bulan. Cukup untuk melatih orang-orang terampil yang profesional. Satu dari ketrampilan itu adalah menyimak atau mendengar. Bayangkan, bagaimana bosannya, belajar mendengar saja butuh waktu satu semester. Semakin ke sini, saya baru sadar, ternyata sepenting itu. Meski kadang-kadang tidak sedikit yang menganggapnya remeh. Buat apa belajar mendengar dan membaca saja butuh waktu sepanjang itu. Kenyataannya memang membutuhkan waktu panjang. Melek huruf sama bisa membaca itu dua sisi mata uang yang berbeda. Orang melek huruf, tidak semuanya tahu cara membacanya. Padahal membaca ini keterampilan penting berbahasa. Bagaimana orang itu bisa memahami apa yang ia baca, jika ia terus-terusan salah membacanya. Hasilnya fatal, pembaca bisa salah paham dengan apa yang ia baca. Kemudia...