Langsung ke konten utama

Jalan Ninja Baru bagi Basuki


Saat pertama kali Basuki jadi guru Bahasa Indonesia, ia masih heran dengan dirinya sendiri, karena tiap kali menatap cermin, batinnya selalu bilang : "Apakah saya pantas menjadi guru?". Pertanyaan itu berulang kali ditanyakan pada dirinya sendiri. Mirip pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab, lantaran pertanyaannya itu mengandung makna penegasan. 

Seolah-olah penegasan tersebut ditujukan untuk menegaskan dirinya sendiri kalau ia harus benar-benar yakin dengan profesi keguruannya. Ketakutan semacam itu sering juga dialami banyak orang. Bukan hanya Basuki. Apalagi semenjak ia mengambil jeda selama setahun untuk bekerja di bidang lain, kemudian kembali lagi ke dunia asalnya menjadi seorang guru. Pasti rasa deg-degan itu muncul begitu saja.

Sama halnya ketika ia menjalani praktik mengajar di Probolinggo waktu itu. Sepintas ia merasa wajahnya masih muda dibanding para siswanya. Sehingga ia memutuskan membuat pilihan untuk membiarkan kumisnya tumbuh. Keputusan itu dipilih karena ia menganggap kumis bisa membuat wajahnya agak sedikit dewasa.

Kembalinya Basuki ke dunia guru ini memiliki nilai positif di lingkungan pertemanannya. Teman-temannya banyak yang bersyukur Basuki bisa jadi guru. Mereka mengatakan, Basuki sudah kembali ke habitat asalnya, menjadi seorang pendidik.

Selama kuliah, Basuki tercatat sebagai mahasiswa yang normal-normal saja. Kadang mengerti, kadang juga kurang mengerti. Kadang bingung, kadang juga mudeng. Sama seperti mahasiswa pada umumnya. Mengambil jurusan pendidikan tidak semata-mata ia hanya ingin berkuliah. Melainkan ada misi besar di balik itu, yakni melihat ibunya bahagia. 

Entah mengapa, Basuki melihat kebahagiaan di mata ibunya ketika mereka ngobrol topik seputar guru. Itu yang membuat Basuki termotivasi. Kapan lagi bisa melihat kebahagian ibunya yang terpancar di bola-bola matanya. Basuki sadar, semua restu mutlak ada di tangan orang tua, terutama ibu. Kebahagiaan ibu adalah doa manjur yang tidak ada tandingannya.

Saat ini, ia juga tidak bisa memungkiri, kesejahteraan guru masih simpang siur di tengah fenomena budaya konsumtif masyarakat dan mahalnya barang kebutuhan pokok. Banyak teman-teman Basuki yang pesimis sehingga ia benar-benar tidak mau terjun di dalam dunia pendidikan. 

Ada yang memutuskan bekerja di pabrik. Ada juga yang memilih sebagai trainer di perusahaan. Sampai memutuskan mengambil jalan menjadi pengusaha. Bahkan saking idealismenya tidak mau jadi guru, ada juga yang sampai menunggu berlama-lama hanya ingin dipanggil dan diterima jadi karyawan di perusahaan.

Semasa kuliah, diam-diam Basuki mengamati semua mata kuliah yang ia pelajari. Pengamatan itu bukan pengamatan yang bersifat teknis. Tetapi pengamatan umum yang sifatnya lebih ke keseluruhan. Hasil dari pengamatan itu, ia menyimpulkan bahwa peran dan tanggungjawab seorang guru tidaklah sesimpel itu. 

Guru bukan hanya mengajar. Setelah mengajar, ada tugas lain berupa kewajiban mengurus administrasi. Dan itu tidak hanya satu dua, tapi perinciannya sangat banyak. Belum lagi dalam proses pembelajarannya. Guru juga berpikir bagaimana pembelajarannya bisa menarik siswa. Sekaligus juga bagaimana pengetahuan dari guru itu bisa ditransfer dan dipahami dengan mudah oleh siswa. 

Semenjak Basuki diterima jadi Guru. Ia sangat bingung dan keteteran menyiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan. Terutama soal penampilan. Sebelumnya, Basuki sama sekali tidak terpikirkan menjadi guru. Memakai celana kain, baju batik, sepatu pantofel, peci, dan lain sebagainya. 

Di lemarinya hanya tersedia celana Levis dan baju-baju biasa. Mau tidak mau ia berkeliling mencari beberapa perlengkapan itu. Belum lagi celana kain yang ia beli di pasar, ukurannya terlalu besar. Jadi harus dikecilkan dulu. Lalu baju batik di rumahnya juga semua dibawa, meski di tempat ia mengajar semua batik itu tidak terpakai. Hanya satu batik saja yang dipakai, yaitu batik lengan panjang.

Banyak dari teman-teman Basuki meragukan kualitas mengajarnya. Ia paham kenapa mereka meragukan itu. Faktor utamanya karena ia sudah sangat lama sejak lulus kuliah tidak pernah bekerja sebagai guru. Takutnya dengan jarak yang agak lama itu, kemampuan mengajarnya menghilang. Padahal, Basuki tidak pernah ambil pusing soal itu. Ia melatih dirinya dengan berbagai cara. Utamanya mengambil peran bicara di momen apapun. Dari situ, skill mengajarnya dikit-dikit bisa bertahan. 

Mulai dari kegiatan organisasi, mengikuti perkembangan dunia pendidikan, sambil melihat video-video yang masih membahas seputar pembelajaran. Seenggaknya, ketika ada wacana apapun tentang pendidikan, ia bisa menangkap dan bisa menyesuaikan. 

Harap mengerti, penampilan Basuki sejak kuliah jarang sekali terlihat formal. Mungkin kalau ada acara tertentu saja ia berpenampilan formal. Pakai baju, celana kain, dan bersepatu. Meski jurusan yang ia ambil pendidikan, tapi sangat jarang sekali ia terlihat formal. Hal itu juga didukung dengan kesibukannya sebelum jadi guru, yaitu jurnalis. Pekerjaan yang kesehariannya dilakukan di lapangan. Tanpa embel-embel celana kain dan pantofel.

Bukannya ia menolak keformalan. Ia pun memahami jika formalitas seseorang dalam penampilan dapat memengaruhi pandangan orang terhadapnya. Namun kadang ia sering berpendapat, bila sesuatu hal yang terlalu diformalkan, efeknya akan kaku dan banyak batasan. Sehingga tidak lues dan fleksibel.

Tapi dengan tuntutan profesi itu, dengan legowo Basuki menerimanya. Itung-itung ada pengalaman baru mengenai cara ia berpenampilan. Ia pun menyadari bahwa dengan menjadi seorang guru, ia lebih memiliki kedisiplinan dalam kehidupan sehari-harinya. Terutama soal jadwal tidur malam dan bangun tidur yang diharuskan teratur.



-


Minggu, 5 September 2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...