Langsung ke konten utama

Afghanistan: Warna dan Lembaran Hidup yang Hilang


Meski temaram masih dapat terlihat lembar-lembar sejarah yang penuh warna - Pada minggu 15 agustus 2021, jurang hitam di bawah kediktatoran berlabel agama yang kembali berkuasa di Afghanistan setelah 20 tahun yang lalu berhasil ditaklukkan. Pasukan militan Taliban berhasil menjatuhkan ibu kota Kabul dan membuat presiden dan para pejabat negara kocar-kacir kebingungan berusaha meninggalkan Afghanistan.

Alih-alih mempertahankan keutuhan negara, presiden Afghanistan Ashraf Ghani justru meninggalkan Afghanistan lebih dulu dan menyerahkan kekuasaannya kepada pasukan Taliban dengan dalih tidak ingin terjadi pertumpahan darah. 

Kalut dan mencekam adalah wajah Afghanistan setelah Taliban berkuasa. Bayang-bayang lubang hitam dan ektrimis yang dapat tumbuh subur dengan gaya kepemimpinannya yang kaku, dan penuh kekerasan seperti yang diterapkannya pada tahun 90-an. Pribumi menjadi tawanan, penerapan hukum islam dalam tingkatan yang paling keras, eksekusi publik, hukum rajam, dan hukum cambuk menjadi hal yang biasa.

Pendidikan dan lapangan pekerjaan hanya milik kaum lelaki, bahkan keluar rumah wanita harus mendapatkan izin dari laki-laki mereka terlebih dahulu, dan tentu wajib mengenakan burqa (kain penutup dari ujung kepala termasuk seluruh wajah hingga kaki).

Terlepas dari kemelut yang terjadi. Meski temaram masih dapat terlihat lembar-lembar sejarah yang penuh warna, kemajuan kesusastraan, pembangunan, dan trend fashion.

Cerah, riuh, dan penuh warna, keadaan itulah yang tergambar pada lembar-lembar halaman majalah Zhvandun yang menguak aspirasi kaum elit Afghanistan selama puluhan tahun untuk perubahan politik dan sosial

Majalah Zhvandun jika diibaratkan ia adalah kehidupan yang menjaga fikiran dan aspirasi para penulis dan pembaca agar tidak mati ditengah tekanan. Di dalamnya banyak memuat peristiwa dunia, sejarah, sosial, mode, dan kesusastraan seperti puisi dan cerpen.

Lembar-lembar kesusastraan masih terasa kental, banyak karya-karya puisi, syair, dan hikayat yang menggambarkan keadaan hati yang rapuh, tentang cita-cita dan impian para penulis dan pembaca. Cerminan dari pergolakan politik dan perebutan kekuasaan selama lebih dari lima dasawarsa, semua juga terangkum di dalam lembar-lembar majalah Zhvandun.

Para penulis dan pembacanya sebagian besar adalah warga yang tinggal di kota Kabul. Dapat dikatakan pada masa itu, Afghanistan adalah peradaban yang maju. Banyak orang-orangnya yang progresif dan dinamis. Sehingga banyak melahirkan para sastrawan, penyair, politikus, dan menciptakan mode dibidang fashion.

Mode fashion kala itupun tidak kaku, belum ada perintah wajib mengenakan burqah bagi wanita, dan larangan mencukur jenggot bagi lelaki. Bahkan mode hijab kala itu sudah variatif, dengan paduan gaya berpakaian yang mengadaptasi trend fashion barat namun disesuaikan dengan budaya dan syariat islam. Ditambah bawaan kulit yang bersih, dan ukuran badan yang tinggi, Afghanistan kala itu, adalah gambaran negara islam modern dengan mode fashion kelas dunia.

Maskapai Ariana Airlines yang dibangun pada tahun 1955, menjadi awal baru dalam pembangunan di Afghanistan yang menghubungkan Afghanistan dengan separuh dunia.

Rute yang paling terkenal adalah dari Kabul ke Frankfurt melalui Teheran, Damaskus, Beirut, dan Ankara. Rute ini terkenal dengan nama Marcopolo, yang diambil dari nama penjelajah Italia pada Abad ke-13.

Secara internal, geografis di Afghanistan didominasi banyak pegunungan dan gurun yang memisahkan antara satu kota dengan yang lain. Dengan adanya penerbangan regular ini seluruh kota menjadi terhubung dan memudahkan akses antar kota di Afghanistan.

Secara garis besar Afghanistan kala itu adalah representasi negara islam moderat yang modern, di mana warganya adalah orang-orang yang setiap harinya menghabiskan waktu dan kesempatan untuk memikirkan film apa yang akan ditonton di bioskop atau pakaian mana yang akan dikenakan.

Ditambah pemikiran dinamis yang tak pernah kehabisan ide menuangkan aspirasi dalam suatu karya. Selain majalah Zhvandun, ada juga majalah lain seperti majalah Kabul, majalah Adab (budaya) yang merupakan terbitan Universitas Kabul, dan juga majalah Kamkayano Anis (Sahabat Anak) dengan lembaran yang penuh warna untuk anak-anak dengan beragam dongeng dan teka-teki.

Perubahan mulai terjadi pada tahun 1973, yang ditandai dengan digulingkannya kekuasaan Raja Zahir oleh sepupunya sendiri Mohammed Daoud Khan. Setelah kejadian itu banyak terjadi pergolakan politik dan sosial, pro dan kontra mengenai kebijakan-kebijakan para pejabat negara, kegagalan sistem pemerintahan, dan korupsi yang sudah menjadi jalan para pejabat untuk mengenyangkan perut mereka.

Dengan jalan yang terseok-seok dan terbatas para penulis dan penggiat sastra terus merefleksikan mimpi-mimpi dan harapan yang berbeda. Hingga kejatuhan Soviet membuat majalah Zhvandun, Kabul, Adab, dan majalah-majalah lainnya berhenti terbit pada tahun 1990-an.

Situasi berubah menjadi tak karuan dan banyak penulis, penerbit, pembaca dan penggiat sastra yang meninggalkan negeri nan indah itu. Kemunculan kelompok Taliban membuat majalah-majalah itu itu dipastikan tidak akan pernah kembali dan rekaman-rekaman sosial berharga itupun lenyap.

Tidak banyak lembaran-lembaran itu yang terselamatkan. Lembaran tentang negara islam modern dengan segala cita-cita dan keinginannya menjadi negara yang makmur, adil, dan sejahtera kala itu.

-


Imam Jalaluddin Assuyuthi - Mahasiswa Sastra Arab Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...