Gus Hasan merupakan salah satu Gus di Ponpes Qomarudin. Ia tergolong masih muda. Ia lama menggeluti dunia-dunia radikalisme dan kontra radikalisme. Bukan ia masuk dalam jaringan radikalisme, melainkan dalam kegiatan akademisnya ia sering bersinggungan dengan banyak kelompok radikalisme. Otomatis fokusnya mempelajari seluk beluk akar yang mendasari berkembangnya gerakan radikalisme, sekaligus bagaimana upaya pencegahannya.
Sejak tahun 2015, Gus Hasan sudah bergabung di Pesantren For Peace. Pesantren ini membentuk jaringan yang sering mengadakan kegiatan training, penelitian, dan pengembangan tentang isu-isu radikalisme. Dan ketika tahun 2016, ia masuk forum tersebut untuk mempelajari dinamika persoalan radikalisme.
Gus Hasan memberi gambaran awal mengenai radikalisme. Menurutnya, radikalisme tidak bisa dipahami sebagai tren ideologi yang jauh dari kehidupan manusia. Bahkan kecenderungan paham radikalisme ini letaknya sangat dekat dengan kita sebagai manusia. Keberadaannya yang tanpa tahu, tiba-tiba ada dan tanpa kita sadari.
“Pada prinsipnya kita tidak bisa melihat radikalisme ini sebuah hal yang jauh dari kita. Ini dulu yang sebenarnya mau saya sampaikan. Bahwa radikalisme itu adalah hal yang sangat dekat dengan kita, bahkan keluarga kita, bahkan di kehidupan sehari-hari kita. Sehingga perlu menjadi perhatian kita semua,” jelas Gus Hasan.
Kebanyakan sekarang radikalisme ini berkamuflase menjadi paham yang bersifat statis. Artinya wacana radikalisme mempunyai waktu kapan ia akan muncul dan kapan akan tenggelam. Ada saatnya radikalisme muncul sebagai bahan pokok pembahasan di semua aspek. Ada pula radikalisme bersembunyi di dalam waktu. Ia akan keluar tatkala muncul sebuah momen atau tragedi yang banyak orang mengaitkannya dengan tindakan kekerasan beragama.
Seperti bom bali tahun 2002. Pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada bulan Juli tahun 2017. Lalu bom Surabaya yang meledak di beberapa titik pada bulan Mei 2018, dan tragedi-tragedi lainnya. Dari beberapa peristiwa tersebut, radikalisme menjadi santapan enak bagi para intelektual untuk mengkajinya ulang dari berbagai sudut pandang. Seolah-olah, radikalisme bisa dengan mudah mengalami peremajaan substansi dan peleburan makna yang dinamis. Manfaatnya, banyak orang yang mengerti dengan radikalisme dan banyak orang pula yang memahami hakikat radikalisme.
-
Sumber Radikalisme
Pada tahun 2016, Wahid Foundation memaparkan hasil penelitiannya, 72% umat Islam menolak radikalisme. Yang radikal hanya 0,4%. Bersedia radikal 7,7%, dan tidak bersikap sebesar 19,9%. Dari data tahun 2016 itu bisa kita lihat seksama, umat muslim mayoritas menolak radikalisme. Namun yang menjadi kebingungan adalah jangan-jangan dari 72% itu di dalamnya ada orang radikalisme, tetapi ia tidak sadar kalau bersikap radikalisme.
Secara praktiknya, radikalisme ini sangat dekat sekali dengan ekstremis. Lalu naik satu tingkat lagi menjadi teroris. Hierarki susunannya tidak menjadi masalah yang rumit. Itu hanya pemisahan istilah yang menggolongkan perilaku sesuai tingkatannya. Sangat memungkin bilamana ada orang yang terpapar radikalisme, kemudian keesokan harinya ia langsung gabung di jaringan terorisme. Jadi radikalisme adalah dasar pemikirannya, sedangkan terorisme merupakan praktik lapangannya.
“Radikalisme, ekstremisme, kemudian terorisme ini hubungannya sangat dekat sekali. Orang radikalisme bisa suatu saat tiba-tiba jadi terorisme, karena irisannya begitu sangat dekat sekali,” ungkap dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya itu. Inilah letak kesalahan peletakan makna bahasa. Pergeseran bahasa menjadi sangat bias pada praktik sosialnya, bahkan itu bisa sangat fatal dan merembet ke hal lain yang berhubungan dengannya. Radikalisme ini contoh salah satu korbannya.
Secara harfiah, radikalisme merupakan kata serapan yang sangat bagus maknanya, yaitu radiks atau berpikir mengakar. Secara akademik, berpikir mengakar dan mendasar ini memang perlu dilakukan. Tidak terbatas pada seorang intelektual. Manusia hidup pun harus menggunakan terminologi cara berpikir radiks tersebut. Supaya mereka bisa berpikir jernih serta bisa menyeimbangkan pola pikirnya ketika mengalami banyak benturan-benturan. Maka dari itu, secara pemaknaan boleh kita serap, tetapi secara praktik sosial, kita harus buang jauh-jauh.
Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa radikalisme selalu dikaitkan dengan agama. Kenapa tidak dikaitkan dengan konteks permasalahan lain. Kalau melihat buku karangan Zuly Qodir berjudul "Radikalisme Agama di Indonesia:: Pertautan Ideologi Politik Kontemporer dan Kekuasaan" yang diterbitkan Pustaka Pelajar tahun 2014. Di tulisannya ia mengutip pendapat dari dua tokoh, yaitu Dawam Rahardjo dan Paulus Budi Kleden. Kedua pendapat tersebut hampir mempunyai esensi sama, namun konteksnya berbeda.
Agama menurut Rahardjo memang tidak bisa hanya dipahami dari sistem makna dan fenomena teologi yang normatif. Agama merupakan sistem makna khusus yang mampu menjelaskan, merespons, dan mengonstruksi kenyataan sosial dalam konteks waktu dan tempat. Sedangkan Kleden lebih memahami agama sebagai kontra-dikursus dan kontra-hegemoni pada ideologi atau tindakan-tindakan dominan kekuasaan.
Sehingga dapat dijabarkan lagi, agama butuh metode pas saat merespons suatu isu atau permasalahan. Soal pengambilan kebijakan pun perlu cara-cara yang sedemikian rupa agar tidak menjadi unsur masalah baru, lebih-lebih bisa menimbulkan kerugian pada sesama pemeluk agama. Radikal terhadap pikiran dan diri sendiri tidak menjadi masalah. Masalah akan timbul ketika radikalisme dipraktikkan dalam kehidupan bersosial, beragama, dan bernegara.
Gus Hasan memberi pemahaman bahwa sumber radikalisme berasal dari dua hal, yakni dari faktor eksternal dan internal. “Sumbernya kita bisa melihat dari dua hal. Yang pertama eksternal dan internal,” jelasnya. Kalau eksternal ada di luar dari diri seseorang kemudian masuk jadi bahan konsumtif. Bahan-bahan tersebut diolah, dipahami, dan diinternalisasi sebagai struktur cara berpikir dan berperilaku.
“Contohnya bacaan dan tafsir agama. Sesungguhnya agama itu mengajarkan tentang rahmat. Itu sudah prinsip. Kalau kita melihat kelakuan-kelakuan radikalisme, itu sudah kontra – produktif dan sangat berbeda dengan prinsip Islam. Agama sendiri tidak mengajarkan kita untuk bersikap radikal,” tambah Gus Hasan.
Kalau pada masa perkembangan Islam, Rasulullah sendiri memakai metode halus. Nabi Muhammad tidak menonjolkan sikap-sikap radikalisme ke target dakwahnya. “Bahkan Nabi Muhammad pun tidak mengedepankan sikap-sikap radikal dalam metode dakwahnya. Kalau seandainya itu dikedepankan, bisa berbahaya. Umatnya bisa lari semua,” ungkap Gus Hasan. Agama tidak pernah salah. Begitu pun dengan nilai-nilai yang terkandung pada ajarannya. Kembali lagi kesalahan terletak pada tafsir agama, kemudian menyalahkan tafsir lain dan menganggap tafsirannya sendiri adalah sebuah kebenaran.
Adapun dari sisi internal ini lebih pada pembentengan diri dari faktor eksternal tadi. Karena internal berasal dari dalam diri manusia yang lebih mengakar dalam batin. “Yang kedua memang dari sisi internal. Maksudnya internal adalah jiwa kita,” kata Gus Hasan. Biasanya ada bekal zikir yang sering dilakukan oleh para Kiai baik di Pondok atau di desa-desa. Karena dengan zikir kita bisa lebih mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. Itu yang membuat daya tahan batin manusia kuat untuk menghadapi unsur-unsur dari faktor eksternal tadi.
“Zikir-zikir itu yang penting dari para Kiai untuk membentengi batin kita terhadap unsur eksternal yang berasal dari luar diri kita. Sehingga kita bisa mengantisipasi nilai-nilai radikal,” imbuh Gus Hasan.
-
Kontra Radikalisme
Kontra radikalisme ini merupakan sikap penting sebagai upaya pencegahan atau deteksi dini radikalisme. Kita sebagai manusia yang hidup bersosial setidaknya mempunyai antisipasi agar jangan sampai radikalisme memengaruhi tindakan kita sehari-hari, terutama saat menjalankan hubungan humanistis antar manusia.
Deteksi tanda-tanda awal oknum atau individu yang radikal ini bisa dilakukan sendiri pada masing-masing orang. Gus Hasan memberi gambaran awal, di antaranya mereka biasanya lebih bersikap tertutup. “Maksudnya tertutup bahwa mereka tidak mau membagikan perdebatan atau diskusi. Ini adalah indikasi yang sangat kentara terhadap cara-cara berpikir radikal, karena mereka mengatakan kalau hanya keyakinannya yang benar,” paparnya.
Lalu yang kedua mereka kebanyakan menjauh dari oknum atau sekelompok orang yang tidak sepaham dengannya. Itu imbas dari tidak terbukanya mereka. Gus Hasan mengambil fenomenologi hijrah yang pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw. Bahwa hijrah yang dilakukan Nabi adalah semata-mata untuk mendekati rakyat, mendekati orang-orang yang berbeda pandangan dengan Nabi. Sedangkan untuk pelaku radikal, mereka justru menjauhi dan tidak mau berdialog.
“Pelaku radikal biasanya bersikap tertutup. Mereka sering menutup diri dari ruang-ruang diskusi dan debat. Terutama dengan orang yang tidak sepaham dengan mereka, jelas mereka akan menjauhi,” jelasnya.
Ciri yang selanjutnya, mereka lebih mempertahankan pemahaman atas satu tafsir yang menurutnya substansial. Mereka tidak mau mengambil tafsir lain. Tujuannya agar keyakinan yang mereka pegang tidak goyah. Padahal, mempertahankan ilmu itu tidak terlalu bagus, sebab dalam perkembangannya, tafsir atas ilmu atau teori bisa berkembang sesuai kondisi masyarakat yang ada. Karena jika berbeda, maka implementasi realitasnya juga ikut berbeda.
“Kemudian menganggap pemahaman yang lain itu salah. Jadi tafsir itu tunggal. Mereka menghindari keragaman tafsir. Yang paling agak mendekati ke atas ini adalah ekstrem. Indikasinya adalah jika sudah mulai menggunakan cara-cara kekerasan dan tidak manusiawi. Ini bisa terjadi pada individu seseorang, kelompok atau yang lainnya,” jelas Gus Hasan.
Sedangkan untuk membahas radikalisme ini cakupannya tidak bisa hanya seputar lokal saja. Konteksnya harus Indonesia secara umum. “Apalagi di era serba globalisasi ini kita tidak bisa melepaskan konteks lokal dan regional, bahkan wajib konteks dunia,” paparnya. Lebih-lebih sekarang kita hidup pada masa di mana internet begitu cepat perkembangannya. Semua orang bisa dengan mudah mengakses informasi pengetahuan dari internet yang bersumber dari luar, utamanya luar negeri. Jadi semua orang bisa leluasa menghimpun pengetahuan yang ia mau, terutama pengetahuan tentang radikalisme.
Maka Gus Hasan menuturkan jika potensi radikalisme ini sangat mungkin terbuka. Ditambah lagi narasi-narasi di internet kebanyakan diisi konten-konten wacana radikalisme. Jangan disalahkan juga apabila tren konsumsi konten-konten radikalisme naik drastis. Bersyukurnya di daerah-daerah ini masih dominan Pondok Pesantren yang di huni santri dan para ulama’. Tugas mereka adalah menggawangi narasi-narasi radikalisme yang berkembang tersebut. Itu yang menurut Gus Hasan menjadi benteng moderasi keislaman.
Biasanya, pondok-pondok itu selalu mewanti-wanti santrinya jangan sampai terbawa dalam arus radikalisme. Salah satu caranya adalah sering melakukan kegiatan-kegiatan rutin untuk menunjang para santri agar bisa menangkal radikalisme. Contohnya selawat, pembacaan maulid Diba', dan kegiatan-kegiatan yang mencirikan kultur pondok pesantren. Jika ajaran tersebut rutin dilakukan, maka Ponpes yang lain bisa dengan mudah membentuk para santri agar mempunyai dasar rasa cinta pada Indonesia.
Gus Hasan mewanti-wanti, khususnya di kota-kota industri yang kental akan pembangunan besar-besaran. Kunci dari industrialisasi adalah datangnya masyarakat-masyarakat luar yang bekerja, sehingga akan muncul kultur keberagaman. Keberagaman itu yang penting. Kalau kita tidak bisa memahami laju keberagaman, maka kita akan bisa terjerembap pada dunia radikalisme. Terutama tentang pemahaman budaya baru yang masuk ke budaya lama.
Gus Hasan mengibaratkan bahwa pesantren merupakan tempat terbentangnya cakrawala, tetapi percuma saja kalau kita punya senjata namun tidak pernah digunakan, maka hanya sia-sia. Potensi-potensi pesantren ini perlu dimaksimalkan secara ilmu pengetahuan dan kultural. Lalu sebagai seorang santri, Gus Hasan mengingatkan bahwa penting juga mengisi narasi-narasi di media sosial dengan narasi-narasi kebermanfaatan. Karena media sosial sangat rentan sekali diisi menu-menu radikalisme.
“Siapa pun itu meskipun tidak ada niat mengakses hal semacam itu, tetapi setiap waktu kita disuguhkan topik-topik radikalisme, maka tidak perlu waktu lama, kita bisa saja masuk dalam lingkaran mereka,” pungkas Gus Hasan.
-
Pernah dimuat di Gresik Pos dengan proses revisi.
.png)
Komentar
Posting Komentar