Langsung ke konten utama

Pandemi dan Keterasingan Manusia

Lebon #4


Manusia hidup sebagai makhluk sosial yang memiliki ketergantungan pada orang lain. Wujudnya bisa bermacam-macam, interaksinya pun juga beragam. Ada semacam ikatan yang melatar belakangi itu sehingga timbul hubungan relasi manusia yang saling menguatkan dan saling memberi manfaat.

Tetapi setelah adanya Pandemi ini, hubungan sosial itu menjadi renggang akibat ada sesuatu yang hampir terputus, yaitu kepercayaan sosial. Itu yang menjadi salah satu dasar penyebab keterasingan manusia dengan manusia lain. 

Keterasingan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu keterasingan karena memang ia memilih jalan pengasingan dan keterasingan yang disebabkan oleh lingkungan sosial yang sengaja mengasingkan seseorang karena ada perbedaan pandangan. Adanya stigma tersebut jelas membentuk klasifikasi manusia dengan cara pandang tertentu.

Setiap orang bebas melakukan penggolongan baik melalui individu ataupun kelompok. Biasanya keterasingan dilakukan oleh kelompok pada suatu individu, tetapi dalam persoalan ini bisa dilakukan sesama individu.

Semua orang berhak menjadikan orang lain asing, walaupun sikap itu tidak terlihat, tetapi dari rasa sudah bisa merasakan, bahwa orang mengalami keterasingan atas dasar kurang jelas

Orang tidak bisa langsung melakukan stigma. Ada produk luar yang masuk menjadi bahan dalam pikirannya. Produk itu yang menguatkan sekaligus bahan untuk melakukan stigma pada orang lain. 

Semisal produk itu dibangun dari media, jadi produk informasi media digunakan seseorang melakukan penilaian kepada orang lain. Contoh saja kita mengenal dengan mudah gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penderita Covid-19. Salah satunya batuk-batuk, bersin, demam, dan sesak.

Bayangkan ketika kerabatmu yang sudah biasa bersama, setiap hari sering ketemu, tetapi ketika pada suatu pertemuan kerabatmu mengalami gejala-gejala awal orang menderita Covid-19, jelas pikiran kita berbeda. 

Ada prasangka awal di benak kita meskipun tidak kita tunjukkan secara langsung, namun stigma itu muncul dalam batin dan pikiran kita. Padahal belum ada kenyataan jelas apakah orang itu terjangkit covid-19 atau tidak. Oleh karena itu, pada dasarnya stigma muncul diiringi dengan kewaspadaan dan kekhawatiran.

Secara tidak langsung dengan adanya virus ini sangat mengganggu kebebasan manusia. Langkah gerak manusia dibatasi sedemikian rupa untuk memutus rantai penyebaran virus. Ketika kebebasan manusia mengalami gangguan, maka saat itu, otomatis manusia mengalami keterasingan. 

Kebebasan manusia sebagai individu tidak memungkinkan terwujud. Penyebab utama keterasingan manusia dalam hal ini karena virus Covid-19 menimbulkan banyak kekalahan, di antaranya kalah soal kepercayaan sesama manusia.

Orang bisa melakukan tuduhan seperti itu karena landasan stigma yang sudah tertanam di pikiran masing-masing. Tidak ada batasan ketika orang melakukan stigma, karena pada dasarnya stigma bersifat bebas dan bisa tertuju pada siapapun. Stigma juga tidak melulu tanpa dasar, jelas disertai dasar. Bahan yang digunakan untuk melakukan stigma kebanyakan diadopsi dari pandangan-pandangan bebas di media sosial.

Sebab di media sosial adalah tempat bagaimana orang dengan bebas mengungkapkan curahan hatinya. Mereka tidak peduli keahlian yang dimiliki seseorang, sehingga teori asal comot bisa terjadi. Bisa saja per orang mengungkapkan stigmanya dan diambil stigma tersebut untuk bahan melakukan perasangka ke orang lain. Sungguh itu adalah tindakan fatal.

Yang terpenting sekarang, bagaimana pihak-pihak terkait membatasi stigma tersebut sebagai langkah awal agar atmosfer saling tuduh di masyarakat bisa meredam. Pihak terkait maksudnya mereka yang memang benar ahli di bidangnya. Bisa dibuktikan dengan kualitas dan integritasnya.

Sehingga tidak bisa semua orang melakukan prasangka yang tidak-tidak pada orang lain. Karena pasti representasinya ada di kenyataan sosial masyarakat. Semakin orang bebas melakukan tuduhan pada orang lain, semakin berpeluang besar manusia mengalami keterasingan.

Perlu diketahui, per individu memiliki identitas sosialnya sendiri. Ia bebas melakukan apapun sesuai dengan identitas yang diemban. Mengenai peran dan sebagainya, orang lain tidak berhak menghilangkan identitas tersebut hanya dengan modal praduga tidak bersalah. Justru dengan tindakan itu, orang akan merasa semakin dibatasi dan bahkan bisa didiskriminasi oleh suatu kelompok masyarakat.

Dan di masa Pandemi ini, sikap semacam itu rawan terjadi. Stigma akan menghilangkan unsur identitas sosial seseorang. Lalu akibat jangka panjangnya adalah hubungan masyarakat di dalam satu komunal akan bias dan parahnya, ke depan akan membuat jiwa-jiwa apatis manusia semakin menguat.


Lamongan, 19 Februari 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...