Langsung ke konten utama

Gus Dur: Islam Primordial dan Liberal


“Dari pemikiran dan gagasan Gus Dur yang ditawarkan selama ini, ada kesan bahwa benang merah gagasannya mengacu kepada Islam yang berdimensi substansial. Hal itu dapat dilihat dari pandangannya mengenai Alquran yang harus dipahami secara kontekstual sesuai dengan kehidupan sosio-kultural yang terus berkembang” - Abd A’la dalam Buku “Gus Dur, Pergulatan Antara tradisionalis vs Liberalis,” hal. 42.

Begitulah cara Abd A’la dalam mendeskripsikan sosok Gus Dur. Selama ini, kita mengenal Gus Dur adalah sosok pemikir cakrawala, berkacamata banyak, dan selalu mempunyai sudut pandang berbeda dengan orang pada umumnya. Maklum saja, menurut cerita banyak teman dekatnya, Gus Dur di masa muda memang gemar membaca. Semua buku berbagai genre dilahap habis.

Dari situ, kita tidak perlu merisaukan gaya berpikir Gus Dur. Sebagai seorang ulama’ berintelektual, sudah sewajarnya ia memiliki cara pandang berbeda. Jangan kaget apabila Gus Dur paham terkait munculnya fenomena dan wacana-wacana baru terkait ideologi atau paham dunia.

Setidaknya Gus Dur sudah mengantisipasi hal tersebut. Orang Indonesia terkenal dengan tipikal kagetannya. Ada satu isu, kagetnya minta ampun. Padahal isu tersebut belum jelas benar tidaknya. 

Kelemahan kita selama ini kurang melakukan analisis terhadap perkembangan isu. Kebanyakan kita hanya berpatokan pada topik masalah di isu itu sendiri, tetapi tidak pernah berpikir bagaimana, ke mana, kenapa isu bisa terjadi dan akan ada apa setelahnya.

Gus Dur bukan seperti itu, cara berpikir Gus Dur selalu intertekstual, artinya di dalam konteks, masih ada konteks lain mengikutinya. Meski ditabrakkan dengan paham-paham baru, Gus Dur tetap mempertahankan nilai intelektualitasnya dengan cara tidak mentah-mentah menerima hal baru dan langsung mengubah yang lama. 

Contoh saja pada penamaan bapak pluralisme yang diemban Gus Dur selama ini. Menurut Ubaidillah Achmad dalam bukunya “Gus Dur, Pergulatan Antara tradisionalis vs Liberalis” selain pluralisme, Gus Dur juga dikenal gigih memperjuangkan cita-cita pencerahan kaum liberal.

“Dia masih tetap gigih memperjuangkan ajaran Islam tradisional, walaupun di sisi lain juga gigih memperjuangkan cita-cita pencerahan kaum liberal,” menurut Ubaidillah, hal. 40.

Liberal jangan melulu dikaitkan dengan paham negatif yang semaunya sendiri. Secara pemikiran, kalau kita melihat perkembangan intelektualitas Gus Dur, sikap dan beberapa kebijakannya secara tidak langsung melegitimasi dirinya bahwa pemikirannya cenderung bebas, namun tidak menabrak hukum pembatas yang telah diputuskan bersama-sama, apalagi sudah sejak lama. Contohnya undang-undang.

Ada banyak sikap kontroversi Gus Dur, di antaranya Gus Dur pernah bilang Alquran itu porno, lalu Gus Dur diangkat menjadi anggota kehormatan Yayasan Presiden Israel Shimon Peres, meresmikan agama Kong Hu Cu, menyatakan permohonan maafnya kepada korban peristiwa 1965, dan banyak kebijakan lainnya.

Tradisionalisme dan NU tidak mungkin bisa dipisahkan. Begitu juga Gus Dur, ia masih memegang teguh tradisionalisme yang selama ini dirawat kaum Nahdiyin. Namun ketika Gus Dur mendukung model pencerahan kaum liberal, kata Ubaidillah, justru di situ letak proses dinamisasi kaum primordial yang selama ini dikait-kaitkan dengan Nahdiyin.

“Dalam perjuangannya ini, dia masih tetap menjadikan nilai-nilai tradisionalnya sebagai ruh gerakannya,” imbuh Ubaidillah.

Bentuk internalisasi dari tradisionalisme Gus Dur terletak dalam perjuangannya membentuk civil society. Itu bukan pekerjaan mudah. Gus Dur sering kali bertabrakan dengan orang-orang di lingkarannya sendiri. 

Sebenarnya perjuangan Gus Dur adalah perjuangan mendewasakan pikiran masyarakat Indonesia. Sedangkan untuk menuju ke sana butuh keberanian menembus banyak batas dinding yang sudah terbangun lama.

Butuh pikiran berkembang dan dinamis, tidak boleh statis. Sama halnya dengan penerapan terminologi kontekstual. Tidak ada suatu hal bisa berhenti stagnan begitu saja. Bilamana ada satu cara pandang baru masuk, kita jangan terlalu cepat menolak. Kalau bisa hal tersebut dipelajari dan selanjutnya disesuaikan dengan perkembangan sosio-kultural saat itu.

-

Islam Bukan Hanya Sebagai Doktriner

Untuk mewujudkan civil society, mau tidak mau Gus Dur menggunakan pikiran bebasnya, sebab Ubaidillah menjelaskan, civil society merupakan produk liberalisme yang dijadikan sarana kekuatan untuk mewujudkan masyarakat madani yang selesai soal pendewasaan.

“Posisi Abdurrahman Wahid sebagai ketua Pokja Forum Demokrasi menjadi simbol kemampuan NU memberi kesempatan kepada warganya untuk berkiprah memperjuangkan demokratisasi. Demikian juga kebebasan menyalurkan aspirasi politik bagi kaum Nahdiyin lewat sarana OPP bisa dilihat pula sumbangan nyata bagi tumbuhnya civil society. Dia merupakan pengejawantahan dari pemahaman yang benar terhadap konsep warganegara (citizen) yang sebenarnya,” menurut Muhammad A.S. Hikam.

Konsep kontekstualitas Gus Dur tercermin di setiap tindakan Gus Dur. Pikirannya yang selalu terbuka terhadap wacana baru membuat sebagian orang tidak sepaham dengan beberapa sikapnya. 

Pribumisasi Islam yang sempat ramai beberapa waktu lalu hingga saat ini belum ditemukan titik terangnya. Perdebatan masih berlanjut antara kesalahpahaman memaknai pribumisasi dan ketidaksiapan kita menerima hal baru.

Analoginya, Gus Dur merupakan sosok figur pendewasaan berpikir bagi umat Islam. Namun sayangnya, kita sebagai muslim kurang bisa menerima hal tersebut lantaran terlalu menyubstansikan Islam sebagai nilai kaku. 

Padahal, jika Islam sedikit dibiaskan, kita akan menemukan pintu kesemestaan Islam dari nilai-nilai yang mampu masuk di segala ruang perkembangan wacana zaman.

Jika kita bisa memahami jalan berpikir itu, kita tidak perlu risau terhadap apa pun isu soal pembangunan dan perkembangan, karena terbukti di figur Gus Dur yang senantiasa tanggap dan responsif terhadap segala teori pemikiran kontemporer. Dan hebatnya lagi ia mampu menyesuaikan dengan dinamika perkembangan masyarakat. Yang itu dituangkan dalam responsnya terhadap wacana liberalisme.

Gus Dur mengenalkan universalitas Alquran dengan tidak menggunakan teks mati atau sering disebut doktrinasi. Sebab Gus Dur memandang sesuatu hal dengan historis. Itu menyebabkan Islam berkembang secara pemahaman intelektualnya. 

Jika cara doktrinasi terus digunakan, maka kekakuan Islam akan terus berlanjut. Orang yang dikenai doktrin tidak bisa berpikir luas. Pikirannya dibatasi pengetahuan surga neraka yang monoton. Dan kerugian lain yaitu fanatisme buta membuat daya eksplorasi umat Islam menurun.

-


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...