Langsung ke konten utama

Radikalisme Salah Cita-Cita

Melihat perkembangan gerakan Islam, semakin hari membuat sebagian kalangan mengalami fase fetakompli. Umat mengalami kebingungan. Bingung memilih Islam mana. Menengok ke kanan, Islam jadi tegang. Menengok ke kiri, Islam justru semakin tegang. 

Dua-duanya punya motivasi serius. Namanya gerakan, tentu memiliki arah, tujuan, visi misi, dan motivasi. Sehingga berkembang dan terus berjalan sesuai apa yang ingin dicapai.

Satu gerakan dengan gerakan lainnya membentuk satu episentrum baru. Pada dasarnya berkutat pada corak Islam lama, cuma diusung dengan pemabaruan gerakan baru. Ruang lingkup yang sengaja mereka bentuk membuat satu bentuk berupa gelas kosong. Siapa saja yang mau, boleh ikut. 

Sama-sama bergerak. Ada yang terlihat, ada pula yang tidak. Yang tak terlihat cenderung samar-samar tak terendus. Masing-masing punya resiko. Apalagi bagi golongan yang berani tampak. 

Boleh saja terlihat, tapi sangat beresiko. Paling tidak, outputnya minim masalah, serta harus muncul efeek kebermanfaatan. Itu sudah prinsip keyakinan bersama. 

Sedangkan yang berani tampak tapi tak mengambil jalan melalui cara pandang masyarakat muslim pada umumnya, mereka harus berani dilabeli. Islamnya sama, namun jalannya beda. 

Tujuannya sama, yakni surga, cuma google maps-nya berbeda. Orang-orang yang ditemui pun beda. Rumah-rumah warga di sepanjang jalan juga sangat berbeda. 

Maka, mereka wajib siap sedia bila mungkin identitas yang melekat ke kelompok mereka penuh kecaman. Kecaman itu berujung pada pelabelan radikal yang khusus ditujukan ke mereka, khususnya kelompok yang sering bermanuver dalam segala kondisi krusial negara. 

Terlebih sangat keras. Sehingga pandangan Islam kebermanfaatan jauh pada tubuh kelompok mereka.

Lagi-lagi radikal tak usai dibahas sehari dua hari. Ada banyak unsur yang terlibat di sana, terutama bahasa. Konteks sosial memengaruhi segalanya, termasuk pemaknaan. Sebagian mahasiswa yang fokus berfilsafat, mungkin akan tertawa bila mendengar asumsi radikal di wacana media. 

Maknanya jauh dari apa yang mereka pelajari. Tapi kalau mereka bisa membedakan radikal pada dua dimensi, antara pemikiran dan praktik, kemungkinan besar mereka bisa menerima. 

Dalam hal ini radikal dipertarungkan pada wilayah praktik keagamaan. Secara keilmuwan, tak ada salahnya umat beragama memakai pikiran radikalnya untuk mengelaborasi segala fenomena keagamaan. Sama sekali tidak salah. Justru sangat benar. 

Islam sangat menganjurkan manusia untuk berpikir. Contoh pada penggalan ayat yang berbunyi “Afala Ta’qilun” (apakah kamu tidak menggunakan akalmu). Menggunakan akal untuk berpikir artinya bertanya akan segala hal. 

Sangat tidak mungkin manusia lepas dari rasa penasarannya. Sejak lahir ke bumi, manusia tidak mengerti pengetahuan tentang dunia. Ia bisa tahu dengan cara bertanya dan mencoba. Apa yang jadi landasan manusia bertanya kalau tidak dari rasa penasaran itu. 

Makanya, berpikir adalah kegiatan wajib orang Islam. Islam tak mesti asing dengan narasi kritisme. Sebab, bukan lagi jadi wacana, melainkan sebuah keharusan. 

Di zaman Nabi dan para sahabat apakah tidak muncul kelompok semacam itu? Tentu muncul. Mereka cenderung musuh dalam dakwah, penghambat laju informasi keislaman pada umat. 

Tapi apakah gejala radikalnya sama? Jelas tidak bisa disamakan. Dari perkembangannya, kelompok semacam ini selalu ada dan berlipat ganda, mirip puisinya Wiji Thukul. 

Coba tengok zaman Ali bin Abi Thalib, sang gerbangnya ilmu. Di akhir hayatnya, Ali berhasil dibunuh oleh golongan Khawarij bernama Ibnu Muljam. Bahkan pembunuhan itu dilakukan ketika Ali hendak melakukan salat subuh. 

Lalu peristiwa Karbala, pemenggalan kepala Husein yang dilakukan secara tragis itu membuat umat muslim menangis pilu. Padahal, Husein merupakan cucu Rasulullah yang persis sekali dengan wajah Rasulullah. Itu perkataan yang dilontarkan Ubaidullah bin Ziyâd saat menusuk kepala Husein di bejana.

Kemudian dilanjut pada masa sebelum renaisans Eropa. Ketika ilmu pengetahuan didominasi oleh kelompok muslim. Seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Khawarizmi, dan ilmuwan lainnya. 

Gerakan mereka memang disinyalir radikal. Cuma radikal yang membuahkan hasil untuk dunia, khususnya bagi umat muslim. 

Mereka mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mengasingkan diri dari penguasa kala itu untuk menjaga keorisinalitasnya. Tujuannya agar pengembangan ilmu yang mereka lakukan tidak diintervensi oleh kalangan penguasa. 

Soal pengembangannya, mereka melakukan kajian dan penelitian tidak sendiri. Melainkan masyarakat juga turut membantu mengakomodasi finansialnya untuk menunjang proses pengembangan itu. 

Artinya, mereka bisa berhasil dan bergerak bersama dengan masyarakat akar rumput. Membentuk satu pemikiran bersama, yakni kemajuan Islam. 

Meski sering mendapat tekanan dari penguasa, mereka terus melanjutkan misinya. Bahkan tak jarang juga sering mendapat hukuman dari penguasa saat itu. Baik hukuman fisik maupun hukuman penjara. Contoh saja Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Taimiyah, dan lain sebagainya. 

Mereka dipenjara demi mempertahankan tujuan besar. Tujuan itu bisa kita rasakan sekarang. Sampai detik ini, karya-karya mereka masih kita jadikan bahan rujukan belajar, sekaligus untuk menyelesaikan permasalahan agama saat ini. 

Saya menggolongkan mereka pada satu wilayah radikal karena kemandirian prinsip keagamaannya. Meski terbilang bermusuhan dengan penguasa, tapi permusuhan itu jelas dan terstruktur rapi, sehingga membuahkan hasil yang bisa dirasakan umat sampai sekarang. 

Sedangkan jika melihat kelompok radikal sekarang yang seolah-olah memisahkan diri dari penguasa, apakah harus dengan memusuhi? 

Apakah memisah harus menghina dan selalu menghardik? Lalu apa yang dihasilkan dengan metode pemisahan diri semacam itu? Apa iya bisa menghasilkan suatu padanan ilmu atau pelajaran yang bisa dinikmati untuk generasi ke depan?

Atau hanya malah jadi dendam kesumat yang tiada henti dan terus berlanjut. Jawabannya ada di kalian. Coba cerna dengan pikiran jernih dan matang-matang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...