Langsung ke konten utama

Neo-Tradisionalisme dan Pembaruan Islam


Perbincangan tentang Islam dan pandangan baru di dalamnya membuat wacana pembaruan Islam selalu mengalami pembahasan yang tidak pernah selesai. Bahkan setiap orang melalui jalan akademisnya, ketika melakukan penelitian dengan mengambil objek Islam dan Al Qur'an, pasti dia menemukan banyak relevansi baru yang tentu akan dihubungkannya dengan narasi pembaruan.

Jika kita mengamati perkembangan itu, kita akan menemui beberapa tokoh yang berusaha mencoba keluar dari batasan kulturalnya ketika menjalankan sebuah penelitian tentang agama. Kenyataannya memang sering bertabrakan dengan cara pandang lama, tapi hal seperti itu sudah biasa, karena barang baru tentu ada penyesuaian dan adaptasi.

Kebanyakan pembaruan yang ditemukan masih sangat kental menyinggul soal budaya dan tradisi. Sebab, kalau kita coba tarik ulur jauh ke belakang, masyarakat bisa dengan mudah bersentuhan langsung dengan Islam salah satunya melalui budaya dan tradisi. 

Sehingga otomatis antara manusia dan pola kebudayaan sudah terinternalisasi sedemikian rupa menjadi satu nilai yang wajib ditradisikan. Sebenarnya tidak ada anjuran atau kewajiban untuk harus menjalankan itu, tetapi akulturasi yang dibawa oleh para leluhur kita nyatanya bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat, karena realitasnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat berbudaya.

Lantas kembali lagi pada persoalan awal, apakah bisa Islam dipisahkan dari budaya dan tradisi yang sudah mendarah daging? Pertanyaan itu justru bukan jadi masalah. Yang jadi masalah adalah ketika nilai-nilai Islam dibawakan dengan kaku, kemudian kita sendiri terlalu sulit mengenalkannya pada masyarakat. 

Titik berat permasalahannya justru terletak di situ. Kenapa Islam sulit diperkenalkan? Sederhananya, saat kita dihadapan dengan orang yang awam tentang Islam, maka dipikiran kita semestinya jangan terlalu tinggi menarasikan Islam. 

Minimal dia hanya sekadar tahu gitu saja sudah cukup. Soal pendalamannya itu urusan belakang. Namun perlu diperhatikan juga, pengenalan Islam lagi-lagi bergantung siapa yang membawa. Ibarat pintu, orang itu lewat pintu mana.

Akan tetapi, ada sebuah pengingat yang tak kalah penting, di mana ketika Islam mengalami keterasingan dengan budaya, maka Islam bisa saja mengalami penyempitan nilai di masyarakat, karena Islam tidak mungkin bisa dipisahkan dengan budaya. Malah sebenarnya Islam yang membutuhkan budaya untuk mengaplikasikan nilai-nilai Islam di dalamnya. 

Budaya jangan terlalu diidentikkan dengan sesuatu yang hanya bersifat tradisi atau tindakan yang sebelumnya sudah melalui tahap akulturasi budaya. Tetapi budaya itu suatu aktivitas yang setiap harinya kita lakukan. 

Jangan memperkecil makna budaya hanya dengan perbuatan yang bersifat tradisi. Sehingga budaya jika dipahami dengan model pemahaman semacam itu, budaya akan memiliki substansi makna yang luas.

Belakangan ini muncul narasi pembaruan Islam melalui tradisi atau Neo-tradisionalisme. Kurang lebih maksud pembaruan itu adalah mengubah kontruksi Islam melalui jalan tradisi. 

Sebab, menurut terminologi pembaharuan itu Islam tidak cukup hanya diperbarui melalui teks Al-Quran saja atau lebih sering kita mengenalnya kembali pada Al-Quran, sumber rujukan primer umat Islam. Tetapi pembaruannya melalui jalan tradisi yang membawa makna Al Quran itu pada konteks tradisi atau sosial. 

Lebih dalam lagi, dengan alasan lain, pembaruan itu menyatakan bahwa Al-Quran bukanlah teks yang beridentitas di luar dari teksnya. Sehingga teks Al-Qur'an hanya berdiri sebatas teks saja, karena intervensi Al-Quran dalam hidup manusia dipengaruhi oleh para mufasir waktu itu. 

Al-Quran memang berposisi sebagai media manusia untuk menjawab segala sesuatu tentang hidup, baik persoalan dan semua dinamikanya. Tapi apakah pendapat tersebut relevan dengan firman Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah ayat 185 yang artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)."

Jika ditadabburi secara ringkas melalui kata petunjuk, maka maknanya bersifat kontekstual, artinya sangat dibutuhkan sebagai jalan keluar untuk masalah di zaman sekarang. Eksplisitnya, Al Quran hadir di tengah problematika hidup umat manusia. Sebab, kata petunjuk mengisyaratkan bahwa manusia berada di tengah kebuntuan, sehingga jalan keluarnya adalah mendatangkan Al-Quran di kehidupannya.

Adapun tradisi yang dimaksudkan adalah tradisi pada momen krusial dalam historis Islam zaman dulu. Artinya pembaruan tradisi tidak bisa hanya mengambil sudut pandang tradisi di era sekarang. Tradisi harus ditarik ke belakang lebih jauh lagi sejak zaman Rasulullah. Di situlah titik kontruksi tradisi yang sebenarnya, karena tradisi yang dibawa Rasulullah tentunya akan berimbas pada apa yang dilakukan umat di zaman sekarang.

Persoalannya sekarang bukan berfokus pada bentuk teknis seperti apa pembaruan dalam Islam. Baik secara tradisi, budaya, atau kembali ke Al-Quran. Tapi yang paling penting adalah bagaimana cara agar Islam bisa diterima di lingkup budaya dan kultur masyarakat yang berbeda. Masalahnya bukan terletak pada Islamnya, melainkan ada pada siapa yang membawanya. 

Narasi pembaruan juga seolah-olah membuat kita berpikir bahwa Islam sama sekali tidak mengalami perkembangan. Pemahaman soal pembaruan yang selama ini diwacanakan secara tidak langsung membuat Islam semakin dipaksakan untuk menyelaraskan dengan perkembangan zaman. 

Emha Ainun Najib atau sering disapa Cak Nun dalam tulisannya berjudul "Tarekat Nurcholishy" menyatakan bahwa perkembangan Islam dalam narasi pembaruan selama ini sama sekali tidak bisa membedakan antara “merelevansikan ajaran Islam” dengan “mencari relevansi ajaran Islam." Jika para tokoh pembaru bisa membedakan sudut pandang itu dalam melihat perkembangan Islam berkonteks zaman, maka Islam otomatis menjadi subjek atas segala macam persoalan.

Cak Nun mengambil contoh seperti seni orang muazin. Seorang muazin ketika mengumandangkan azan tidak dalam arti mengubah fiqih, tidak mengubah sama sekali isi dari azan. Yang diubah hanya cara berazannya. Itu pun dilakukan semata-mata hanya bersifat muamalah. Tujuannya agar orang bisa menikmati suara azan, lebih-lebih bisa menggerakkan hati si pendengar itu untuk lekas segera ke masjid.

Sedangkan pembaruan Islam bukan terletak pada Islamnya, melainkan pada penyegaran pemahaman tentang nilai-nilai Islam. Di samping itu, penyegaran juga perlu menitikberatkan pada siapa yang membawa Islam, utamanya dalam konteks sosial kemasyarakatan. Karena sekali lagi, Islam bukan masalah, tetapi kadang cara orang membawa Islam justru bisa menjadikan Islam sebagai masalah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...