Pada awal Pandemi, semua orang tampak gugup mengahadapi virus macam satu ini. Datangnya tiba-tiba, tanpa permisi dan mengucap salam. Kita tidak bisa mengira-ngira kalau itu bakal terjadi. Bahkan saya sendiri, pertama masih belum percaya, tetapi lama-lama dengan rentan waktu yang begitu panjang, virus ini tak kunjung henti. Mau tidak mau kita semua harus berterima jika virus itu memang ada. |
Dengan kedatangan yang tidak direncanakan, Covid-19 menjadi peluru ampuh yang siap diluncurkan di mana pun. Meski bersifat ghoib atau tidak terlihat, tapi efeknya sangat bisa dirasakan. Terutama soal ekonomi, Corona melakukan pelesiran yang begitu tajam. Imbasnya hampir bisa dirasakan manusia seluruh dunia.
Selain ekonomi, sosial juga tak kalah penting. Indonesia dikenal sebagai negara yang ramah tamah dan sesrawungan. Apalagi saya sebagai orang Jawa, makan atau tidak makan, saya harus tetap kumpul. Tanpa terkecuali, di semua kegiatan, saya seperti itu. Acara-acara nuansa kultur Jawa kebanyakan sering dilakukan dengan berkumpul. Sebab, orang yang saya temui, mayoritas mengatakan, selain silaturahmi, tujuan berkumpul adalah untuk mendekatkan rezeki.
Jika semakin banyak teman, otomatis relasi kita bertambah, dan hubungan satu teman dengan lainnya akan saling terhubung. Tentu syarat utama silaturahmi adalah bertemu, mata bertemu mata, wajah bertemu wajah, dan raga harus bertemu raga secara langsung.
Saking kuatnya memegang prinsip tersebut, salah satu senior saya di kampus dulu sering berpesan, yang paling penting dari kuliah sebenarnya adalah silaturahmi. Nanti ilmu akan berkembang seiring berjalannya kalian saat bertemu banyak orang.
Saya juga tidak bisa mengelak kenyataan itu, bagaimana tidak, teman-teman di kampus waktu itu saya lihat perbandingan antara kuliah dan ngopi paling banyak ngopinya. Lalu spontan muncul motto, "Kuliah prioritas, organisasi totalitas, ngopi rutinitas". Entah kalian menilainya baik atau tidak, bergantung yang merasakannya.
Heboh Corona itu di pertama saja, sedang heboh selanjutnya adalah pengembangan dari heboh yang pertama. Di awal kedatangannya, tampak semua manusia panik ngga ketulungan. Waktu itu saya masih bolak-balik Surabaya Lamongan. Maklum saja mahasiswa semester akhir. Ke Surabaya hanya untuk bimbingan saja.
Di saat yang bersaman, semua sistem harus diubah. Yang awalnya bertemu, diubah jadi pertemuan online jarak jauh. Sistem pendidikan juga diubah. Skripsi diganti artikel ilmiah, dengan alasan agar tidak menyulitkan mahasiswa ketika melakukan penelitian. Untungnya, skripsi saya waktu itu sudah selesai. Baru mendaftar sidang, selang beberapa hari, kebijakan itu muncul.
Masing-masing mahasiswa tidak semua menerima. Idealisme mereka muncul, "masa kuliah empat tahun cuma disuruh buat artikel," kata beberapa teman seangkatan. Ada pula yang berterima dengan Legawa. Mereka yang ikhlas ini tujuannya macam-macam juga. Ada yang cepat-cepat ingin melanjutkan ke magister, ada pula tujuannya agar tidak membayar uang kuliah semester depan.
Dari beberapa maksud dan tujuan mereka, saya menarik kesimpulan, bahwa alasan mereka tidak ada yang salah. Kita memang dihadapkan pilihan yang serba sulit. Selain itu, kadang, ketika kita sudah memilih, justru pilihan itu tidak sesuai dengan logika berpikir kita. Contoh saja artikel ilmiah tadi, sebagai mahasiswa, apalagi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, mendengar kata artikel ilmiah seharusnya tidak lazim. Bahkan setiap semester, para dosen selalu mendorong kita membuat artikel, baik penelitian lapangan atau kajian pustaka.
Bukan soal tidak mau, bagi mereka yang beridealisme kuat, kalau hanya sekadar mengerjakan artikel, saya rasa mereka sangat mampu, apalagi cuma kajian pustaka, mungkin beberapa jam gitu saja mereka bisa menyelesaikan. Masalahnya, idealisme mereka terbentur dengan kenyataan yang ada. Ya dengan biaya, waktu juga mereka pertaruhkan.
Di dosen pula penolakan semacam itu ada. Mereka tetap ingin mahasiswanya membuat skripsi penelitian. Pertimbangannya cukup logis, "kalian dari kampus negeri, andaikan nanti keluar lalu ditanya tentang skripsimu, kalian mau bilang apa?," kata salah satu dosen. Apapun caranya, skripsi harus dibuat. Sehingga dengan terpaksa, dosen itu mengurangi beban halaman skripsi. Ia menarget halaman kurang lebih seratus, dan yang penting cover depan bertuliskan skripsi.
Di kampung-kampung juga demikian. Banyak yang mengira kerumunan paling sering dilakukan oleh warga di perkampungan. Padahal, berkumpul itu sudah menjadi kultur karena hiburan mereka salah satunya memang berkumpul. Di warung-warung, teras rumah, dan di area persawahan saat mau panen, pasti mereka berkumpul dan bermalam di sana. Mungkin dari situ muncul kampung tangguh, lantaran fokus implementasi jaga jarak rasa-rasanya perlu di mulai dari sana.
Ini ada cerita menarik, waktu mau pulang dari Surabaya, saya sengaja mengambil waktu tengah malam, menunggu para penjaga portal desa selesai bertugas. Tetangga sebelah berketapatan juga pulang dengan hari yang sama tapi beda pukul. Dia pulang dari Sidoarjo. Surabaya dan Sidoarjo saat itu memang kota merah. Bagi siapa yang habis dari kedua kota itu, ia harus dikarantina dua Minggu. Waktu yang sangat lama bagi saya. Karena pulang di pukul yang berbeda, akhirnya saya lolos, sedangkan tetangga saya tidak lolos. Ia harus dikurung di rumah selama empat belas hari.
Saya hampir mengikuti perkembangan lonjakan korban akibat Corona. Jika diperhatikan, lonjakan tiap hari selalu ada. Tetapi yang menjadi lucu adalah dengan melejitnya lonjakan korban, kenapa para penjaga portal desa sekarang justru malah ditiadakan. PPKM mikro pada desa juga belum jelas juntrungannya. Bagaimana konsepnya, katanya anggaran dana desa dialokasikan ke sana, namun teknis aplikasinya masih rancu.
Atau memang benar apa yang banyak dikatakan orang, masyarakat Indonesia itu tipikal kagetan. Alih-alih seperti disiapkan sedini mungkin untuk memperlambat penyebaran Covid-19, tetapi penerapannya tidak berkelanjutan. Iya memang dini, seperti bayi yang selalu diperhatikan dan dirawat, kemudian setelah menginjak besar, ia dilatih menjadi manusia-manusia mandiri.
Jika menganut logika yang agak benar kan seharusnya kalau ada lonjakan korban yang begitu besar, justru kita harus selalu berhati-hati. Segala upaya yang dilakukan pada saat Corona bertamu dulu itu yang setidaknya bisa dilakukan kembali.
Tidak hanya pada penjaga portal, pendataan warga keluar masuk itu juga penting dilakukan kembali. Meski iklan masyarakat masif dilakukan di semua media, tetapi objek yang jadi tempat penyebaran malah tidak diurus dan dilakukan secara efektif.
-
Ahmad Baharuddin Surya - Anak Kampung
Komentar
Posting Komentar