Ikan bakar nila di Pagerwojo Sidoarjo waktu itu memang lezat. Ukurannya besar. Badannya dibelah jadi dua. Sebelum di bekukan, ikan itu sudah dimarinasi. Makanya, bumbunya bisa sangat meresap.
Belum lagi ketika dibakar, lalu diberi bumbu lagi. Ada kecap-kecapnya, sehingga rasanya tambah enak, ada smook-smooknya.
Saya pesan dua porsi dengan paman, adik ke-3 dari ibu. Saat nila bakar itu datang, ibu-ibu dua orang di samping kami spontan langsung melihat.
Agak kurang enak dilihat seperti itu, tapi saya sadar, saya sedang di tempat umum. Otomatis harus rela dilihat orang.
Sepintas saya melihat lagi ibu-ibu itu. Saya berasumsi, mereka spontan melihat kami karena mungkin heran, kok banyak banget pesanannya.
Sedangkan mereka hanya pesan satu ikan bakar dengan dua nasi. Tapi sudahlah, tidak jadi soal. Tidak juga memengaruhi rasa ikan bakarnya.
Harganya tidak terlalu mahal, 95 ribu untuk dua nila bakar, dua nasi, dan dua jeruk anget. Sebanding dengan ukuran dan rasanya. Yang tidak sebanding adalah tempatnya.
Dengan harga segitu, menurut saya tidak cocok kalau lokasinya di pedesaan. Minimal di pinggir jalan umum yang ramai. Bisa jadi, dengan begitu, mereka dapat pelanggan lebih banyak, terutama orang-orang bermobil.
Saya duduk ada satu jam lebih sambil ngobrol. Selama itu, hanya ada kami berempat. Dua ibu-ibu tadi pun tidak lama angkat kaki.
Setelah itu tidak ada lagi orang membeli. Sayang sekali, padahal ikannya enak. Cocok dijual di rumah makan yang premium.
-----
Sambil menikmati ikan bakar, kami ngobrol banyak hal. Masalah kesehatan paman menjadi topik utamanya.
Ia kena struk ringan. Masih bisa gerak, tapi tetap tidak seperti biasanya. Ia bekerja di perusahaan yang cukup besar di Sidoarjo sejak lulus kuliah di UBAYA. Sudah 15 tahun lebih dia bekerja di sana.
Tubuh yang semula gagah, menjadi agak kurus dan mata terlihat sayu. Kaki tidak bisa normal digunakan untuk berjalan. Tangan juga demikian, tidak normal, karena ada gangguan di sarafnya.
Perusahaannya cukup baik, karena dengan kondisi seperti itu, dia masih diterima bekerja. Tapi waktu itu ada kabar yang kurang enak, katanya tidak lama lagi ia akan dirumahkan karena kesehatannya.
Saya tidak tahu pasti berapa umurnya. Kalau dikira-kira mungkin sekitar 50-an awal.
Saya mulai sadar, kesehatan menjadi penting, karena kita tidak tahu apa saja yang ditumpahkan Tuhan pada kita yang kesannya sangat mendadak.
Semua keluarga tidak ada yang mengira, karena paman satu ini termasuk orang yang suka olahraga. Setiap minggu, kalau tidak badminton ya tenis. Meski begitu, masalah kesehatan tidak luput dari tubuhnya.
Kabarnya, pemerintah bakal menghapus batas usia kerja, tapi tetap saja ambigu. Mereka tidak membatasi pada sektor industri di bidang apa. Apakah semua atau pada bidang-bidang tertentu saja.
Peraturan ini harus benar-benar dipahami oleh pemilik usaha, para pencari kerja, dan pelanggan.
Misalnya ada seorang pemilik toko kosmetik, kemudian dia merekrut ibu-ibu. Lalu ada pembeli yang heran, kenapa ibu-ibu bisa bekerja di toko kosmetik.
Menurutnya, toko kosmetik biasanya diisi oleh para peagawai muda yang cantik dan ganteng. Tapi karena tidak ada batas usia kerja, maka boleh saja ibu-ibu kerja di sana.
Dan fenomena seperti itu nantinya yang perlu dipahami. Apakah benar begitu atau hanya sekadar buaian semata saja, agar masyarakat senang sesaat dan gembira sesaat.
Buktinya, di mana-mana masyarakat masih sulit cari kerja. Job fair di mana-mana selalu dipenuhi para mereka yang belum dapat kerja.
Indikatornya cukup mudah, jika di setiap job fair masih dipenuhi ribuan bahkan jutaan masyarakat pencari kerja, maka pemerintah gagal dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Jika kebutuhan tidak tercukupi, imbasnya pada meningkatnya kejahatan, KDRT, pencurian, dan sebagainya.

Komentar
Posting Komentar