Langsung ke konten utama

Postingan

Tentang Keruwetan dan Ketidaklogisan

  Menjadi editor bahasa merupakan pekerjaan yang sulit. Butuh keterampilan khusus dan kejelian tinggi, baik mata dan perasaan. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan ini.  Banyak penerbit yang mempunyai syarat khusus ketika melakukan perekrutan profesi ini, salah satunya harus pernah berkuliah di bidang bahasa atau sering-sering membaca buku fiksi. Saya pernah melakukan pekerjaan ini. Meski tidak lama, tapi berkesan. Sungguh tidak mudah. Tidak bisa instan. Tidak bisa juga dilakukan sejam dua jam. Kalau halamannya banyak, bisa berhari-hari.  Belum lagi misalnya si penulis tidak cocok dengan hasil editingnya, bisa jadi masalah. Editor harus mengecek ulang lagi per halamannya. Suatu hal yang membosankan, melakukan pekerjaan sama yang diulang-ulang. Tapi saya coba ambil hikmah dari pekerjaan itu. Konon, setiap kesengsaraan, pasti ada hikmahnya, tetapi tidak perlu juga orang harus sengsara dulu baru dapat hikmah.  Susah atau tidak, selama orang punya kemampuan analisi...

Literasi dan Penghambaan pada Budaya Diskriminatif

Saya sebenarnya tidak begitu tahu esensi dan substansi literasi itu apa. Sepanjang yang saya ketahui hanyalah menulis dan membaca. Di luar dari itu, terserah apa pemaknaannya. Entah itu praktik literasi atau tidak. Sama sekali saya tak mau tahu.  Paling penting apa yang saya lakukan bisa berimbas positif ke orang lain. Kalaupun tidak, minimal bisa bermanfaat untuk diri sendiri. Setidaknya pengetahuan kita pelan-pelan bisa terupdate. Pemahaman kita sedikit-sedikit lebih tertata dengan seimbang.  Saya juga tidak begitu tahu kenapa literasi dirangkingkan. Setahu saya, rangking dibutuhkan hanya untuk mencari siapa yang pintar dan siapa yang bodoh. Sehingga negara yang rangkingnya rendah, bisa diasumsikan dengan mudah sebagai negara dengan masyarakat bodoh. Seakan-akan tidak ada indikator lain dan gampang banget membodohkan dan mendiskriminasi negara lain.  Lantas apakah negara maju otomatis kehidupan masyarakatnya ikut maju. Lantas apakah negara berkembang juga otomatis masya...

Kuliah Adalah Salah Satu Cara Menguji Keberuntungan Kita

Di sekolah tempat saya mengajar, beberapa hari yang lalu membuat acara Campus Expo. Acara itu bertujuan memfasilitasi para siswa agar mereka punya lebih banyak referensi kampus sebelum mereka melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Acaranya sangat meriah. Sangat berbeda dengan Campex zaman saya sekolah dulu. Zaman saya konsepnya sederhana. Alumni yang datang juga tidak begitu banyak. Di sekolah lain biasanya dibedakan antara kampus satu dengan kampus lain. Di beri batas pemisah untuk menandakan asal kampusnya. Di zaman saya tidak.  Konsepnya general, karena tidak banyak juga alumni yang kuliah. Maklum, sekolah kejuruan. Fokusnya tidak kuliah, tapi kerja. Jadi respon mereka biasa saja saat melihat para kakak kelasnya memakai almamater kebanggaannya. Tidak seperti anak SMA pada umumnya. Mungkin dari situ, saya dulu tidak terlalu merasa bangga dengan jas almamater yang saya pakai.  Karena dengan kebanggan, kita berpeluang besar jadi jumawa, sebab kita sudah siap bahannya. Tinggal mem...

Nilai Barang Lama

Jika dibanding laptop-laptop lain yang umurnya sekitar 5-10 tahun, laptop saya tidak berarti apa-apa. Umurnya hanya sekitar 7 tahunan. Tidak sampai puluhan tahun. Saya beli sebelum masuk kuliah tahun 2016-an.  Itu pengalaman pertama saya beli, sekaligus punya laptop. Untuk sekadar memegang, saya pernah, tetapi belum memiliki. Maklum, selama sekolah tidak membutuhkan. Tidak apa-apa tidak punya, yang penting tahu cara memakainya. Pada satu momen, saya merasa sangat beruntung punya laptop itu. Benda ini sangat menolong pekerjaan saya sehari-hari. Meski tergolong laptop lama, jadul. Pernah sekali ganti LCD, jatuh berkali-kali, dan dua kali ganti keyboard, tapi tetap bandel.  Ibarat anak nakal, pakai nasihat apa saja, pasti sulit sadar. Peristiwa laptop di atas adalah nasihat agar bisa berhati-hati memakai barang berharga nominal. Selama bisa memberi manfaat, harganya bukan lagi nominal, tetapi nilai value. Tidak kalah dengan laptop-laptop model sekarang, canggih-canggih, bahkan le...

Sepeda Kenangan

Lama sudah saya tak memakai sepeda ini. Kalau soal usia, kalian tidak perlu tanya. Mengapa begitu? Tradisi keluarga saya, sepeda itu dipakai secara bergantian dan turun temurun. Habis dipakai saudara, lanjut saya pakai, tentu setelah ada sepeda baru yg sudah dibeli. Sepeda ini awal mulanya dipakai sama paman untuk mobilitas kerja, karena jarak kosan ke tempat kerjanya tidak terlalu jauh. Daripada pakai motor, mending naik sepeda ini. Itung-itung juga sekalian berolahraga. Selepas bosan tak terpakai dan nganggur lama, akhirnya sepeda ini diwariskan ke kakak saya. Setelah Kakak saya, lalu turun ke saya sampai sekarang. Waktu saya kuliah, sepeda ini sempat tak terawat hampir 2-3 tahunan di rumah. Peleknya berkarat, bannya bocor, dan kerangkanya penuh kotoran. Kemudian setelah ada pandemi awal dulu. Sepeda ontel mulai diramaikan lagi. Saya memutuskan untuk memperbaikinya. Dari membersihkan kerangkanya sampai mengganti ban yang baru. Tapi saat itu, penggunaan saya tidak terlalu jauh. Hanya ...

Memaknai Rasa Cukup

Apa sih cukup itu? Sepintas pertanyaan dasar saya saat melihat cuplikan video dialog Sabrang dengan Habib Husein Ja'far di YouTube beberapa hari lalu. Di berbagai macam media sosial pun juga sudah booming video itu. Dengan pembawaan santai, Sabrang menyajikan kegelisahan usang, tapi dibarengi cara berpikirnya yang logis dan cukup diterima akal sehat. Terutama soal penyadaran. Di ranah tersebut memang kita butuh mulut dan cara berpikir orang lain. Mungkin itu salah satu wujud sifat sosial manusia, saling bergantung. Tidak usah terlalu dirumitkan, cukup bahasanya kita pinjam sebentar. Bila lupa bisa diputar lagi. Misalnya sajian motivasi dari motivator ulung akan habis mengubah semangat, pandangan, dan cara berpikir kita. Maklum saja, sadar dan tak sadar memang banyak keadaan yang tidak jelas bagi kita. Kalau jelas, tentu kita tak perlu ambil pusing menunggu masukkan orang lain. Pikiran kita sebenarnya simpel dan kompleks, hanya saja kadang kita berpikir terlalu rumit sehingga menamb...

Pilihan Menu Makan saat Perjalanan Pulang

Seperti biasa. Dalam rangka menjalani rutinitas seminggu sekali pulang ke Lamongan, sering saya di tengah perjalanan mampir ke warung makan yang ada di pinggir" jalan. Jarang sekali direncanakan warung mana yang akan jadi rujukan. Random saja. Itu juga tidak selalu makan, bergantung kondisi perut. Kadang hanya sekadar ngopi sebentar sambil melepas penat sehabis menyaksikan rumitnya kemacetan di jalanan. Pulang kali ini berbeda. Sengaja saya rencanakan mau mampir ke mana. Saya coba ingin makan mie ayam Arge di Manyar Gresik. Sudah lama saya tidak makan mie ini. Kebetulan pulang dan ingat, maka segera saya langsung merencanakan ke sana. Tempatnya sangat mudah dicari. Kalau dari arah Surabaya atau Gresik Kota, tepat depan Polsek Manyar, coba tengok ke arah kanan, ada warung kecil berwarna kuning bertuliskan Mie Ayam Arge. Itu tempatnya. Porsi mienya sangat banyak. Saya sarankan kalau makan di situ, perut kalian harus benar-benar kosong. Kalau berisi, saya pastikan tidak habis. Beda l...