Langsung ke konten utama

Postingan

Ketika Koran Sudah Tidak Punya Nilai Jual Lagi

Saya hari ini di kelas membawa banyak koran dari berbagai media. Ada Kompas, Jawa Pos, dan Kontan. Semuanya koran-koran bagus. Bahkan sering menjadi langganan banyak orang, lembaga, dan perkantoran.  Untungnya, tiga koran itu sudah menjadi langganan sekolah sejak lama.  Sebenanrnya ada satu langganan majalah lagi, yaitu Tempo, majalah progresif dan kritis yang didirkan Gonawan Mohammad. Secara selera bacaan, sekolah tempat saya mengajar sudah cukup baik, pasalnya, mau koran apa lagi kalau tidak tiga jenis koran itu. Tidak ada pilihan lain. Mayoritas para rival mereka seperti Sindo, koran Tempo juga sudah tidak ada.  Apalagi Kompas, koran dengan punya litbang sendiri. Survei-surveinya juga menarik. Sangat gen Z kalau kata anak-anak sekarang. Mengambil data dari berbagai masalah terkini. Datanya juga disajikan secara naratif dan deskriptif. Para siswa bisa membaca dengan mudah. Cocok dengan materi mereka, yaitu memahami informasi dari mana saja. *** Koran-koran itu selalu t...

Ikan Bakar

Ikan bakar nila di Pagerwojo Sidoarjo waktu itu memang lezat. Ukurannya besar. Badannya dibelah jadi dua. Sebelum di bekukan, ikan itu sudah dimarinasi. Makanya, bumbunya bisa sangat meresap.  Belum lagi ketika dibakar, lalu diberi bumbu lagi. Ada kecap-kecapnya, sehingga rasanya tambah enak, ada smook-smooknya.  Saya pesan dua porsi dengan paman, adik ke-3 dari ibu. Saat nila bakar itu datang, ibu-ibu dua orang di samping kami spontan langsung melihat.  Agak kurang enak dilihat seperti itu, tapi saya sadar, saya sedang di tempat umum. Otomatis harus rela dilihat orang.  Sepintas saya melihat lagi ibu-ibu itu. Saya berasumsi, mereka spontan melihat kami karena mungkin heran, kok banyak banget pesanannya.  Sedangkan mereka hanya pesan satu ikan bakar dengan dua nasi. Tapi sudahlah, tidak jadi soal. Tidak juga memengaruhi rasa ikan bakarnya. Harganya tidak terlalu mahal, 95 ribu untuk dua nila bakar, dua nasi, dan dua jeruk anget. Sebanding dengan ukuran dan rasan...

Sekolahnya Para Peneliti Muda

SMA Progresif Bumi Shalawat ‎(SMASIF) sedang menunjukkan taringnya. Program unggulannya bernama Progresif Science and Innovation Exhibition (PSIE) diadakan lebih menarik dan megah. ‎Di dalam PSIE ada banyak hasil produk riset para siswa. Mereka diberi sekian waktu untuk sengaja melakukan penelitian di berbagai bidang.  ‎Bayangkan saja, acara ini tiap tahun diadakan. Ini sudah kali ke 7. Otomatis, produk inovasi mereka tentunya berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kreatifitas mereka tidak perlu diragukan lagi  ‎PSIE tahun-tahun kemarin diadakan dengan cukup sederhana. Hanya melibatkan siswa internal saja. Tahun ini sengaja dibuat megah dan meriah. Melibatkan institusi besar yaitu ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember). ‎Peserta yang hadir tidak hanya datang dari internal saja, tetapi merambah nasional di tingkat SMP dan SMA. Kategori lombanya tidak dibedakan antar jenjang. Begitu juga hadiahnya. ‎Kata ketua panitia, itu sengaja agar mereka sanggup belajar bersaing. Bukan be...

Dari Sepatu Reot, Kita Bisa Belajar Bagaimana Menjadi Orang Bervalue

Sepatu itu saya beli sekitar tahun 2016. Awal masuk kuliah. Mereknya crocodile. Belinya di daerah Menganti Gresik, dekat kampus UNESA Lidah Wetan.‎ Saya beli di hari kedua PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru). Di hari pertama, sepatu yang saya gunakan tidak sesuai peraturan. Akibatnya, saya mendapat hukuman. Agar tidak mendapat hukuman lagi, uang saku pemberian orang tua dari rumah, saya gunakan membeli sepatu baru, padahal sepatu dari rumah juga terbilang baru beli. Saya masih ingat betul, harganya Rp80.000. Saya membelinya pada malam hari setelah tugas PKKMB selesai saya kerjakan. Sepatu itu tidak selalu saya pakai, kecuali pas ada acara-acara formal yang mengharuskan memakai sepatu pantofel. Setelah beberapa tahun saya pakai, akhirnya jebol juga. Saya berniat tidak memakainya lagi. Waktu saya pulang ke rumah, saya bawa sepatu itu dengan niatan mau saya taruh di rumah saja, karena tidak memungkinkan dipakai. Ternyata, tanpa saya ketahui, saat saya di Surabaya, sepatu it...

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...

Tablet

Setelah sekian lama akhirnya saya kesampean juga membeli tablet. Alat kecil yang kehadirannya cukup dibutuhkan. Dari situ nanti saya bisa duduk-duduk sambil bermain tablet. Bisa juga ngopi-ngopi santai sambil tabletan. Menarik bukan.  Membeli tablet bukanlah sebuah prestasi yang membanggakan. Bukan pula pencapaian yang benar-benar perlu diperjuangkan. Apalagi dicatat sebagai modal sejarah. Sangat tidak perlu. Tidak juga terhitung sebagai kontributor perubahan bangsa.  Tetapi menurut sebagian orang, membeli sesuatu yang sudah lama ingin dibeli dengan hasil jerih payah sendiri itu rasanya berbeda. Tapi bagi yang masih disubsidi uang dari orang tua, mungkin tidak akan pernah merasakan hal yang serupa. Hal ini juga pernah saya alami ketika baru membeli motor baru. Kemudian datang seorang teman yang mulutnya tanpa aturan tiba-tiba njeplak dengan omongan yang sangat tidak enak didengar. Ia anak orang yang cukup punya uang. Selain motor, kendaraan hariannya adalah mobil. Jadi ketika ...