Langsung ke konten utama

Sang Penulis Abu-Abu yang Setia: Herry Lamongan


Membahas salah satu penyair kondang yang masih tetap setia dengan kampung halamannya yakni Herry Lamongan. Herry Lamongan adalah seorang yang mempunyai tittle Sang Begawan yang disematkan padanya karena telah mengabdi di Lamongan Hingga 60 tahun kepenyairannya. Sebelum penyair ini terjun dalam dunia sastra, beliau adalah seorang maniak lukisan. Namun, ia terjun dalam dunia sastra karena hobinya maniak lukis itu tidak sampai pada dirinya.

Tulisan yang dipersembahkan oleh Herry ini susah ketebak dan misterius. Pembaca perlu membacanya 2 hingga 5 kali baru paham tentang tulisan puisinya. Masih menggunakan ejaan lama, tulisan tulisan berupa puisi ataupun cerpen pernah menduduki berbagai media cetak seperti koran ataupun majalah se- Jawa Bali saat itu. Bahkan ia pernah ke Malaysia untuk membacakan puisinya.

Puisi yang ia persembahkan adalah Surat Hening. Adapun Penyair Herry ini juga menulis Geguritan sampai dimuat oleh Majalah Horizon berjudul Latar Ngarep. 3 puisi akan saya bahas yakni berjudul Surat Hening, Musyawarah Darah, dan Memo Harian Urat Leher.

Memo Harian Urat Leher
Pada puisi yang pertama, Herry menulis pada judulnya Memo Harian Urat Leher. Saya berasumsi bahwa Herry ini sekuat tenaga dalam menulis memo ini. Dalam puisi ini pada bait pertama dijelaskan tentang menunggu seseorang dan pada bait kedua dibuktikan dengan adanya kata “Kering lantaran jerit gagal sampai tangan batal meraih dering”, itu menandakan bahwa dirinya sudah merasa gagal untuk menunggu. Dering juga menandakan bahwa tidak ada reaksi alias responnya.

Pada bait selanjutnya di tulisnya yang menandakan bahwa penulis sudah merasa diambang batasnya untuk berdoa tentang keselamatan dunia. Dan di bait selanjutnya pula, penulis seperti menjelaskan bahwa bait – bait ini seperti rumah atau republik. Dan Herry juga memberikan kata “unjukrasa” pada baris ke 6 bait ke 4 yang mungkin di era soeharto saat itu.  

Pada bait selanjutnya juga dijelaskan bahwa yang menjadi Head-Line koran artinya berita di mana – mana tentang aksi itu dan Herry juga mengungkapkan bahwa dirinya berupa efek yang ditimbulkan dan untuk siapa yang rugi dan untungnya. Dan memo itu kembali kusam, artinya mulai hilang. Di sini juga mengindikasikan bahwa Herry memberikan kritikan kepada pemerintah walaupun dengan cara yang halus dan melihat pada saat itu Herry juga merasakan di kala pernah tahu runtuhnya orde lama itu serta mendoakannya.

Musyawarah Darah
Pada tulisan puisi ini juga dari pada judulnya musyawarah dan darah, menandakan bahwa ada perkumpulan darah waktu itu. Herry menuliskan dalam keadaan di mana hak untuk berbicara dibungkam karena merasa bahwa ada yang dipenjara saat itu karena “sedusedan” dan Herry juga memberikan omongan lalu ia merasa bahwa dihentikan dengan adanya tuang anggur dan kepada cahaya lalu untuk jalan lurus dan ucap selamat tidur yang artinya tidak didengar.

Pada bait selanjutnya, dijelaskan di tulisannya yang menandakan bahwa setelah mengemukakan pendapat dan dijelaskan bagaimana suasana saat itu menjadikan musyawarah seperti tidak ada habisnya dan akan berakibat fatal.

Pada bati selanjutnya juga, menandakan bahwa perayaan yang menjadi semacam senjata dan akan terus ada dan hasil itu tidak ada hasilnya, bahkan yang berpendidikan juga merasa bahwa ia sudah mabuk dan langsung saja mengiyakannya.

Surat Hening
Menjadi cover dari buku Surat Hening. Herry menyampaikan surat hening ini seperti merasa bahwa yang ia sampaikan dari tersebut adalah hanya hening tanpa ada tindak lanjutnya. Di situ ada tempat yang menandakan bahwasannya sebuah tempat merupakan perkumpulan dan menuju pada perasaan yang tidak tahu. 

Dan saat pulang, ia merasa bahwa sapaan yang tadi adalah  sia – sia. Lalu pada bait selanjutnya Herry dalam tulisannya mengatakan bahwa kisah tadi adalah sebuah pengembaraan tapi untuk melintasinya lama hingga berabad yang artinya tidak sampai dengan cepat. Dan di akhir menuliskan bahwa jalan terhening adalah bebas namun merasa ada yang kurang.

Herry adalah penulis abu-abu karena sindiran halusnya menusuk seperti terang yang hanya topeng namun inti dalamnya adalah gelap seperti kritikan.

-



Penulis:

Sazma A. Al-Kautsar biasa dipanggil Sazma. Lahir di Lamongan, 12 Juni 1997. Mulai bersajak dan menggeluti dunia sastra sejak 2015 dalam karya sastra terutama puisi. Berdomisili di lamongan kota. Lebih tepatnya tinggal di Jln. Made Dadi VI/36 Perumnas Made Lamongan. Karya – karya yang sudah terbukukan antara lain antologi bersama Nyala Abadi (2018), Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh Di Kepala (2018), Memoar Purnama Di Kampung Halaman (2019), Aku, Kamu, dan Kami (2020) dan karya antologi Pribadi Kisah Kasih Keluh Kukorbankan (2020)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...