Langsung ke konten utama

Kiprah Haromain Bookstore, dari Gresik sampai ke Aceh

Dari banyaknya masyarakat Gresik dan pengusaha di Gresik, mungkin hanya sebagian dari mereka berprofesi menjual buku. Kita tidak bisa memungkiri juga, atmosfer literasi suatu daerah sangat memengaruhi profesi tersebut. Hanya mereka yang benar-benar tekun mencintai buku, yang mampu berpikir mengembangkan kecintaannya ke dalam dunia bisnis.

Iklim tersebut berbeda di kota-kota lain, misal saja di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, atau yang lainnya. Bahkan bukan satu atau dua orang menyebut Jogja sebagai kebunnya para ilmuwan, seniman, penulis, dan budayawan. Dari situ Jogja selalu dikarakterkan sebagai kota pelajar sekaligus juga literasi. Berbeda dengan Gresik, orang yang menggeluti dunia buku sampai dijadikan usaha jumlahnya sangat sedikit. Lebih banyak dihuni para pekerja.  

Entah sedikit itu pada dasarnya ada tapi media dan masyarakat tidak tahu apa memang benar-benar tidak ada. Kita sekarang coba jangan terlalu membatasai literasi adalah dunianya anak intelektual dan akademisi, karena bila pikiran kita terus berpacu pada itu-itu saja, kita akan sangat sulit melakukan pendekatan pada literasi.

jumlah perguruan tinggi di Gresik tidak lah sedikit, begitupun juga dengan pondok pesantrennya. Justru perbandingan di antara keduanya tidak seimbang. Di sisi lain sebagai kota industri, Gresik juga dikenal sebagai kota santri. Setiap jengkal langkah kaki kita melangkah selalu menemukan yang namanya pondok pesantren. Itu tersebar di mana-mana. Tidak terkecuali, baik pondok besar maupun pondok-pondok kecil di desa-desa yang biasanya diasuh Kiai-kiai kampung. Meskipun tidak berasrama, tetapi setiap harinya mereka membutuhkan kitab untuk bahan mengaji.

Jadi, dunia perbukuan tidak selalu didentikkan pada dunia kampus, di pondok pesantren juga sebenarnya sangat lebih dekat dengan dunia itu, karena para santri yang bermukim di sana mau tidak mau dan coba menghindar ke mana pun, pasti mereka juga menggeluti dunia perkitaban.

Masalah sedemikian rupa itu lah yang menjadi bahan diskusi kami dengan salah satu penjual buku di Gresik bernama Ali Sodikin. Saat itu kami berdiskusi di teras rumah, di sampingnya tersusun berbagai macam buku dan kitab di rak bukunya. Jika kita melihatnya sebagai pecinta buku pasti sangat menarik sekali. Seperti perpusatakaan pribadi, namun Ali mengatakan itu masih belum masuk dikategorikan perpustakaan, karena ia ke depan berharap bisa mendirikan perpustakaan yang dikonsep seperti taman baca.

Banyak sekali yang diceritakan Ali kepada Gresik Pos. Salah satunya adalah pengambilan nama pribadinya sendiri. Bagi orang Jakarta, nama Ali sadikin tentu tidak asing. Nama mantan Gubernur DKI Jakarta ini menyimpan banyak memori di masyarakatnya. Karena selain menjadi Gubernur, Ali ini juga merupakan sosok pemimpin yang tegas dan pemberani, sebab di samping kebijakannya selalu kontroversi, tapi jasanya dalam membangun Jakarta menjadi kota metropolitan tidak bisa lepas dari tangannya.

Berhubung jarak antara Brebes dan Jakarta tidak jauh-jauh amat, maka kata Ali, ia diberi nama Ali Sadikin oleh orang tuanya karena termotivasi dari Gubernur Jakarta itu. Secara kepemimpinan, mungkin Ali masih belum mencapai ke sana, tetapi dari segi kontroversinya dalam menjual kitab dan buku, ia mengilhaminya.

Bagaimana tidak, Haromain Bookstore yang ia kelola saat ini pemasarannya sudah melalang buana ke mana-mana, bahkan sudah mencapai luar pulau, ke Aceh pun juga ia pernah berkirim kitab ke sana. Berketepatan pernah menjadi santri di PP Mambaus Solihin, ia memulai debut kariernya di sana. Waktu itu ia berinisiatif ingin membangun koperasi kitab di pondoknya, tetapi saat sowan ke pengasuh, ia diizinkan namun modalnya disuruh mencari sendiri.

“Waktu itu saya pernah berinisiatif ingin mendirikan koperasi kitab di pondok. Saat sowan dan minta izin, saya diizinkan asal modalnya ia disuruh cari sendiri,” jelasnya.

Lantas dari situ ia tidak nyerah begitu saja dan nyata terbukti. Setelah dengan susah payah, akhirnya sekarang ada beberapa koperasi iu di dalam pondok. Bukan apa-apa, tujuan Ali waktu itu adalah supaya para santri bisa dengan mudah membeli kitab keperluan pondoknya.

Sudah menjadi ketua beberapa tahun, ia memutuskan lepas dari kepengurusan koperasi, karena waktu itu ia mau menikah dengan istrinya. Tapi pengasuh berkata lain, saat sowan ia tidak diizinkan lepas dari kepengurusan yang ia lakukan hampir beberapa tahun.

“Ketika sowan yang terakhir, akhirnya saya diizinkan. Walaupun begitu, saya masih tetap ada di dalamnya. Bahkan sekarang jadi penasihat,” paparnya.

-


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...