Langsung ke konten utama

Kebebasan dan Ancaman


Pembahasan tentang kebebasan adalah bagaimana usaha manusia menelisik kualitas diri mencari sisi ekspresif jiwa kemanusiaannya. Satu per satu digali, ditemukan inti dari setiap tindakan yang ia lakukan. Tidak ada seseorang pun mengetahui siapa diri kita sebenarnya, karena pemahaman subjektivitas manusia mutlak pada manusia itu sendiri, tidak pada orang lain. Sikap atau cara manusia mengembangkan dirinya sesuai apa yang ia mau pada akhirnya muncul benang merah yang menghubungkan antara kebebasan dan kemerdekaan.

Sejatinya kemerdekaan bisa diartikan sebagai diri yang keluar dari batas-batas membelenggu. Kita tidak memungkinkan menutup diri dari lingkungan sekitar yang terkotak-kotak oleh beberapa ikatan normatif. Dari situ bisa dibuktikan bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan membutuhkan manusia lain untuk saling memberi manfaat.

Sepemahaman dengan Sartre, ia memperjelas lagi hakikat manusia adalah kebebasan. Tidak ada yang mutlak selain kebebasan itu sendiri. Ontologi Sartre menjabarkan lebih metodologi makna inti perihal kebebasan dan keberadaan manusia. Dari terminologi itu Sartre mengungkap sisi keterbukaan diri manusia. Keberadaan manusia bisa diungkap serta dijalankan jika orang tersebut memahami penuh kesadaran. Oleh karena itu, konsep ada dalam sadar (pour-soi) dinobatkan sebagai cikal bakal ajaran Sartre yang mampu melengkapi Filsuf Eksistensialis sebelumnya.

Kesadaran perlu ditingkatkan lagi untuk bahan proses pencarian jati diri sampai membentuk satu karakter utuh. Kesadaran itu yang mendorong manusia mencari siapa dirinya dan apa yang akan ia bentuk sebagai simbol penanda, karena salah satu kesadaran dari konsep Eksistensialisme Sartre adalah kesadaran adanya eksistensi manusia yang bertempat pada sesuatu.

Maka jangan heran, sekarang banyak sekali orang berlomba-lomba menunjukkan siapa dirinya, seolah-olah butuh pengakuan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. Padahal cara berpikir seperti itu sesungguhnya ia menunjukkan dirinya objek yang diamati. Dari hubungan relasi manusia yang diterangkan Sartre, orang tersebut mengalami keterasingan diri, wujud kuasanya diletakkan pada orang lain.

Selain itu, Sartre tidak menekankan manusia sebagai tujuan, melainkan manusia dengan tujuannya. Dari situ saya berpikir, Sartre memang pemikir eksistensi manusia yang sangat detail, satu titik ke titik lainnya membentuk satu garis hitam bersambung, dari rencana eksistensi satu ke eksistensi lain kemudian membentuk satu tujuan dan harapan.

Tapi perlu diketahui juga, Sartre merupakan tokoh kontemporer, teorinya banyak digunakan di era ini. Lahirnya karya-karya Sartre merupakan proses pengembangan dari tokoh-tokoh sebelumnya. Terutama karyanya paling fenomenal yaitu Being and Nothingness, buku yang membahas keberadaan manusia menggunakan perspektif ontologi. Ada banyak tokoh-tokoh lain memengaruhinya, seperti Martin Heidegger, Edmund Husserl, Karl Japes dan beberapa tokoh sebelumnya.

Pada masa itu Sartre merasa dirinya seorang filsuf ketika berguru ke Husserl. Kemudian untuk memperbarui pemikirannya, ia mengkritik beberapa ajaran para gurunya hingga dikenal dengan tokoh pemikiran eksistensialisme kontemporer.

***

Ketika manusia mencoba membentuk hakikatnya, eksistensi selalu utama dibandingkan esensi. Sebab karakter manusia tercipta dari kebiasaan yang rutin ia lakukan, karena orang pada umumnya akan langsung melihat eksistensinya terlebih dahulu. Sehingga dari eksistensi tersebut, orang membentuk asumsi pertamanya berupa justifikasi sesuai apa yang biasanya ia lakukan. 

Contohnya seorang Ulama’ atau Kiai, bagaimana orang bisa menjulukinya Kiai kalau tidak ada indikator yang jelas. Semisal karena dia sering berceramah di berbagai tempat, sehingga banyak orang yang menyegani. Dari bentuk eksistensi itulah, sudah otomatis ia mendapat predikat Kiai atau Ulama’ dari masyarakat. Masyarakat hanya melihat bagaimana kesehariannya, bukan makna dari apa yang ia lakukan.

Dari hal tersebut eksistensi dapat dipertaruhkan, artinya apa? eksistensi tidak bisa berhenti di tempat, ia berkembang menjadi lem lengket dan menempel pada hakikat manusia. Sartre mengatakan Man is nothing else but what the makes of himself, manusia tidak lain adalah apa yang dibuat oleh dirinya sendiri. Jadi kalau kita ingin menjadi sesuatu, rumusnya sederhana, selama kesadaran itu masih bekerja, kita mampu mengubah diri kita jadi apa pun. Tidak mungkin bisa berbohong juga, jika manusia merupakan makhluk hidup yang notabenenya selalu terus bergerak dan membutuhkan ruang agar leluasa mengembangkan kebebasannya.

Selanjutnya, kebebasan selalu berkaitan dengan kemerdekaan manusia, jika memang hakikat manusia adalah kebebasan, maka manusia pun makhluk yang merdeka melakukan apa pun yang ia mau, namun ia harus berhadapan dengan musuh terbesarnya, yakni kesadaran. Perlu adanya kesadaran agar mampu membedakan antara manusia dengan hewan. 

Kesadaran pada manusia ada dua, yaitu kesadaran dalam (pra-reflektif) langsung ke tujuan dan kesadaran luar (reflektif) tidak langsung ke tujuan. Artinya, ada kesadaran sendiri yang memang itu muncul bukan karena faktor eksternal manusia, melainkan dari pikirannya. Sedangkan yang timbul adanya pengaruh dari luar merupakan kesadaran yang disadarkan. Jadi dapat disimpulkan kebebasan manusia terdapat dorongan berupa kesadaran dan sekaligus penyadaran.

Sabrang Mowo Damar Panuluh yang akrab dipanggil Sabrang, anak dari Emha Ainun Najib pernah mengatakan di sesi maiyahan “Manusia itu mempunyai kemerdekaan, akan tetapi ia tidak sadar kalau kemerdekaan itu diberikannya sendiri untuk orang lain”. Hal itu dapat dijelaskan bahwa manusia bisa sadar melakukan sesuatu tetapi perlu penyadaran ulang agar ia kembali sadar terhadap apa yang ia lakukan.

Tapi dari pernyataan tersebut perlu diketahui lagi, dari individu manusianya sendiri pun sangat sulit merealisasikan makna kebebasan. Terkadang dari kita pun masih enggan menunjukkan eksistensi siapa kita sebenarnya dan apa yang kita bisa. Masih banyak yang mempunyai rasa kurang percaya diri karena corak pemikiran kita selalu membanding-bandingkan apa pun dengan orang lain.

Saya percaya jika kebebasan tidak perlu ada batas, justru kebebasan mencoba keluar dari tembok-tembok pembatas orang lain untuk menemukan tembok pembatasnya sendiri. Sebab pembatas masing-masing individu memiliki wilayah berbeda-beda, sesuai dengan berapa banyak pengalaman yang sudah dilakukan. Semakin banyak mengambil pengalaman, semakin banyak pula manusia belajar mencari pembatas-pembatas itu.

Sejalan dengan pernyataan Emha Ainun Najib atau kerap dipanggil Cak Nun, ada pendapat beliau yang sampai sekarang masih saya ingat-ingat betul “Kebebasan adalah usaha menemukan batas-batas”. Tanpa disadari, padahal kebebasan pun sebenarnya belajar tentang memahami diri sendiri dan sekaligus salah satu alat agar manusia mudah menemukan batasannya. Wacana buruk Sartre mengatakan “kebebasan adalah kutukan, karena ketika manusia benar-benar bebas, maka ia benar-benar sendirian”. Pendapat Sartre tumpang tindih dengan beberapa pendapat sebelumnya. Namun bisa dijelaskan kembali bahwa proses manusia mencari jati diri adalah proses bagaimana ia menentukan siapa dirinya dan apa yang ia mau dari dirinya.

Sedangkan ketika dianalogikan, berarti ia bebas berkehendak tanpa ada intervensi dari pihak luar yang itu justru mengganggu beberapa keputusannya. Atau bisa juga penjelasan di atas merupakan sebuah bentuk penghindaran dari keterasingan manusia. Ketika orang itu benar-benar sendiri, maka ia juga benar-benar bebas menjadi dirinya, menjadi subjek atas dirinya tanpa pengaruh orang lain. Sehingga manusia berkuasa penuh atas dirinya. Itulah namanya kebebasan.

Karakter manusia bisa terbentuk karena ia sadar menentukan bagaimana cara hidupnya, namun yang masih samar-samar adalah bagaimana memilih dan menentukan hidup. Oleh karena itu, kenapa eksistensi harus memiliki ruang atau wadah, tujuannya agar ia bisa membentuk manusia sesuai dengan kebebasannya. 

Realitasnya, saya menganalogikannya seperti para pejabat anggota Dewan, ia mempunyai wadah bereksistensi, artinya ia punya kedudukan menjalankan eksistensinya. Apalagi eksistensinya jelas di depan mata, kesehariannya juga bisa terlihat oleh orang di sekelilingnya, bahwa pekerjaan orang itu pejabat wakil rakyat, berarti kesehariannya tentu ada hubungannya dengan seluk-beluk rakyat yang ia wakili. Bukan hanya dari bagaimana cara bekerjanya, di samping hal itu ada penegasan identitas yang harus ia junjung agar terlihat pantas kalau aku memang layak di posisi itu.

***

Di balik eksistensi manusia, kemungkinan besar kita harus waspada karena ancaman itu bisa datang tiba-tiba. Apalagi eksistensi tersebut mempunyai kedudukan, di mana kedudukan itu dijadikan bahan rebutan oleh segelintir orang, lebih-lebih jadi ajang persaingan, dan saling memperebutkan eksistensi orang lain. Lama-lama bisa dibilang oknum klaim keberadaan eksistensi seseorang.

Jadi maksudnya, eksistensi satu dihadapkan pada eksistensi lain yang bersifat mengancam kemudian timbul konflik di sesama manusia, sinisme jadi cara pandang baru menilai teman sendiri. Di antara dua eksistensi yang saling berhadapan, salah satu dari mereka pasti merasa diobjekkan. Objek itulah yang kini kita kenal sebagai bahan yang diamati. Bahkan Philip Mairet memberi pengantar pada buku Sartre yang diterjemahkan memakai judul “Eksistensialisme dan Humanisme”. Philip mengatakan “semakin objektivitas menguat, sama artinya dengan binasanya eksistensi” .

Saya ambil contoh seorang pejabat tadi, otomatis ia memiliki kedudukan, namun proses perjalanan kariernya, ia pasti mempunyai musuh, tugasnya memperhatikan dan mengintai terus-menerus. Ketika ada sedikit cela, musuh akan memanfaatkan betul-betul untuk melengserkan pejabat itu dari kedudukannya dengan cara apa saja. Bisa memfitnah dan menyebar isu semasif-masifnya agar namanya tercemar dan akan diberhentikan dari jabatannya.

Seperti tragedi yang menghebohkan beberapa waktu lalu tentang pengajian Gus Muwafiq, tokoh NU (Nahdlatul Ulama’) yang dituding melecehkan Nabi Muhammad Saw. Terlepas dari sisi keilmuannya, sudah kita ketahui bersama, Gus Muwafiq ini salah seorang pendakwah yang aktif di mana pun, terutama di media, karena banyak sekali unggahan potongan ceramahnya yang dibagikan para pecintanya di media sosial. Seiring berjalannya waktu, akibat ada ceramah tersebut, muncul beberapa argumen bernada tidak disetujui dari beberapa pihak. Maka itu sudah membuka celah dan mengizinkan orang lain yang tidak sepaham masuk menyerang, sehingga wadah untuk dia menunjukkan eksistensinya mengalami sedikit kekhawatiran dan ancaman.

Kedudukan bukan hanya diartikan sebagai bangku dunia perpolitikan dan jabatan, coba dilihat pada struktur sosial yang berkembang di masyarakat. Sistem sosial manusia secara tidak langsung membentuk struktur tatanan. Di setiap struktur memiliki perannya masing-masing, meskipun konteksnya tidak formal, tetapi coba kalian rasakan, sebenarnya kita hidup di sekeliling manusia yang cara hidupnya penuh pengintaian dan ancaman. Mencari cela seminim mungkin untuk menikam, membunuh, dan menenggelamkan jati diri manusia lain.

 


 Sumber Referensi :

Muzairi. 2002. Eksistensialisme Jean Paul Sartre: Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sartre, Jean Paul. 2018. Eksistensialisme dan Humanisme. Terjemahan Yudhi Murtanto. Yogykarta: Pustaka Pelajar.

Schacht, Richard. 2016. Alienasi Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Suseno, Magnis, Franz. 2000. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT. Gramedia.






Penulis :


Ahmad Baharuddin Surya, kelahiran kota Lamongan. Beralamat di Kecamatan Glagah. Karyanya banyak dibukukan dalam antologi bersama, seperti antologi puisi Sejuta Sajak Abadi (2016), Hilang (2016), Yang Tak Pernah Kusampaikan Kepadamu (2017), My Last (2017), Kesepian (2018). Lolos kurasi dalam Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival (2018), Kisah Hujan dan Penghuni Kandang (2018). Lima besar lomba cipta puisi Diaspora Muda Lamongan dan dibukukan dalam antologi puisi Apa Kabar Lamongan (2020).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...