Langsung ke konten utama

Postingan

Pengalaman Mengurus Jenazah di Perumahan, Sebuah Kematian yang Penting untuk Direncanakan

  Kehidupan di perkotaan memang sangat berbeda dengan di pedesaan. Dari suasananya, budaya masyarakatnya, atau sampai pada cara bersosial mereka.  Pendapat saya ini tidak muncul di satu kota saja, karena di beberapa kota yang sempat saya kunjungi, rata-rata menunjukkan hal yang serupa. Saya kecil di desa dengan budaya masyarakat pedesaan. Cara berpikir mereka sedikit banyaknya saya tahu. Dari bagaimana cara mereka menyikapi suatu masalah, sampai memperlakukan masalah itu. Tetapi poin yang saya ceritakan ini lebih ke dimensi-dimensi bagaimana mereka bersosial. Terutama berhubungan dengan para tetangga dan lingkungan sekitar. Saat itu, semenjak Covid ke dua, suasana di Surabaya sangat mencekam. Setiap hari, tidak kenal waktu, para ambulans berkeliaran di jalanan. Sambil sirinenya dibunyikan, ambulans itu melaju cepat. Kemudian di bagian belakang mobil, coba saya perhatikan ternyata banyak perawat yang memakai baju hazmat. Artinya, kalau bukan pasien Covid, pasti itu pasien k...

Kita Boleh Nakal, tapi Harus Punya Keterampilan

Kata orang, tukang potong rambut itu pekerjaan enak. Kerjanya hanya berdiri sebentar terus memotong rambut menggunakan tangan.  Itu pun bisa dikerjakan sebentar, tidak membutuhkan waktu berjam-jam. Alatnya juga sederhana, hanya berbekal kaca, gunting, dan silet. Cukup dengan itu para tukang potong sudah bisa bekerja. Bagi orang lain yang hanya sekadar melihat, anggapannya pasti mudah, tetapi bagi yang menjalankan, tentu tidak sesederhana itu. Meski terbilang sederhana dan cukup simpel, namun tukang potong itu pekerjaan profesional, tidak semua orang bisa melakukannya. Butuh keterampilan tinggi. Jika tidak ada keterampilan, bisa-bisa rambut yang mulanya pingin rapi, malah bisa jadi berantakan. Orang datang pingin ganteng, malah jadi jelek.  Soal rambut ini berbeda. Rambut kalau sudah dipotong, tidak bisa ditumbuhkan dengan cepat. Butuh waktu berhari-hari. Berbeda dengan celana. Jika dipotong terlalu pendek, mungkin masih bisa disambung dengan jahitan, tapi tetap, hasilnya...

Puisi Muhammad Tolhah Kumbakarna

Pukul 21.30   Pukul 21.30 kita bercengkrama Kemudian kita saling suap perihal canda dan air mata Secuil nasi hinggap disudut bibirmu, ku usap, kau tertawa Hingga fajar tiba, kupeluk kau mesra tanpa arah.    Dingin hawa ruang tunggu RS Adi Husada Kau genggam tanganku yang sedang meregang asa Delapan jahitan dibagian Fibula agar tidak mengangah luka Malah takdir yang mengoyak Atma   Hai, masihkah kau ingat rasa tembakau yang kutitipkan  pada bibirmu yang merona?     Benang Raja   Ketika kita bercengkrama.  Hujan melantunkan nada.  Benang Raja melengkung indah.  Menyaksikan alunan hangat peluk kita.   Darah segar keluar  dari cela Tibia dan Fibula.  Mengucur indah merangkai kisah.  Berjuta kisah bertukar lara.  Kala setia menjelma  korban putus asa.    Getar tanganmu jadi saksi luka.  Kisah kita menjadi prahara.  Ketida...

Tentang Keruwetan dan Ketidaklogisan

  Menjadi editor bahasa merupakan pekerjaan yang sulit. Butuh keterampilan khusus dan kejelian tinggi, baik mata dan perasaan. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan ini.  Banyak penerbit yang mempunyai syarat khusus ketika melakukan perekrutan profesi ini, salah satunya harus pernah berkuliah di bidang bahasa atau sering-sering membaca buku fiksi. Saya pernah melakukan pekerjaan ini. Meski tidak lama, tapi berkesan. Sungguh tidak mudah. Tidak bisa instan. Tidak bisa juga dilakukan sejam dua jam. Kalau halamannya banyak, bisa berhari-hari.  Belum lagi misalnya si penulis tidak cocok dengan hasil editingnya, bisa jadi masalah. Editor harus mengecek ulang lagi per halamannya. Suatu hal yang membosankan, melakukan pekerjaan sama yang diulang-ulang. Tapi saya coba ambil hikmah dari pekerjaan itu. Konon, setiap kesengsaraan, pasti ada hikmahnya, tetapi tidak perlu juga orang harus sengsara dulu baru dapat hikmah.  Susah atau tidak, selama orang punya kemampuan analisi...

Literasi dan Penghambaan pada Budaya Diskriminatif

Saya sebenarnya tidak begitu tahu esensi dan substansi literasi itu apa. Sepanjang yang saya ketahui hanyalah menulis dan membaca. Di luar dari itu, terserah apa pemaknaannya. Entah itu praktik literasi atau tidak. Sama sekali saya tak mau tahu.  Paling penting apa yang saya lakukan bisa berimbas positif ke orang lain. Kalaupun tidak, minimal bisa bermanfaat untuk diri sendiri. Setidaknya pengetahuan kita pelan-pelan bisa terupdate. Pemahaman kita sedikit-sedikit lebih tertata dengan seimbang.  Saya juga tidak begitu tahu kenapa literasi dirangkingkan. Setahu saya, rangking dibutuhkan hanya untuk mencari siapa yang pintar dan siapa yang bodoh. Sehingga negara yang rangkingnya rendah, bisa diasumsikan dengan mudah sebagai negara dengan masyarakat bodoh. Seakan-akan tidak ada indikator lain dan gampang banget membodohkan dan mendiskriminasi negara lain.  Lantas apakah negara maju otomatis kehidupan masyarakatnya ikut maju. Lantas apakah negara berkembang juga otomatis masya...

Kuliah Adalah Salah Satu Cara Menguji Keberuntungan Kita

Di sekolah tempat saya mengajar, beberapa hari yang lalu membuat acara Campus Expo. Acara itu bertujuan memfasilitasi para siswa agar mereka punya lebih banyak referensi kampus sebelum mereka melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Acaranya sangat meriah. Sangat berbeda dengan Campex zaman saya sekolah dulu. Zaman saya konsepnya sederhana. Alumni yang datang juga tidak begitu banyak. Di sekolah lain biasanya dibedakan antara kampus satu dengan kampus lain. Di beri batas pemisah untuk menandakan asal kampusnya. Di zaman saya tidak.  Konsepnya general, karena tidak banyak juga alumni yang kuliah. Maklum, sekolah kejuruan. Fokusnya tidak kuliah, tapi kerja. Jadi respon mereka biasa saja saat melihat para kakak kelasnya memakai almamater kebanggaannya. Tidak seperti anak SMA pada umumnya. Mungkin dari situ, saya dulu tidak terlalu merasa bangga dengan jas almamater yang saya pakai.  Karena dengan kebanggan, kita berpeluang besar jadi jumawa, sebab kita sudah siap bahannya. Tinggal mem...

Nilai Barang Lama

Jika dibanding laptop-laptop lain yang umurnya sekitar 5-10 tahun, laptop saya tidak berarti apa-apa. Umurnya hanya sekitar 7 tahunan. Tidak sampai puluhan tahun. Saya beli sebelum masuk kuliah tahun 2016-an.  Itu pengalaman pertama saya beli, sekaligus punya laptop. Untuk sekadar memegang, saya pernah, tetapi belum memiliki. Maklum, selama sekolah tidak membutuhkan. Tidak apa-apa tidak punya, yang penting tahu cara memakainya. Pada satu momen, saya merasa sangat beruntung punya laptop itu. Benda ini sangat menolong pekerjaan saya sehari-hari. Meski tergolong laptop lama, jadul. Pernah sekali ganti LCD, jatuh berkali-kali, dan dua kali ganti keyboard, tapi tetap bandel.  Ibarat anak nakal, pakai nasihat apa saja, pasti sulit sadar. Peristiwa laptop di atas adalah nasihat agar bisa berhati-hati memakai barang berharga nominal. Selama bisa memberi manfaat, harganya bukan lagi nominal, tetapi nilai value. Tidak kalah dengan laptop-laptop model sekarang, canggih-canggih, bahkan le...