Langsung ke konten utama

Seni Membunuh Petani

Sebagai seorang anak kampung tulen, memang pantas saya dipanggil anak petani. Tanpa menunggu legitimasi, itu sudah melegitimasi dengan sendirinya. Sama halnya anak desa yang entah itu belajar atau bekerja ke kota, pasti teman-teman kotanya secara tidak langsung melebeli dia sebagai anak petani. 

Begitu pun saat anak kota ingin pergi ke desa, yang disasar pasti ingin melihat pemandangan hijau persawahan dan perkebunan. Suasana desa nyatanya masih dibutuhkan bagi mereka yang suntuk dengan suasana hiruk pikuk perkotaan. 

Itu hanya sebagian, belum lagi para pembesar di kota-kota sana yang berasal dari desa. Ia merantau ke kota dengan niat ingin mengubah nasib. Salah satu caranya menjadi pejabat publik. Selain punya uang, di pikiran mereka pejabat akan disegani di mana-mana, khususnya ketika pulang ke kampung halaman.
Kita tidak bisa menafikan pandangan masyarakat. Pejabat adalah orang penting, banyak uang, dan berintelektual. Sehingga kultur maindset orang desa ketika melihat tetangganya merantau kemudian pulang membawa mobil dan mampu membangun rumah orang tuanya, otomatis ia dikatakan berhasil. Padahal kita tidak tahu apa pekerjaan dan kesibukannya di tanah rantau.

Namun, desa selalu jadi tempat membuang penat. Mau tidak mau, meski desa diidentikkan dengan kampungan, tetapi mereka yang di perkotaan masih membutuhkan, walau hanya sekadar refreshing dan penyegaran. Mereka tidak perlu punya dan paham soal sejarah kampung, asal punya uang banyak, mereka bisa membeli tanah dan dijadikan alasan pergi ke kampung. Istilahnya pura-pura balik kampung.

Boleh saja alasan semacam itu, justru baik. Yang tidak baik adalah mereka membeli tanah di desa sebanyak-banyaknya. Setelah itu dibangun industri, perumahan, dan sebagainya yang merugikan penduduk sekitar. Penduduk tidak hanya terganggu dari segi sosial, melainkan perputaran roda pertaniannya. Akibatnya mereka takut hasil taninya tidak berhasil, tanah jadi tidak subur, limbah merusak tanaman, dan gangguan lainnya.

Beberapa hari kemarin, pemerintah gembor-gembor panen raya. Para menteri datang ke desa untuk melihat proses panen padi itu seperti apa. Dengan wibawanya, mereka juga ikut turun panen di sawah. Bagaimana tidak lucu, setelah panen raya, muncul isu impor beras. Ini dikemanakan lagi nasib para petani. Ke mana hasil panen raya tadi. Sungguh pikiran tidak logis dilimpahkan ke masyarakat.

Lucunya lagi, di media sosial ada meme, bunyinya Presiden Jokowi bertanya tentang gabah ke petani. Saya rasa itu hanya dibuat-buat saja. Sebagai orang Solo, tidak mungkin Pak Jokowi tidak tahu apa itu Gabah. Bagi yang tidak tahu, Gabah itu hasil panen padi yang belum jadi beras. Lalu Presiden Jokowi bertanya lagi, kemana berasnya? Kemudian dalam meme itu dijelaskan, berasnya impor. 

Saya rasa orang yang paling tidak pernah diberi rasa adil adalah petani. Perlahan-lahan, hidupnya dihimpit penderitaan terus-menerus. Satu masalah belum selesai, masalah satu lagi muncul. Kelangkaan pupuk belum usai, muncul harga gabah yang menyengsarakan. 

Saya waktu di sekolah dasar dulu, acap kali pelajaran sejarah, saya disuguhkan bahwa Indonesia mempunyai identitas mutlak sebagai negara agraria. Lahan pertaniannya melimpah dan hasil panennya berlipat ganda. Apakah saat ini masih diajarkan? Meski diajarkan, apakah siswa masih percaya diri dengan titel negaranya?

Isu impor sama halnya pelan-pelan mengkerdilkan petani. Di samping mengkerdilkan, petani juga dibunuh pelan-pelan. Padahal, setiap hari kita makan apa, kalau tidak nasi, nasi berasal dari mana kalau tidak petani. Nasibnya sungguh ironis jika selama ini petani dianggap sebagai penyanggah hidup manusia.

Kebergantungan manusia Indonesia terhadap beras sangat kuat, terutama orang Jawa. Jika tidak makan nasi, perutnya belum teriak makan. Pagi, siang, sore makan nasi. Pagi sarapan roti, setelah beberapa jam kemudian makan lagi nasi. Itu kultur yang lumrah, karena sedari kecil dari nenek moyang kita sudah terbiasa hidup seperti itu. Sampai di Jawa dikenal sebutan Dewi Sri, Dewinya para petani. 

Fatwanya Marx kan sudah jelas, hakikat manusia adalah bekerja, karya terbaik manusia adalah hasil produksinya. Hasrat bekerja manusia sangat melekat dalam sanubari mereka. Marx tanpa bilang seperti itu, manusia sudah bekerja memenuhi kebutuhannya. Dalam karya alienasinya, Marx menegaskan, pekerja jangan sampai terasing dari pekerjaannya. Itu nanti pengaruhnya bisa fatal. Sebab tidak hanya di pekerjanya sendiri, di kualitas barang produksinya juga sangat berpengaruh.

Kualitas produksi pekerja dipengaruhi oleh hasrat pekerja itu dalam bekerja. Hasrat bisa disamakan dengan motivasi bekerja. Bayangkan, apabila tiap hati petani didiskriminasi, apa mereka tidak menjerit. Apa mereka bisa bekerja sesuai dengan hasratnya? Jika tidak sesuai dengan hasrat, bagaimana kondisi kualitas beras yang tiap hari kita makan. 

Keadaannya memang sedikit agak rancu. Kita tidak tahu yang sebenar-benarnya fungsi pupuk, menyuburkan atau malah merugikan. Di sisi lain industri sedang berkembang dan pembangunan infrastruktur digalakkan di mana-mana, maka mau tidak mau harus ada yang dikorbankan, yaitu lahan milik petani. Mereka tahu cara tepat membuat petani ikhlas melepaskan dunianya, yakni dengan cara dilemahkan tanahnya, dimurahkan hasil taninya, dan dipersulit pupuknya. 

Selalu ada cara untuk membuat manusia Indonesia mengalami keterasingan dari profesinya. Tidak hanya terjadi di petani, di semua sektor, baik pekerja pabrik, guru, tukang becak, tukang ojek, dan profesi lainnya. Mereka dinina bobokkan, dimanjakan, dan ditindas pelan-pelan. Hegemoninya samar-samar, selangkah dua langkah tapi mematikan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...