Pukul 21.30
Pukul 21.30
kita bercengkrama
Kemudian kita saling suap
perihal canda dan air mata
Secuil nasi
hinggap disudut bibirmu,
ku usap, kau
tertawa
Hingga fajar
tiba,
kupeluk kau
mesra tanpa arah.
Dingin hawa
ruang tunggu RS Adi Husada
Kau genggam
tanganku
yang sedang
meregang asa
Delapan jahitan
dibagian Fibula
agar tidak
mengangah luka
Malah takdir
yang mengoyak Atma
Hai, masihkah
kau ingat rasa tembakau
yang kutitipkan
pada bibirmu yang merona?
Benang Raja
Ketika kita
bercengkrama.
Hujan
melantunkan nada.
Benang Raja
melengkung indah.
Menyaksikan
alunan hangat peluk kita.
Darah segar keluar
dari cela Tibia dan Fibula.
Mengucur indah
merangkai kisah.
Berjuta kisah
bertukar lara.
Kala setia menjelma
korban putus asa.
Getar tanganmu
jadi saksi luka.
Kisah kita
menjadi prahara.
Ketidakpastianmu
mengartikan pujangga.
Penghianatanku
dalilmu menitihkan air mata.
Malang
Ini mau hujan,
apa kita
teruskan perjalanan?.
Tanyaku padamu
prihal ketenangan.
Biarkan saja,
hujan yang basah
tidak membuat luka.
Jawabmu
melingkarkan
kedua tangan.
Apa kau bawa
pakaian pengganti?
Biar dingin
tidak terus
terusan datang.
Ah, engkau
tidak pernah.
Janganlah
menyuruhku membawa.
Hei, perjalanan
masih jauh.
Apa kau masih
sanggup?
Tanyakan pada
dirimu,
kau yang di
depan.
Yang membawa
kapal perang.

Sebuah kisah tau hanya karangan kalimat indah ?
BalasHapusKisah yang masih terjebak pada romantisme masa lalu
BalasHapus