Langsung ke konten utama

Literasi dan Penghambaan pada Budaya Diskriminatif


Saya sebenarnya tidak begitu tahu esensi dan substansi literasi itu apa. Sepanjang yang saya ketahui hanyalah menulis dan membaca. Di luar dari itu, terserah apa pemaknaannya. Entah itu praktik literasi atau tidak. Sama sekali saya tak mau tahu. 

Paling penting apa yang saya lakukan bisa berimbas positif ke orang lain. Kalaupun tidak, minimal bisa bermanfaat untuk diri sendiri. Setidaknya pengetahuan kita pelan-pelan bisa terupdate. Pemahaman kita sedikit-sedikit lebih tertata dengan seimbang. 

Saya juga tidak begitu tahu kenapa literasi dirangkingkan. Setahu saya, rangking dibutuhkan hanya untuk mencari siapa yang pintar dan siapa yang bodoh. Sehingga negara yang rangkingnya rendah, bisa diasumsikan dengan mudah sebagai negara dengan masyarakat bodoh. Seakan-akan tidak ada indikator lain dan gampang banget membodohkan dan mendiskriminasi negara lain. 

Lantas apakah negara maju otomatis kehidupan masyarakatnya ikut maju. Lantas apakah negara berkembang juga otomatis masyarakatnya ikut tidak maju? Bukankah kemajuan dan kemunduran suatu bangsa indikatornya dari masyarakatnya sendiri? 

Bagaimana kalau ada masyarakat yang hidupnya dari dulu sengsara, sehingga ia senang atas kesengsaraan itu, kemudian menganggap kesengsaraan sebagai anugerah bagi hidupnya, karena dengan kesengsaraan, ia merasa lebih dekat dengan Tuhannya. 

Masyarakat kita sudah terlalu lama beradaptasi dengan kesusahan, kesengsaraan, dan kemiskinan. Terbiasa dengan hal-hal yang tidak instan. Secara materi mungkin terlihat susah, tapi secara batin, orang lain tidak pernah tahu bagaimana bahagianya dia hidup dalam kesusahan. 

Tentu kesusahan ini memakai indikator umum. Mungkin di antaranya memiliki uang pas-pasan, rumah tidak seberapa bagus, pemenuhan kebutuhan selalu berkecukupan. Sedangkan kalau orang kaya, rumahnya mentereng, hartanya banyak, uangnya tak pernah habis. Itu yang sering dilihat orang lain. 

Kita tidak tahu, orang kaya tadi, meski punya harta sebegitu banyaknya, tetapi apa kita juga tahu, kalau tiap malam ia harus berpikir bagaimana caranya menggaji karyawan di tengah usahanya yang sedang merosot. 

Sedangkan yang susah, jika dilihat pakai kasap mata, ia memang benar susah secara materi, tetapi kita juga tidak tahu, barangkali dengan susahnya, ia bisa santai, tidak mau apa-apa, kebutuhannya sederhana, dan menikmati hidup sekadarnya. 

Ada uang disyukuri, tidak ada, dicari. Keinginannya dipersempit Tuhan, seolah-olah tidak ada keinginan, yang ada hanya kebutuhan-kebutuhan. Sebegitu simpelnya mereka, sehingga tidak ada kegiatan lain selain kerja dan ibadah.

Mengukur prestasi literasi juga sama. Tidak mungkin negara Inggris misalnya menduduki peringkat terbawah. Terkalahkan oleh negara-negara berkembang. Bagaimana citra negara maju dengan industri melonjak, kebudayaan mungkin meningkat, sumber daya manusia unggul, namun literasinya turun. Itu sangat tidak logis.

Dari situ saja bisa dilihat, kadang lebeling negara berkembang hanya membuat sugesti berkepanjangan yang seakan-akan mengunci kemajuan suatu bangsa. Masa negara mau maju, harus disandingkan dulu dengan Amerika dan Inggris. Lalu sampai kapan itu terjadi. 

Makanya, dulu Soekarno menolak labeling itu dan memutuskan keluar dari PBB. Di saat negara-negara lain memetakan dirinya menjadi blok Barat dan Timur, tapi Soekarno malah memilih membuat gerakan sendiri, yaitu gerakan Non Blok. 

Seharusnya, soal literasi, dan soal-soal lain yang mengharuskan dunia mengukurnya, kita sebagai negara juga wajib punya variabel ukur sendiri secara mandiri. 

Tidak perlu ikut-ikutan menyamakan dengan negara lain yang terbilang maju, karena kita memang tidak memiliki indikator yang sama. Menurut mereka maju, kadang menurut kita sendiri sama sekali tidak ada maju-majunya.

Tidak sebegitu penting berapa peringkatnya. Selagi kita masih bisa baca, maka bacalah. Otak kita lebih membutuhkan nutrisi berupa pengetahuan dari pada repot menyalahkan literasi negara kita sendiri. 

Justru pemahaman kita yang perlu dibenahi terlebih dahulu sebelum bersusah payah meningkatkan literasi. Sebab, literasi tidak hanya ada di hasil survei-survei itu. Literasi ada pada pola hidup masyarakatnya.

Hadirnya sebuah wacana-wacana liar. Apa saja yang menganggu pikiran kita, maka perlu kehadiran pemahaman baru sebagai pendukung untuk menyeimbangkan pola hidup yang lebih baik. Itu perlu ditingkatkan dari pada hanya sekadar menerapkan literasi yang dalam praktiknya tidak literasi-literasi amat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...