Langsung ke konten utama

Ketika Koran Sudah Tidak Punya Nilai Jual Lagi

Saya hari ini di kelas membawa banyak koran dari berbagai media. Ada Kompas, Jawa Pos, dan Kontan. Semuanya koran-koran bagus. Bahkan sering menjadi langganan banyak orang, lembaga, dan perkantoran. 

Untungnya, tiga koran itu sudah menjadi langganan sekolah sejak lama.  Sebenanrnya ada satu langganan majalah lagi, yaitu Tempo, majalah progresif dan kritis yang didirkan Gonawan Mohammad.

Secara selera bacaan, sekolah tempat saya mengajar sudah cukup baik, pasalnya, mau koran apa lagi kalau tidak tiga jenis koran itu. Tidak ada pilihan lain. Mayoritas para rival mereka seperti Sindo, koran Tempo juga sudah tidak ada. 

Apalagi Kompas, koran dengan punya litbang sendiri. Survei-surveinya juga menarik. Sangat gen Z kalau kata anak-anak sekarang. Mengambil data dari berbagai masalah terkini. Datanya juga disajikan secara naratif dan deskriptif. Para siswa bisa membaca dengan mudah. Cocok dengan materi mereka, yaitu memahami informasi dari mana saja.

***

Koran-koran itu selalu tergelar di perpustakaan sekolah. Sengaja digeletakkan begitu saja, agar bisa langsung terlihat oleh siswa. Letaknya juga selalu di meja penjaga perpus, sehingga ketika siswa masuk, yang dilihat pertama adalah koran. Tetapi untuk koran, mereka tidak boleh meminjam, cukup dibaca di tempat. 

Pernah sesekali saya melihat koran itu menjadi rebutan siswa. Itu pemandangan paling menyenangkan, meski hanya sekadar membuka dan membolak-balik per halamannya atau melihat-lihat gambarnya. Tapi setidaknya mereka tahu informasi dari judulnya. 

Memahami informasi sebenarnya tidak bisa hanya membaca judul. Mereka harus benar-benar membaca isinya, supaya mereka bisa paham apa maksud yang ingin disampaikan penulis. 

Mereka harus tahu, bahwa sekian persen dari berita, ada opini penulisnya. Dari pemilihan judul misalnya, penulis tentu punya sebab musabab kenapa judul itu yang ia pilih. Bisa jadi, dari satu peristiwa, para penulis mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda. Makanya, pembaca tidak boleh membaca hanya dari judulnya saja, melainkan harus paham apa isu, topik, atau masalah yang menjadi dasar sudut pandang si penulis. 

***

‎Di kelas, saya perkenalkan mereka dengan seluk beluk yang ada di koran. Saya buka satu eksemplar koran. Saya beri pengantar terlebih dahulu soal media. Saya jelaskan satu-satu rubrik yang ada di dalamnya. 

”Siapa di sini yang suka baca koran?”

Ada mungkin 8 dari 30 anak mengangkat tangannya. Wajahnya sumeringah seolah-olah menunjukkan bahwa mereka benar-benar suka. Target saya minimal mereka pernah punya pengalaman membuka koran.

”Kemudian apa yang menarik dari membaca koran?”

Hampir semuanya menjawab karena gambarnya. Sajian visual memang menarik. Selain judul, gambar juga menjadi salah satu daya tarik pembaca untuk memutuskan membaca, makanya, judul di koran sengaja dibuat besar. 

”Apa yang tidak kalian suka dari koran?” 

Mereka serentak menjawab karena ukuran kertasnya terlalu besar. Mereka cukup ribet untuk mau membaca. Kurang enak juga kalau misalnya dibaca waktu bepergian menggunakan transportasi umum. 

Apalagi ada berita bersambung yang kita harus menemukan sambungannya di halaman lain. Kalau tidak ketemu dan tidak tahu ternyata ada halaman lanjutannya, khawatir pemhaman pada informasinya bisa tidak utuh. Efeknya akan salah paham. 

Benar juga apa yang mereka katakan. Saya pun demikian, kurang begitu suka membaca koran karena tampilannya terlalu besar. Andaikan ukurannya lebih kecil atau disamakan dengan majalah, mungkin mereka, terlebih masyarakat akan muncul minat untuk membaca. 

Beberapa penelitian juga mengatakan serupa, anak muda sudah tidak berminat membaca koran. Menurut data lama tahun 2016, Survei Nielsen Consumer & Media View di 11 kota besar Indonesia menunjukkan bahwa hanya 9% anak muda usia 10–19 tahun yang masih membaca media cetak seperti koran, majalah, atau tabloid. Sisanya lebih memilih televisi (97%), internet (81%), radio, atau TV berbayar.

Sedangkan data terbaru tahun 2024 dari GoodStats memaparkan, bahwa 59,4% anak muda mengakses berita digital beberapa kali dalam seminggu. Mereka lebih menyukai informasi berformat artikel dan video-video pendek yang relevan dengan kehidupan mereka.

Ketahanan para punggawa koran itu juga sebagai tanda, sekaligus afirmasi, bahwa yang bertahan adalah yang patut diperhitungkan kualitasnya. Dalam lingkup nasional, mayoritas koran sudah beralih ke online, yang bertahan mungkin hanya koran-koran lokal daerah.

Kehadiran koran di tengah gempuran media online tentu sangat penting. Maraknya orang dengan gampang membuat media online, hanya butuh website dan tidak jelas asal-usulnya, kemudian menulis berita dan langsung menyiarkannya, membuat koran berperan sebagai penyeimbang dan memfilter titik akurasi pada sebuah informasi.

Pada kenyataannya, koran lebih banyak dikonsumsi orang dewasa mapan. IDN Research Institute menyebut bahwa minat membaca pada anak muda tetap tinggi, namun membaca kini lebih banyak dilakukan dalam bentuk non-fisik—seperti artikel digital dan video singkat di TikTok atau Reels. Jika sudah begitu, namanya bukan lagi koran. Artinya, pelan-pelan koran akan hilang dan dilupakan.

Menurut kalian apa urgensi lain mempertahankan koran?

Untuk terus tumbuh, apakah koran masih tetap mempertahankan idealismenya atau mungkin mencoba berevolusi menyesuaikan pasar. Saya hanya membayangkan bagaimana seandainya koran berubah bentuk menjadi seperti majalah. Kertas, pemberitaan, pengambilan gambar, dan lain sebagainya tetap sama. Yang berbeda hanya pada ukurannya. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...