Langsung ke konten utama

Belajar Realitas Hidup di Sekolahan


Semenjak jadi guru baru itu, mau tidak mau Basuki harus belajar kembali materi-materi yang dibuat bahan ajar ke para siswanya. Dari satu teks ke teks lainnya. Per teks diteliti lebih dalam lagi bagaimana maksud dan apa poin-poin yang perlu disampaikan. Ia juga tak lupa mencari-cari referensi model pembelajaran terkini.

Maklum saja, satu tahun pasca lulus, ia sama sekali belum pernah berkerja jadi seorang guru. Pernah sekali, itu pun hanya magang di Probolinggo. Meskipun magang, Basuki merasa magangnya tidak seperti pada umumnya. 

Kebetulan waktu itu kelompok Basuki berjumlah lima orang. Cocok sama jumlah guru bahasa Indonesia di sana. Sehingga per anak mendapat jatah jam fullnya per guru. 

Biasanya anak magang hanya diberi sebagian waktu saja, tetapi untuk hal ini berbeda. Semua waktu pelajaran dialihkan ke anak magang. Meski magang, Basuki dan beberapa temannya tidak seperti magang, tapi sudah sama seperti guru. 

Ia hanya diberi waktu kosong saat pembukaan PPL saja. Keesokan harinya ia langsung masuk kelas dan mengajar. Guru pamong hanya mengantar, sekaligus mengenalkan. Setelah itu keluar. 

Belum lagi ditambah dengan segala urusan administrasi guru. Dari bahan materi, analisis KKM, daftar nilai, daftar hadir, sampai RPP yang saat itu masih berlembar-lembar. 

Punya Basuki saja RPP nya sebanyak 50 lembar. Lengkap dengan soal dan instrumen penilaiannya. Sedangkan untuk print di sana cukup mahal. Jadi untuk print, ia harus ke Surabaya dulu sambil bertemu teman-temannya.

Bentuk perlakuan semacam itu sebenarnya menyalahi aturan yang termaktub di buku panduan PLP. Seharusnya mahasiswa magang tidak diperkenankan mengajar dengan jam pelajaran sebanyak itu. 

Ibarat mahasiswa kedokteran yang sedang magang. Bagaimana jadinya kalau ia harus disuruh menyuntik pasien berkali-kali. Pasti akibatnya sangat fatal. 

Basuki tahu, meski objeknya berbeda, tapi setidaknya itu bisa dijadikan bandingan kalau mereka hanya magang, bukan bekerja dan terjun secara profesional.

Cuma itu bekal Basuki menjadi guru. Adapun bekal yang lain ia peroleh dari kesibukannya di organisasi. Di sana Basuki secara tidak langsung mengasah dirinya. Di setiap momen apapun, ia selalu mengambil peran. Salah satunya momen ketika harus berbicara di depan orang banyak. 

Mungkin banyak yang bertanya apa hubungannya? Yang dilakukan Basuki hanyalah memanfaatkan pikirannya supaya tidak mati. Memang kalau soal pikiran, tidak digunakan terus-menerus. Akan tetapi, ada saatnya pikiran itu perlu dipacu penggunaannya agar bisa lebih berkembang manfaatnya. 

Hal serupa juga sempat diungkapkan salah satu teman Basuki saat menjadi wartawan dulu. Temannya itu kurang suka jika ada teman dan siswanya yang bekerja di pabrik. Menurut beberapa orang mungkin pernyataan itu kurang masuk diterima. Tetapi kalau tahu maksudnya, mungkin ada benarnya juga.

Ia membuat pendapat seperti itu karena ia memiliki pandangan bahwa kerja di pabrik adalah pekerjaan yang monoton. Setiap hari selalu itu-itu saja yang dilakukan.

Namun itu jika diterapkan saat pendemi seperti sekarang ini, rasa-rasanya agak susah jika harus memilih pekerjaan yang sesuai. Apa yang bisa dikerjakan, itulah yang jadi pilihan. 

Semakin banyak pilihan dan terlalu memilih, takutnya orang justru akan terjebak dalam idealismenya sendiri. Efeknya, orang itu akan sulit berkembang dan mengalami stagnan.

Sedangkan untuk menjadi guru, Basuki dituntut lebih banyak berpikir. Tentunya tentang dunia persekolahan. Bagaimana ia menyiapkan materi sebelum masuk kelas. Kemudian soal apa saja yang akan diberikan ke murid-muridnya.

Ditambah lagi soal apa saja topik-topik yang mau disampaikan di kelas nanti. Sebab, kalau sudah masuk kelas, topik yang disampaikan bukan hanya berkutat pada materi saja. Melainkan ada tambahan berupa pelajaran soal kehidupan. 

Basuki menyadari, ia bukan sepenuhnya orang baik. Tapi setidaknya dengan tambahan topik tersebut ia bisa sharing dengan para muridnya. Bukan kok menggurui, tetapi ia cuma menyelipkan beberapa pesan yang mudah-mudahan bisa jadi bekal setelah ia lulus nanti. 

Karena seperti yang dialami Basuki sendiri. Saat pesan itu disampaikan, sama sekali Basuki tidak bisa mengambil hikmahnya secara langsung. 

Ia baru bisa sadar ketika lulus dari sekolah kemudian dihadapkan dengan dinamika kehidupan yang ada. Dari situ ia berpikir kalau apa yang pernah disampaikan gurunya dulu ada benarnya. 

Karena Basuki merasa sangat nanggung jika sekolah hanya belajar seputar materi saja. Maka dari itu kenapa capaian per materi harus keluar konteks. 

Artinya menghubungkan teks dengan teks lain yang lebih mengacu pada realitas kehidupan sehari-hari siswa. Bagaimana mereka disadarkan bahwa setiap materi yang ia pelajari selalu ada keterkaitan dengan ilmu hidup.

Mungkin seperti yang diketahui bersama, mata pelajaran Bahasa Indonesia sering disepelekan para siswa. Padahal Bahasa Indonesia tidak bisa dipelajari sesimpel itu. Karena sepanjang bergulirnya waktu, ilmu kebahasaan akan selalu mengalami perkembangan.

Basuki mengambil contoh satu teks saja yang ada di materi. Misalnya teks eksplanasi. Dari teks eksplanasi, apa yang bisa diambil untuk menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. 

Teks eksplanasi merupakan teks yang menjelaskan tentang sebab akibat dari suatu peristiwa atau fenomena. Topiknya dari fenomena umum, karena tidak menyangkut tentang personal atau individu.

Kata kunci yang bisa diinternalisasi dari teks tersebut ada pada kata sebab akibatnya. Apa hebatnya dari dua kata itu? Dua kata yang menjabarkan bagaimana semua peristiwa tidak bisa langsung begitu saja terjadi. Di balik itu pasti ada sebab akibat yang melatarbelakangi kenapa bisa terjadi.

Melihat melalui fenomena umum, bisa alam atau juga sosial. Namun, kira-kira yang paling sering orang alami, di setiap waktu, dan kapan pun itu yakni fenomena sosial. 

Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh fenomena tersebutlah membuat orang harus mempunyai kepekaan tinggi untuk bersikap. Di antaranya ada isu, wacana, opini, kabar burung, dan sejenisnya. Yang mana topik-topik tersebut sama sekali tidak bisa dipercaya seratus persen kebenarannya. 

Oleh karena itu, dari teks eksplanasi, siswa diajari lebih jeli lagi mengamati situasi yang ada di sekitarnya. Karena setiap kejadian atau momen peristiwa, diperlukan sikap kedewasaan dan daya analisis yang tinggi. 

Maka, bagaimana guru bisa membawa para siswa itu untuk menggapai kedewasaan tersebut dengan alur kebijaksanaan. Dan tentunya melatih mereka agar selalu mempunyai sikap mawas diri terhadap segala penggiringan opini yang terlalu bebas. 



Selasa, 14 September 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...