| Sempat beberapa hari lalu, di sela-sela kewajiban menulis, saya sempatkan membuka laman You Tube sambil mencari beberapa referensi guna menunjang kebutuhan tulisan saya. Di saat yang bersamaan, tidak ada angin apapun tiba-tiba saya ingin melihat kembali video tentang Gus Dur. Kebetulan saya suka melihat ulasan kembali dari orang-orang terdekatnya, utamanya waktu itu anak-anak Gus Dur yang disiarkan di salah satu stasiun televisi swasta dengan mengaitkan beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini. |
Entah bagaimana alurnya, saat video berpulangnya Gus Dur diputar, putra-putri Gus Dur meneteskan air mata, disusul perasan sedih saya muncul dengan sendirinya. Bukan sok cengeng atau bagaimana. Saya merepresentasikan Gus Dur sebagai bapak bangsa pembawa nilai luhur yang tiada tanding. Jasanya begitu sangat besar. Tidak hanya soal kenangan atau sebagainya, melainkan itu sebuah bekal untuk melihat Indonesia di masa mendatang. Minimal bagi masyarakatnya menuju kedewasaan berpikir dan bersikap.
Alasan kesedihan itu ditambah lagi dengan cerita teman-teman Gus Dur yang merasa sangat kehilangan saat kepergiannya. Mereka mengaitkan dengan tragedi beberapa hari ini. Misalnya terorisme, kekerasan, diskriminasi, ketidakadilan, penindasan, dan tentu masih banyak lagi. Di samping itu mereka pula sangat berharap kehadiran sosok seperti Gus Dur di tengah-tengah masalah bangsa ini yang sedang berlangsung.
Bagaimana seandainya Gus Dur masih hidup sampai sekarang, pasti Indonesia tidak mungkin sekacau ini. Konflik perampasan hak asasi manusia di mana-mana. Isu-isu keagamaan digoreng sedemikian rupa, sehingga membuat umat Islam diskreditkan sebagai kelompok radikal. Islam dikucilkan, ditidurkan, dibohongi, disenyapkan, dan semakin digerus moral para pemudanya. Masyarakat kecil diduakan dengan kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak pernah menguntungkan bagi mereka.
Itu yang menjadi alasan bagaimana Gus Dur selalu ada di setiap orang-orang kecil ditindas dan didiskriminasi. Tindakan-tindakan beraninya ditunggu banyak orang di kala keadaan Negara tidak bisa dikondisikan dengan baik. Gus Dur hanya satu di antara sekian banyak orang pintar di Negara ini. Figur para tokoh hanya sebatas figus politik yang suatu saat bisa saja akan lenyap dengan sendirinya. Kita bisa menghitung dan mengklasifikasikan siapa saja dan ahli di bidang apa mereka.
Namun yang jadi persoalan adalah, mereka tidak sepenuhnya bisa disamakan dengan Gus Dur. Kalau segi pemikiran mungkin cukup banyak, tetapi Gus Dur hanya satu di antara sekian banyak orang itu. Satu tindakan Gus Dur tidak sebanding dengan satu tindakan mereka, begitu juga imbasnya. Mungkin sesaat, setelah itu hilang tak berlanjut. Memang setiap individu tidak bisa disamakan dengan individu lain, tapi setidaknya secara garis beras tindakan dan arah gerak tujuannya bisa diusahakan sama, meski hasil akhirnya nanti berbeda.
Apalagi masalah yang baru saja terjadi, pengeboman di Gereja Katedral Makassar. Terorisme sudah merajalela di mana-mana. Tragedi itu yang sering terjadi dan berulang kali. Para tokoh publik mengatakan jangan dihubungkan pengeboman dengan agama, karena terorisme tidak punya agama. Pendapat itu sama sekali tidak salah dan juga tidak benar. Sekali lagi, mungkin kita bisa tengok di posisi mana mereka bicara. Kalau pada posisi pemerintahan, kita maklumi mereka bilang semacam itu.
Mereka cuma meyakinkan bahwa terorisme bukanlah cerminan dari agama. Agama mengajarkan kedamaian, bukan kekerasan. Tapi mau bagaimana pun juga, tetap saja, Islam selalu dikambinghitamkan. Seolah-olah dipergunakan alat oleh pihak-pihak yang tidak jelas pemahaman agamanya, baik secara substansial maupun esensial.
Atau sering juga diperalat untuk melancarkan kepentingan mereka dalam mencari keuntungan. Islam sering dikapitalisasi dengan merugikan umat Islam itu sendiri. Maka jangan heran, semakin diperalat, umat Islam bisa saja tiba-tiba memberontak melalui garis perjuangan mereka sendiri-sendiri. Itu yang menjadikan Islam selalu diidentikkan dengan kebrutalan.
Tidak ada yang bisa menjelaskan secara lengkap bagaimana latar belakang terorisme muncul menjadi doktrin masal di masyarakat. Alangkah mudanya doktrin seperti itu merasuk, kemudian berubah jadi dasar tindakan radikalisme di Indonesia. Bukan menjadi rahasia pribadi lagi, suatu komunal manusia akan menghasilkan nilai yang digunakan sebagai senjata untuk menarik orang lain agar masuk ke komunalnya. Itu hal lumrah pada perkembangan sejarah pemikiran manusia.
Tapi yang menarik di sini adalah keberadaan doktrin itu sendiri. Unsur yang membangun adalah kepercayaan. Bila suatu agama dijadikan doktrin, maka iming-iming keberhasilannya pasti surga dengan embel-embel jihad berjuang di jalan Tuhan. Jalan ini yang masih jadi perdebatan. Apakah jalan harus sama? Pastinya tidak. Apabila banyak jalan menuju Roma, bukankah banyak jalan juga menuju Tuhan.
Kalau Tuhan saja menciptakan kita sebagai wujud kasih sayang, kenapa untuk menuju sana harus dengan kekerasan. Wujud cermin Tuhan dalam satu manusia adalah beribu-ribu cermin kasih sayang. Manusia tinggal memantulkan cermin tersebut kepada makhluk hidup di sekelilingnya.
Sehingga muncul terminologi kemanusiaan yang mendasari setiap gerak langkah manusia itu berada. Sama halnya yang dilakukan Gus Dur semasa ia masih hidup. Semata-mata yang dilakukan Gus Dur adalah bentuk usaha memantulkan cinta kasih Tuhan kepada manusia. Tujuannya adalah keadilan. Dasarnya adalah kemanusiaan dan hukum, bahwa hak rakyat Indonesia dijamin oleh Negara.
Meski banyak identitas yang melekat pada dirinya, tetapi bagi Gus Dur, identitas tidak terlalu penting dalam pelaksanaan kerja kemanusiaannya. Justru tanpa melepaskan identitas dan tanpa disadari, Gus Dur semakin memperkuat nilai identitas yang selama ini ia bawa ke mana-mana.
Seperti halnya apa yang dikatakan Romo Mangun, sahabat Gus dur. Ia mengatakan, sebelum belajar agama, belajarlah dulu menjadi manusia. Kita menjadi manusia saja kadang repotnya minta ampun. Untuk mengetahui batas lulus atau tidak saja sama sekali kita tak pernah tahu. Maka dari itu, sepanjang manusia hidup, yang dilakukan adalah memperjuangkan nilai kemanusiaan. Alatnya adalah cinta, tindakannya berupa memanusiakan makhluk, seperti halnya kita memanusiakan diri kita sendiri.
-
Ahmad Baharuddin Surya - Penulis dari Kampung, Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNESA.
Komentar
Posting Komentar