Kondisi psikis seseorang di kala Pandemi sungguh sulit ditebak. Kadar emosionalnya tidak bisa diterka-terka. Kadang naik, kadang turun. Bergantung konteks yang mereka hadapi. Maklum saja, konteks masalahnya sangat beragam.
Dari pusingnya soal ekonomi, ribetnya urusan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berjilid-jilid, sampai di titik keegoisan para pejabat yang berlomba-lomba memasang baliho di tengah derasnya problem kesejahteraan masyarakat kecil.
Dari pusingnya soal ekonomi, ribetnya urusan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berjilid-jilid, sampai di titik keegoisan para pejabat yang berlomba-lomba memasang baliho di tengah derasnya problem kesejahteraan masyarakat kecil.
Dari sekian banyak kebingungan itu, salah satu yang perlu diulas adalah lucunya sikap para pejabat elite politik kita. Mereka tidak sadar dengan masalah di arus bawah yang kian hari semakin bertambah dan meningkat kadarnya.
Jalan menuju ke baliho sebaiknya jangan ditempuh dulu, mengingat 2021 ke 2024 masih jauh. Mesti harus dilewati dengan banyak masalah di kemudian hari. Masih melimpah ruah bagi mereka momentum untuk branding diri secara berkelanjutan.
Sebar baliho dan sejenisnya itu materi branding bab pembuka. Itu lumrah dilakukan siapapun untuk mencari nama. Siapa yang tidak bisa kalau hanya sebar baliho. Anak kecil ingusan, iseng-iseng pasang wajahnya sendiri di pinggir jalan, sambil dibumbui kata motivasi pun sudah beres. Tapi pemaknaan masyarakat semestinya harus intertekstual. Jangan gampang bangga dengan kata-kata. Bahasa itu hanya bunyi, sewaktu-waktu bisa hilang.
Inovasi branding lewat jalan pintas sebenarnya bisa ditempuh. Caranya mereka harus punya inisiatif membantu masyarakat kecil agar kadar masalahnya bisa menurun. Minimum membuat mereka tersenyum. Bukan malah semakin dibuat kecewa, lebih-lebih ada indikasi sampai melukai hati.
Meski menggunakan metode branding yang berbeda-beda. Itu tidak jadi soal, asal hasil akhir yang menjadi harapan masyarakat bisa terpenuhi. Paling tidak, di esok hari mereka tidak kebingungan mencari makan untuk keluarganya.
Saya rasa uang yang mereka gunakan untuk membantu masyarakat itu ibaratnya hanya uang jajan saja. Tidak akan habis kalau niatnya membantu. Tidak ada ceritanya pula, orang mengalami kemiskinan setelah membantu orang lain yang kategorinya benar-benar membutuhkan.
Kata guru saya dulu waktu mengaji, kalau bantuan itu tepat pada sasaran, bantuan tersebut pasti akan menjadi berkah. Tapi selama ini, janjinya hanya berupa tulisan dan bahasa saja. Padahal, tulisan belum mampu meyakinkan seseorang. Kecuali ada bukti nyata.
Lain cerita, bila masyarakat tahu langsung bagaimana karakter keseharian mereka. Lebih-lebih bantuan itu bisa diberikan tanpa embel-embel identitas. Jadinya akan bisa lebih memunculkan aura personalitas yang mereka miliki.
Memang ada udang di balik batu, tapi udangnya disamarkan dulu di dalam batu. Identitas itu yang perlu disamarkan, tidak usah ditunjukkan secara berlebihan. Nanti masyarakat akan mudah memberi penilaian sendiri baik buruknya para pejabat.
Kalau dilihat siklusnya, munculnya cuitan-cuitan masyarakat, terutama saat Pandemi ini paling banyak ketika turun kebijakan baru dari Pemerintah yang berimbas pada pembatasan gerak perekonomian mereka.
Ini yang salah siapa? Okelah saya agak setuju kalau ada narasi perlu adaptasi ketika turun kebijakan baru. Namun perlu diingat, adaptasi seperti apapun kalau hanya menambah masalah, lalu buat apa? Apakah selamanya masyarakat dituntut menyesuaikan diri terhadap kesengsaraan tanpa ada solusi penyelesaian?
Masyarakat kita sudah kepalang tangguh kalau urusan ketahanan hidup. Tanpa kebijakan, masyarakat selalu fight dengan sendirinya. Tapi bagaimanapun, jagoan punya titik kelemahan. Ia akan kalah jika selalu ditekan psikisnya.
Terkadang saya juga heran. Sudah tau ada masalah yang belum usai, para pejabat itu seolah-olah kurang mengerti etika. Wajah mereka tergambar di balik keringat para pejuang kesehatan yang tiada henti untuk menyelamatkan negaranya.
Belum lagi para masyarakat kecil yang tiada henti meneteskan keringat dan air mata hanya sekadar berusaha memperoleh sesuap nasi untuk makan esok hari.
Sangat tragis bukan kondisi seperti itu. Masyarakat bisa langsung menilai, mana yang baik dan mana
yang buruk. Mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai. Bahkan di laman media sosial dipenuhi jutaan kritik tiada henti. Di tembok-tembok jalanan, para seniman tak berhenti meluapkan kritiknya.
Tapi sayang, itu tidak berlangsung lama. Gambaran mereka langsung dihapus oleh para aparat. Padahal itu simbol dari ketidakterimaan suatu kebijakan yang membuat masyarakat berani mengambil respon dengan caranya sendiri, carane wong cilik.
Kritik yang Sia-sia
Tetapi yang jadi pertanyaan besar adalah apakah orang-orang yang gambarnya ada di baliho itu masih bisa terjamin bahwa mereka nanti akan jadi Presiden? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab langsung begitu saja.
Seperti yang saya katakan di awal tadi. Kondisi psikis masyarakat Indonesia kelihatannya masih belum bisa menunjukkan kemandiriannya dalam menentukan pilihan. Kadang kuat secara prinsip, kadang pula rapuh saat diimingi kemewahan.
Saya ambil contoh di pedesaan pada umumnya. Jadi di desa itu biasanya ada satu warung kopi yang digunakan masyarakat, khususnya bapak-bapak. Mereka membicarakan banyak topik. Dari lingkup desa sampai beranjak ke negara. Dari urusan pertanian sampai urusan tetangganya.
Ibarat kata, jika ada satu kabar yang belum masuk ke desa, kabar tersebut pasti sudah jadi perbincangan dulu di warung kopi. Setelah itu, bapak-bapak pulang, lalu bercerita ke istrinya. Istrinya bercerita lagi saat belanja atau saat arisan di kampungnya. Belum lagi ketika menjelang pemilihan pejabat, baik Pemilu, Pilkada, dan pilihan yang lain, atau bahkan seperti kasus baliho itu.
Berhubung di warung disediakan televisi, jadi pagi-pagi sebelum berangkat ke sawah, bapak-bapak itu ngopi sambil melihat berita televisi yang lagi segar-segarnya, karena masih pagi. Kalau ada berita politik yang kurang tepat menurut mereka, langsung mereka bahas di tempat itu juga.
Satu orang mengawali pembicaraan, satunya lagi menimpali. Kadang ada orang yang agak akademis, biasanya dia bertugas sebagai penengah. Apabila ia tahu permasalahannya, ia juga sering menambahkan inti solusinya.
Paling susah bila ada anggota partai politik yang kebetulan ngopi di sana. Bertepatan yang dibahas adalah politik, mau tidak mau ia harus terjun ikut nimbrung dalam pembicaraan. Sedikit-sedikit menambahi, mengurangi, bahkan menjelaskan yang terjadi sesungguhnya bagaimana.
Paling parah lagi menjelang Pilkada dan Pemilu. Masing-masing bapak sudah menentukan keberpihakannya di calon mana. Tak jarang, mereka juga sering melakukan kampanye ke bapak-bapak lain di warung tersebut.
Satu lokasi dengan pendukung calon lain. Bagaimana tidak ricuh. Tatapan sinis itu pasti. Adu argumen mutlak terjadi. Di antara mereka saling membanggakan calonnya masing-masing. Tapi untungnya tidak sampai cekcok yang melibatkan fisik.
Walaupun keburukan pejabat publik sekarang dibahas di mana-mana. Di warung kopi sampai di sudut-sudut gang kecil perkampungan. Itu tidak bisa jadi jaminan bahwa nanti ia tidak akan jadi Presiden. Biarlah muncul tagline, pejabat tidak punya nurani, etika, kesopanan, kepedulian, dan lain sebagainya.
Itu tidak akan diperhitungkan, karena menjelang Pemilu 2024 nanti, wajah mereka akan tetap megah terpasang di mana-mana. Kampanye-kampanye mereka tetap akan diikuti banyak orang. Janji-janji mereka senantiasa akan ditunggu. Dan gambar-gambar mereka juga akan tetap dicoblos di surat suara.
Itulah kondisi sesungguhnya. Masyarakat Indonesia terlalu kuat jika hanya sekadar terzalimi. Berkali-kali dibohongi, tetapi saat waktunya tiba, mereka seakan-akan lupa atas kebohongan itu. Bak seperti meremehkan, apa tidak ada kejahatan lain yang lebih menyakitkan selain dikhianati dan dibohongi?
Padahal, kekuatan negara ada pada masyarakatnya. Terutama masyarakat akar rumput. Mereka kebanyakan ada di kampung-kampung dan di jalan-jalan. Setiap hari tidur beratap langit dan tidak ada yang menjamin hidupnya. Mereka tidak berpikir siapa pemimpinnya di sana. Itu bukan prioritas utamanya. Sebab tidak ada yang lebih penting kecuali kesejahteraan diri dan keluarganya.
-
Lamongan, 4 September 2021
Komentar
Posting Komentar