Langsung ke konten utama

Mencari Idealisme dalam Tumpukan Teks

Lebon #1


Pengalaman jadi jurnalis itu tak semudah apa yang saya pikirkan. Mungkin kalian juga suatu saat ketika menginjak ke profesi jurnalis akan merasakan pengalaman yang sama. Hanya berbekal bakat dan pengalaman di Lembaga Pers Kampus (LPM) nyatanya tidak cukup, karena seorang jurnalis tidak hanya berbekal tulis menulis.

Tawaran pertama menjadi wartawan Gresik Pos waktu itu sontak langsung saya terima. Mau gimana lagi, tuntutan keadaan. Itung-itung buat nambah pemasukan buat ngopi. Padahal sebelumnya sama sekali saya tidak tahu bagaimana latar belakang media itu didirikan. Tapi ada enaknya juga, berkat ketidaktahuan itu, saat tawaran datang, tanpa tanding aling-aling langsung saya terima.

Saya coba kilas balik tentang pengalaman di LPM Gema dulu. Waktu itu media pers yang saya ketahui hanya terkait dengan pemberitaan dan penerbitan. Selebihnya sama sekali tidak tahu. Ada yang mengatakan, media perlu namanya idealisme, namun awal mula pertama di Gresik Pos, seorang seperti saya sangat awam untuk memahami bagaimana idealisme Gresik Pos.  

Pola pikir semacam itu bisa dikatakan salah, tetapi juga bisa benar. Perlunya idealisme media adalah gunanya agar kita sebagai pewarta mampu melangkah ke depan serta bisa melihat bagaimana peluang di masa depan, tentu demi keberlangsungan media itu agar tetap berjalan.

Jika tanpa hal itu, saya yakin, apa yang kalian lakukan tak ubahnya seperti burung terbang bebas yang tidak punya tempat tinggal. Bisanya cuma menclok sana-sini tidak tahu arah dan tujuan. Bahkan bisa diibaratkan juga idealisme adalah jalan jurnalis saat ia mulai bergerak ke sasaran yang akan diberitakan. Karena itu yang membuat berita akan berkelanjutan.

Selain idealisme media, idealisme individu juga tidak kalah penting diperhatikan. Hati-hati, kalau dua idealisme itu saling berbeda, nanti yang repot adalah kita sendiri. Itu pilihan. Tidak menutup kemungkinan ketika ada dua idealisme yang sudah tertanam, pasti salah satunya ada yang dominan. 

Idealisme media sendiri kuatnya bukan main. Selama ini idealisme media sangat angkuh dan selalu mendominasi individu. Tapi Jika kita tetap mempertahankan idealisme individu, pasti ada sedikit banyak yang wajib kita pertaruhkan.

Beda lagi apabila dua idealisme tersebut sama, maka jurnalis bisa lebih maksimal mengeksplor dirinya untuk media dan secara tidak langsung dua-duanya ada simbiosis mutualisme dalam setiap saat bekerja. Intinya, jangan sampai merasa terasing dengan pekerjaanmu sendiri. Justru jika itu terjadi, akibatnya adalah pekerjaanmu tidak pernah bisa mencapai titik maksimal.

Pertama, cari tahu dulu bagaimana media itu bekerja. Sesuaikan dengan passion kita. Biasanya kalau kita hanya sekilas memandang dari jarak jauh, kita akan paham melalui permukaan saja. Tapi beda lagi apabila sudah masuk ke sistem, anggapan kita jauh beda dengan apa yang kita lihat biasanya.

Kedua, pilih media yang bisa membuatmu berkembang serta bisa menambah daya analisis yang tinggi. Jangan samakan pekerja media dengan pekerja pabrik. Meskipun media juga bercorak sebagai perusahaan, tetapi dalam sepanjang prosesnya, seorang wartawan bisa menambah daya tajam intelektualnya dengan menulis. Dari situ serpihan-serpihan ide yang pernah lepas akan diikat lalu dikembangkan dalam satu wadah yang sama, yaitu media. 

Sedangkan Gresik Pos adalah angan-angan yang sebelumnya tidak terpikirkan. Serupa ceceran mimpi yang tiada henti saya memungutnya sendiri di kubangan baris angin. Bagi saya selalu menarik untuk ditembus 


-


Lamongan, 3 Februari 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...