Langsung ke konten utama

Kasus Wadas: Komitmen NU Merawat Jagad, Membangun Peradaban


Dewasa ini, Indonesia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang makin kompleks, salah satunya persoalan agraria yang sejatinya selalu muncul siapapun pemimpin negara atau daerahnya. Banyak kalangan yang menyoroti persoalan agraria tersebut tak terkecuali NU, baik melalui jalur struktural maupun kultural.

Wadas, adalah salah satu Desa yang saat ini diperjuangkan banyak pihak agar masalah demi masalah dalam pelaksanaan proyek strategis nasional berupa pembangunan bendungan itu bisa terurai. Pro dan kontra merupakan hal yang wajar karena masing-masing memiliki alasan dalam menyatakan mendukung atau menolak kebijakan.

Dalam kasus Wadas tentunya NU tidak asal dalam mengambil keputusan. NU tetap menjadi kelompok yang memilih jalan tengah dalam menyikapi permasalahan-permasalahan bangsa, termasuk permasalahan agraria. Melalui pernyataan Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, NU jelas menunjukkan sikapnya yang tidak condong ke kanan maupun kiri, melainkan lebih pada kepentingan bersama yaitu bangsa & negara (kemaslahatan umat). 

NU selalu siap mendampingi rakyat sekaligus membantu pemerintah dalam menjalin komunikasi dengan rakyat karena ada beberapa hak rakyat yang harus diperhatikan.

Pernyataan Gus Yahya sangat jelas, bahwa NU selalu siap mendampingi rakyat sekaligus membantu pemerintah dalam menjalin komunikasi dengan rakyat karena ada beberapa hak rakyat yang harus diperhatikan. Ini sekaligus mempertegas komitmennya dalam memimpin kepengurusan PBNU periode 2022-2027 dengan visi besar yang diusung yakni merawat jagad membangun peradaban.

Sikap NU ini tidak semata-mata didasarkan karena visi besarnya dalam kepengurusan, tapi juga didasarkan pada pedoman-pedoman yang selama ini dipegang dalam merumuskan kebijakan. Ya, NU mengenal Maqashid Syariah yang digunakan mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat dengan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 

Maka tidak heran jika dalam kasus Wadas ini NU memberikan masukan-masukan agar pemerintah membuka ruang-ruang dialog untuk memenuhi hak-hak warga yang sudah seharusnya didapat, termasuk kelestarian alam. Semua itu dilakukan agar pembangunan yang dilakukan bisa berjalan dengan proses yang baik tanpa harus menabrak aturan-aturan yang berlaku dan tanpa terjadi konflik yang mampu mengancam jiwa masyarakat.

Kita semua tahu, menjadi NU itu tidaklah mudah karena posisinya yang tidak ke kanan dan juga tidak ke kiri, artinya harus siap menghadapi hantaman dari kanan dan kiri yang berusaha menggoyahkan keteguhan-keteguhan pemikiran dan gerakan NU dalam berkhidmat. Ketika NU sepakat dengan kebijakan pemerintah, maka NU akan dicap kacung dan penjilat. Sebaliknya, dalam permasalahan tertentu ketika NU tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah maka akan dituduh pemberontak.

Sekali lagi, sebagai kelompok yang berdiri di tengah memang kita (nahdliyyin) harus selalu siap menghadapi kenyataan yang lucu. Sekarang dihormati, besok sudah dibenci, dihujat. Tapi itu semua tidak penting bagi NU. Yang dibutuhkan bukanlah pamor, NU tidak gila hormat. NU hanya berusaha tetap istiqomah mendakwahkan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan juga mewujudkan negara yang baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Semoga kita semua tidak pernah lelah menjadi NU dan tetap gandolan sarunge Kyai dengan segala ketawadhuan yang kita miliki. Salam…

Salam…


Hendra Septiawan, Aktivis Muda NU, Kelahiran Jombang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...