Sastra tak ubahnya seperti gelombang ruh yang mendasar dan tercipta dari lubuk hati terdalam manusia. Utamanya sastra, cenderung memiliki ruh hidup pada setiap bahasa keindahannya. Wujudnya berupa materi, namun kehidupan bahasanya, bisa diselami lebih estetik sampai tersentuh, terenyuh, dan terharu.
Tidak jarang, sastra dalam perkembangannya selalu memunculkan polemik yang tiada henti-hentinya dibahas. Saling mematahkan argumen, silang pendapat, sampai pada cibiran pun seolah-olah biasa. Mungkin mereka orang-orang yang sengaja dihadirkan untuk peduli pada dunia sastra. Sehingga perkembangan sekecil apapun tidak boleh terlewatkan. Harus relevan sesuai pemikirannya. Mereka ingin menjaga prinsip, keyakinan, kesucian, dan ideologi sastranya. Yang berbeda, maka berpeluang besar salah.
Contoh saja pada kemunculan puisi esaianya Denny JA. Polemik ini sebenarnya sudah lama. Seperti yang diketahui bersama, sosok Denny dikenal bukan sebagai penulis, apalagi sastrawan. Kepiawaiannya di lembaga survei politik telah mengantarkan beberapa nama menjadi Presiden. Itu yang membuat dia punya nama sebelum polemik sastra ini.
Ada kalangan yang mendukung, bahkan ikut menyosialisasikan. Ada juga yang menolak tegas kehadiran puisi itu. Saking ramainya, sebagian orang yang awalnya tidak tahu sastra, tiba-tiba mereka ikut menikmati pergolakan itu. Mencari tahu, kadang juga bertanya ke orang-orang terdekatnya yang tahu soal sastra. Tetapi yang tahu sastra juga tidak semua tahu. Ada yang sekadar tahu, ada juga yang benar-benar tahu dan paham soal itu. Klimaksnya ada ketika Denny didapuk jadi nominasi Nobel sastra ASEAN.
Tapi saya tidak fokus pada polemik itu. Tidak ikut meramaikan di dalamnya. Saya juga tidak masuk di dua kubu antara pro dan kontra. Saya hanya melihat dan sekadar mengikuti saja. Namun sekelibat saat mengikuti, ada pertanyaan mendasar, kenapa kehadiran puisi esai baru diributkan sekarang? Bukankah beberapa karya yang karakternya mirip puisi esai, dulu pernah muncul di jagat kesusastraan Indonesia?
Jika mengikuti acara Sinau bareng buku kumpulan puisi Emha Ainun Najib berjudul "M Frustasi dan Sajak Jatuh Cinta" pada Sabtu 5 Februari kemarin di Rumah Maiyah. Eko Tunas selaku sahabat karib Cak Nun saat mengupas buku itu mengatakan, kalau tahun 70-an melalui salah satu puisi yang ada di buku itu, Cak Nun sudah pernah menulis puisi yang mirip puisi esai, tapi Cak Nun sama sekali tidak pernah menamainya puisi esai. Bahkan saya rasa bukan hanya salah satu puisi yang ada di buku itu saja. Melalui puisi lain, contoh pada syair lautan jilbab, syair itu bisa juga dikatakan sebagai puisi esai karena sifatnya yang kompleks, detail, dan panjang.
Kembali lagi ke pertanyaannya Eko Tunas. Kenapa puisi itu baru buming sekarang? Apakah karena yang membawa bukan dari kalangan sastrawan? Atau mungkin ada maksud terselubung yang menjadikan puisi esai itu hanya sebagai tunggangannya saja?
Apapun maksud tujuannya, saya tidak terlalu ambil pusing. Perihal siapa sastrawan dan siapa yang bukan sastrawan juga selama ini tidak pernah dirumuskan dengan serius. Sama seperti maraknya penerbitan sekarang. Semua orang boleh membuat dan menulis buku. Tidak ada akurasi atau filter tersendiri siapa yang bisa menerbitkan buku.
Sama halnya juga di dunia musik. Hari ini banyak orang yang dengan gampang bernyanyi, mengkover lagu milik orang lain. Bahkan kadang si pemilik lagunya tidak mengetahui. Akibat dari kemudahan tersebut bisa menjadi paradok tersendiri. Semakin mudah, semakin banyak pula karya. Tapi kelemahannya, produk karya itu muncul tanpa akurasi. Alhasil, karya yang semula diciptakan dengan kreatifitas, justru menjadi sampah.
Kembali lagi ke soal sastrawan. Siapa yang pantas dipanggil sastrawan dan siapa yang tidak. Selama ini, siapa saja yang bisa menulis karya sastra, ia bisa dengan mudah dilabeli sastrawan. Kalau tidak sastrawan, minimal penulis.
Tidak harus terlahir dari akademisi sastra. Seorang Dokter, Psikiater, Petani, atau siapa saja, ketika mereka bisa nulis karya sastra, maka dengan mudah mereka dipanggil sastrawan. Tidak bisa sebaliknya, sastrawan tidak akan bisa dipanggil dokter, sebelum ia berkuliah mengambil jurusan kedokteran dan dibuktikan dengan sertifikasi profesi yang mumpuni. Begitu juga dengan makna antara sastrawan, penulis, seniman dan budayawan. Selama ini kita mengklasifikasikan mereka hanya dari eksistensi semata. Tidak benar-benar dilirik dari segi historis kualitasnya.
Seperti Emha, dalam panggung sosial, ia pantas disebut apa? Dia seorang multitalenta. Meski pandai menulis, ia juga tak dipanggil penulis. Ia punya pemahaman sendiri soal sastra, tapi tidak juga dipanggil sastrawan. Justru predikat yang sering dipakai adalah budayawan. Lantas mana yang benar? Kadang soal label-label seperti itu kita tidak paham penempatannya.
Kecenderungan apa yang mereka kerjakan setiap hari, maka itu profesinya. Itu pun kadang masih tidak jelas. Karena predikat sama halnya seperti identitas. Sedangkan identitas adalah tanggungjawab. Perilaku orang yang dikenai identitas harus sama dengan nilai-nilai yang terkandung di identitas itu dan sudah terhubung langsung oleh masyarakat.
Justru yang menjadi menarik adalah soal proses kreatifitas Cak Nun tadi. Mengapa? Di rana belajar sastra, ada banyak orang belajar sastra melalui berbagai sisi. Baik dari akademisi, komunitas, organisasi, kecintaan dunia baca, kehidupan, dan sebagainya. Dari masing-masing sisi itu memunculkan berbagai perbedaan.
Cak Nun adalah salah satu orang yang belajar sastra dari sekup kehidupan. Bersama komunitas dan gurunya Umbu Landu Paranggi, ia belajar sastra sekaligus menyubstansikan sastra melalui perjalanan hidupnya. Kepintarannya dalam menghubung-hubungkan banyak dimensi, membuat ia bisa menarik simpulan dari apa yang dihubungkan, kemudian ditransformasikan menjadi nilai dasar hidupnya.
Misalnya, apa pentingnya manusia belajar sastra? Bagaimana pengaruh sastra dalam proses kehidupan manusia? Bagaimana sastra memengaruhi perjalanan spiritualitas manusia?
Sehingga ia tak pernah risau soal polemik sastra, karena sibuk memproseskan diri dalam sastra. Ada atau tidak adanya puisi esai atau genre-genre lain itu tak jadi soal. Sebab yang terpenting bukan puisi esainya, melainkan tujuan kenapa puisi itu dilahirkan dan apa makna yang terkandung di dalamnya.
Mengingat kembali sekitar tahun 80-an, melalui bukunya "Sastra yang Membebaskan" Emha atau Cak Nun menegaskan kembali bahwa narasi sastra harus melek sosial. Sastra tidak boleh berkutat hanya soal estetika keindahan saja. Sastra harus hadir di tengah masyarakat, menemani tumpukan masalah mereka yang terus-menerus ada.
Hal itu dibuktikan dengan musik puisi yang pernah dibawa bersama grup musiknya. Ia memperkenalkan puisi kepada masyarakat lewat lagu. Sekaligus menghadirkan puisi di dalam masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Dan itu sudah dilakukan di mana-mana, di banyak tempat. Misalnya waktu Cak Nun bersama Gusdur, Romo Mangun, dan aktivis lainnya membantu masyarakat yang terkucilkan karena pembangun waduk Kedung Ombo.
Pergulatan sastra itu biasa ada. Bukan hanya pada sastra. Tidak menutup kemungkinan di bidang lain juga ada. Cuma, hal yang paling penting adalah bagaimana sastra bisa dimengerti masyarakat. Sastra bisa hadir menemani masyarakat. Bukan hanya soal karya, tetapi bagaimana mengolah empati, simpati, prihatin, dan apresiasi dalam diri ini menjadi manfaat. Apapun namanya, selama tidak berimbas baik ke masyarakat, sastra hanya wujud tanpa ruh. Itu yang perlu diperjuangkan sama-sama.
Sama halnya seperti yang pernah dikatakan Seno Gumira Ajidarma, sastra tidak dikenal masyarakat atau pembaca karena para penulis yang enggan mengenalkan sastra kepada para masyarakat, khususnya masyarakat pembaca. Itu pula yang akan merembet pada minimnya budaya literasi Indonesia.
Lalu bagaimana manfaat kehadiran puisi esai itu? Apa hanya sekadar program popularitas atau program politisasi sastra untuk mengangkat identitas satu kenamaan saja?

Komentar
Posting Komentar