Langsung ke konten utama

Postingan

Sepeda Kenangan

Lama sudah saya tak memakai sepeda ini. Kalau soal usia, kalian tidak perlu tanya. Mengapa begitu? Tradisi keluarga saya, sepeda itu dipakai secara bergantian dan turun temurun. Habis dipakai saudara, lanjut saya pakai, tentu setelah ada sepeda baru yg sudah dibeli. Sepeda ini awal mulanya dipakai sama paman untuk mobilitas kerja, karena jarak kosan ke tempat kerjanya tidak terlalu jauh. Daripada pakai motor, mending naik sepeda ini. Itung-itung juga sekalian berolahraga. Selepas bosan tak terpakai dan nganggur lama, akhirnya sepeda ini diwariskan ke kakak saya. Setelah Kakak saya, lalu turun ke saya sampai sekarang. Waktu saya kuliah, sepeda ini sempat tak terawat hampir 2-3 tahunan di rumah. Peleknya berkarat, bannya bocor, dan kerangkanya penuh kotoran. Kemudian setelah ada pandemi awal dulu. Sepeda ontel mulai diramaikan lagi. Saya memutuskan untuk memperbaikinya. Dari membersihkan kerangkanya sampai mengganti ban yang baru. Tapi saat itu, penggunaan saya tidak terlalu jauh. Hanya ...

Memaknai Rasa Cukup

Apa sih cukup itu? Sepintas pertanyaan dasar saya saat melihat cuplikan video dialog Sabrang dengan Habib Husein Ja'far di YouTube beberapa hari lalu. Di berbagai macam media sosial pun juga sudah booming video itu. Dengan pembawaan santai, Sabrang menyajikan kegelisahan usang, tapi dibarengi cara berpikirnya yang logis dan cukup diterima akal sehat. Terutama soal penyadaran. Di ranah tersebut memang kita butuh mulut dan cara berpikir orang lain. Mungkin itu salah satu wujud sifat sosial manusia, saling bergantung. Tidak usah terlalu dirumitkan, cukup bahasanya kita pinjam sebentar. Bila lupa bisa diputar lagi. Misalnya sajian motivasi dari motivator ulung akan habis mengubah semangat, pandangan, dan cara berpikir kita. Maklum saja, sadar dan tak sadar memang banyak keadaan yang tidak jelas bagi kita. Kalau jelas, tentu kita tak perlu ambil pusing menunggu masukkan orang lain. Pikiran kita sebenarnya simpel dan kompleks, hanya saja kadang kita berpikir terlalu rumit sehingga menamb...

Pilihan Menu Makan saat Perjalanan Pulang

Seperti biasa. Dalam rangka menjalani rutinitas seminggu sekali pulang ke Lamongan, sering saya di tengah perjalanan mampir ke warung makan yang ada di pinggir" jalan. Jarang sekali direncanakan warung mana yang akan jadi rujukan. Random saja. Itu juga tidak selalu makan, bergantung kondisi perut. Kadang hanya sekadar ngopi sebentar sambil melepas penat sehabis menyaksikan rumitnya kemacetan di jalanan. Pulang kali ini berbeda. Sengaja saya rencanakan mau mampir ke mana. Saya coba ingin makan mie ayam Arge di Manyar Gresik. Sudah lama saya tidak makan mie ini. Kebetulan pulang dan ingat, maka segera saya langsung merencanakan ke sana. Tempatnya sangat mudah dicari. Kalau dari arah Surabaya atau Gresik Kota, tepat depan Polsek Manyar, coba tengok ke arah kanan, ada warung kecil berwarna kuning bertuliskan Mie Ayam Arge. Itu tempatnya. Porsi mienya sangat banyak. Saya sarankan kalau makan di situ, perut kalian harus benar-benar kosong. Kalau berisi, saya pastikan tidak habis. Beda l...

Memahami Waktu Orang Lain

Saya mau mengutip omongannya Mas Sabrang beberapa waktu lalu saat mengisi seminar di salah satu organisasi keterpelajaran. Ia menggambarkan, penyakit orang moderen terletak pada otaknya. Efeknya, kita sering punya cara berpikir terpecah", terkotak", dan terlalu rumit mengolah sesuatu yang mudah. Ia mengatakan, penyebabnya karena orang sekarang sulit mengistirahatkan otak. Bekerja terus sampai tak kenal lelah. Di berbagai bidang, bahkan di mana saja, metode mengistirahatkan seperti ini hampir tidak ditemui, bahkan tak diajarkan. Padahal, untuk benda saja jika selalu bekerja, benda itu akan cepat rusak. Apalagi dengan otak. Kerusakannya bisa fatal. Bila rusak, kita tak bisa menggantinya dengan beli otak baru. Sama halnya seperti sifat manusia, cenderung suka bosen dengan hal yang monoton. Saya rasa otak juga sama. Berpikir monoton terhadap satu objek permasalahan itu juga membuat otak mudah melakukan perlawanan. Otak perlu diistirahatkan dengan sengaja. Berpikir itu baik, tapi ...

Memahami Narasi Radikalisme dan Kontra Radikalisme

Gus Hasan merupakan salah satu Gus di Ponpes Qomarudin. Ia tergolong masih muda. Ia lama menggeluti dunia-dunia radikalisme dan kontra radikalisme. Bukan ia masuk dalam jaringan radikalisme, melainkan dalam kegiatan akademisnya ia sering bersinggungan dengan banyak kelompok radikalisme. Otomatis fokusnya mempelajari seluk beluk akar yang mendasari berkembangnya gerakan radikalisme, sekaligus bagaimana upaya pencegahannya. Sejak tahun 2015, Gus Hasan sudah bergabung di Pesantren For Peace. Pesantren ini membentuk jaringan yang sering mengadakan kegiatan training, penelitian, dan pengembangan tentang isu-isu radikalisme. Dan ketika tahun 2016, ia masuk forum tersebut untuk mempelajari dinamika persoalan radikalisme. Gus Hasan memberi gambaran awal mengenai radikalisme. Menurutnya, radikalisme tidak bisa dipahami sebagai tren ideologi yang jauh dari kehidupan manusia. Bahkan kecenderungan paham radikalisme ini letaknya sangat dekat dengan kita sebagai manusia. Keberadaannya yang tanpa tah...

Sastra Akademis dan Sastra Jalanan

  Sastra tak ubahnya seperti gelombang ruh yang mendasar dan tercipta dari lubuk hati terdalam manusia. Utamanya sastra, cenderung memiliki ruh hidup pada setiap bahasa keindahannya. Wujudnya berupa materi, namun kehidupan bahasanya, bisa diselami lebih estetik sampai tersentuh, terenyuh, dan terharu. Tidak jarang, sastra dalam perkembangannya selalu memunculkan polemik yang tiada henti-hentinya dibahas. Saling mematahkan argumen, silang pendapat, sampai pada cibiran pun seolah-olah biasa. Mungkin mereka orang-orang yang sengaja dihadirkan untuk peduli pada dunia sastra. Sehingga perkembangan sekecil apapun tidak boleh terlewatkan. Harus relevan sesuai pemikirannya. Mereka ingin menjaga prinsip, keyakinan, kesucian, dan ideologi sastranya. Yang berbeda, maka berpeluang besar salah. Contoh saja pada kemunculan puisi esaianya Denny JA. Polemik ini sebenarnya sudah lama. Seperti yang diketahui bersama, sosok Denny dikenal bukan sebagai penulis, apalagi sastrawan. Kepiawaiannya di lemb...

Ilmu dan Penyikapannya

  Sebagai orang yang pernah mencicipi lingkungan pondok, meski tidak ikut mondok, saya sedikit tahu bagaimana budaya mereka. Dari cerita-cerita teman, melihat sendiri waktu mereka di pondok, dan sekarang, untuk mengetahui lingkungan pondok, orang tidak perlu terjun langsung ke lokasi, cukup melihat di media sosial sudah bisa. Di sana banyak sekali cuplikan video yang memperlihatkan keanekaragaman hubungan sosial di pondok. Cuma, tahunya hanya sebatas tahu, tidak benar-benar punya pengalaman orisinil. Kultur budaya paling kentara yang coba saya deskripsikan adalah kebiasaan mengantuk para santri. Reliatanya tentu bukan hanya itu budaya mereka. Pastinya beragam dan berwarna. Ini saya tidak menggeneralisasikan semua santri. Kebanyakan mereka yang saya temui menunjukkan kebiasaan semacam itu. Saya pun memaklumi. Mereka seperti itu tentu dengan alasan. Karena kegiatan pondok, terutama ngajinya banyak. Tidurnya pun ikut larut malam. Hampir semua santri mengatakan hal serupa.  Karena...