Langsung ke konten utama

Manusia Tidak Sadar, Selama ini Umurnya Dirawat oleh Alam

Dimuat di Gresik Pos Kamis (25/03/21)


Kata alam jangan diasumsikan terlalu jauh, takutnya nanti kalian tidak bisa kembali. Kita sama-sama berpikir sederhana saja, alam adalah lingkungan yang kita huni. Apa yang kita lihat, rasakan, dan alami saat ini, itu adalah pantulan dari alam. tidak usah berpikir berat soal alam kesemestaan, cukup pembatas itu saja, nanti akan kita ulas bersama.

Jujur saja saya agak bingung ketika diminta mendefinisikan soal sampah, bukan hanya saya, tidak menutup kemungkinan kalian juga sama. Memang hal lumrah bagi manusia, karena setiap hari benda-benda itu yang menghasilkan adalah diri kita sendiri. Bisa dihitung sederhana, sehari kita buang air besar, kecil, kencing, mandi berapa kali. Pernah tidak kita menghitungnya. Belum sampah-sampah lain.

Itu hanya satu orang, bayangkan di semesta ini dihuni berapa banyak makhluk hidup, khususnya manusia. Pernah tidak terbesit di pikiran kalian bahwa kita di bumi ini hanya merusak. Sesuai dengan ayat di Al-quran yang menjelaskan, bahwa kerusakan di bumi disebabkan oleh tangan-tangan manusia.  

Meskipun sampah dihasilkan oleh masing-masing individu manusia, tetapi dampaknya tidak mungkin kembali ke diri kita saja, melainkan imbasnya dirasakan manusia lain. Kalau hanya untuk sekadar sambat, mungkin bumi sudah melakukannya sekali dua kali, sesekali senggukan, sesekali batuk.

Untuk membuang sampah pada tempatnya saja kita sering malas-malasan, saya juga sering mengalami akan hal itu. Misalkan di suatu ruangan ada satu tempat sampah, sedangkan saya sedang di posisi yang cukup jauh dari tempat sampah itu, otomatis yang saya lakukan terkadang saya simpan dulu, kemudian pas keluar, baru saya buang di tempatnya.

Masalah sampah tidak berhenti cukup sampai di situ. Meskipun di sudut-sudut tempat terdapat tong sampah, tetapi setelah dari tong sampah, sampah itu ditempatkan pada tempat sampah yang tak layak bagi sampah. 

Lho, sampah saja punya tempat yang representatif. Iya harus.

Analoginya, semua kotoran jika ditempatkan pada tempat yang strategis, kotoran itu akan lebih enak dipandang, apalagi kalau bisa dimanfaatkan. Jika mereka bisa bicara, pasti mereka akan senang, sebab sudah ditempatkan dengan baik, bahkan dimanfaatkan pula menjadi nilai terapan.

Masa-masa itu sering kali saya rasakan dan jumpai di saat melakukan peliputan. Waktu itu memang fokus peliputan kami terkait dengan sampah yang ada di Gresik. Bagaimana tidak menjadi fokus, Gresik sudah sangat dikenal dengan produktivitas sampahnya. Berita-berita itu saat saya cari di media-media nasional, ternyata banyak dan beragam. saya tidak perlu menceritakan, coba kalian cari sendiri

Tempat-tempat sampah di desa-desa, saya rasa tidak bisa dikatakan representatif. Ada yang hanya sekadar ada, tapi perawatan selanjutnya tidak ada. Ada juga yang bentuknya persegi kecil dan dinding pembatasnya tidak ada. Belum lagi jika di pinggir sungai, sampah-sampah yang tercecer itu mencemari lingkungan di sekitarnya.

Tindakan seperti itu, ada yang mengatakan lumrahnya manusia. Tapi selumrah-lumrahnya manusia, kalau tidak diikuti dengan kesadaran lingkungan ya mau jadi apa lingkungannya. Padahal sedikit berpikir tentang itu saja, sama halnya sudah berpikir dampaknya untuk orang banyak.

Dalam dunia psikologi, ada namanya psikologi lingkungan, pendekatannya pada basis pemanfaatan lingkungan. Sub objek keilmuannya jauh, bisa sampah, limbah, dan sebagainya. Namun substansi dari psikologi lingkungan adalah bagaimana manusia bisa sadar akan lingkungannya. Terkadang untuk sedikit sadar saja kita masih enggan. Walau sesungguhnya apa yang kita lakukan pada dasarnya semua dilakukan dengan sadar.

Contohnya saat kita membuang sampah tidak pada tempatnya. Di saat yang bersamaan, pastinya kita sadar bahwa kita telah melakukan perbuatan tidak baik. Tapi apakah kesadaran itu bisa dibarengi dengan kesadaran ganda, selain kesadaran membuang, ada satu kesadaran lagi, yaitu kesadaran berpikir tentang jangka panjang akibat tindakan tersebut.

Selain itu, hubungan interaksi manusia dengan lingkungan juga perlu dilirik sekali-kali. Jarak antara lingkungan dan manusia sangatlah tidak bias dan tidak berjarak. Di mana kaki manusia berpijak, di sana ia berpijak pada lingkungan. Kaki tidak bisa lepas dari lingkungan atau sebutannya alam. Tapi apakah dengan sedekat itu, lingkungan masih menganggap manusia adalah teman dekat yang juga harus dirawat.

Jika ditarik lebih serius lagi, ada simbiosis mutualisme antara manusia dengan lingkungan. Mereka saling menguntungkan di antara keduanya. Cuma, selama ini manusia seakan-akan berjarak dengan lingkungan, pendekatan mereka sudah bias dan kabur. Mereka dengan sikap membuang sampah sembarangan bisa diartikan bahwa manusia sudah hilang kedekatannya dengan lingkungan.

Jangan sampai alam mengasingkan dirinya dengan manusia. Apa kita tidak pernah berpikir berapa banyak petani yang sampai saat ini masih bertani, menanam padi, jagung, dan sayur-sayuran. Apakah mereka tidak membutuhkan tempat dan dukungan dari lingkungan.

Lalu dari mana karbohidrat kita selama ini kalau tidak dari alam. Sebenarnya kita tidak bisa berbuat apa-apa jika tanpa alam. Ibaratnya, manusia akan mati secara pelan-pelan. Karena tanpa kita sadari, selain kita dirawat orang tua, kita selama ini dirawat juga oleh lingkungan di sekeliling kita.

-


Ahmad Baharuddin Surya - Penulis dari Kampung, Lulusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNESA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...