Dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) tampaknya perlu sedikit menyelami kembali makna pers sebagai esensial dan substansial. Apalagi tema yang diambil di tahun ini adalah "Bangkit dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi, Bersama Pers Sebagai Akselerator Perubahan", maka peran media pers penting untuk dipertanyakan.
Dari tema tersebut, ada tiga ikhtisar yang dirangkum dalam satu makna yaitu pers adalah media perubahan untuk sama-sama membangun perekonomian bangsa dari satu titik yang dinamakan perubahan. Sedangkan yang perlu diulik-ulik lagi adalah bagaimana posisi media itu dalam membangun perekonomian, terutama ekonomi masyarakat akar bawah.
Jurnalisme yang selama ini kita agungkan sesungguhnya hanya pelintiran kata yang mengalami pembiasan makna. Hal itu sulit dipahami kembali pada makna murninya. Yang mulanya memiliki esensi ideologis, kemudian melebur jadi arti pembiasaan karena di dalam praktik kerjanya tidak sejalan dengan tujuannya.
Jurnalisme melekat di sistem dunia pers, media, dan segala jenis pemberitaan umumnya. Pandangan orang lain soal pemahaman terhadap media masa tentu bertumpu dari apa yang ia lihat di realitasnya. Mereka tidak mungkin mencari tahu apa hakikat jurnalisme, yang mereka tahu hanya tampilan jurnalisme gorengan yang disajikan media, baik online, offline, maupun pertelevisian. Akibat dari gorengan tersebut disinyalir muncul makna-makna baru yang bisa dikatakan bergeser dari makna aslinya.
Saya coba mengambil makna media massa menurut Mc Quail (2000), ia mengatakan media merupakan salah satu jalan untuk pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan identitas simbol semata, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma. Pengembangan kebudayaan bukan berarti mengubah inti kebudayaan, melainkan melihat sisi pandang kebudayaan dari berbagai perspektif yang tidak terlalu mengikat pada simbolisme sosial.
Salah satu perspektif peran media yang diungkapkan Mc Quail adalah sebuah jendela yang suatu saat ketika dibuka masyarakat, mereka akan mengerti tentang segala hal, menyangkut peristiwa dan fenomena-fenomena kecil di sekelilingnya.
Terkadang, satu pembaca bisa memiliki satu jendelanya masing-masing. Membuka jendela sama artinya berharap ada banyak horizon harapan yang pembaca inginkan. Namun Mc Quail memberi pembebasan dari sebuah jendela. Tidak menyudutkan satu berita yang dikonsumsi mayoritas masyarakat dari media-media mainstream, akan tetapi dari jendela besar, kita sebagai pembaca setidaknya tidak boleh melupakan hal kecil yang menyusun mata ruang jendela itu ketika terlihat tampak besar.
Sekarang keadaannya berbeda, mainstream membuat kita lupa mengawali bagaimana asal muasal berita itu diciptakan, dari mana mereka menyusun kerangka pondasi berita agar supaya si pembaca takjub atas penyuguhan narasi yang diciptakan berita tersebut.
Bernard Cohen (2001) dalam bukunya teori komunikasi, sejarah, dan penerapannya dalam media masa mengemukakan bahwa pers bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk banyak hal. Mungkin tidak sering berhasil memberi tahu orang apa yang harus dipikirkan, tetapi pengaruh media masa sangat luar biasa memberi tahu pembacanya apa yang patut digunakan sebagai referensi ke depan.
Ada banyak hal yang perlu diulas lebih detail lagi, namun karena ada maksud-maksud lain yang melatar belakangi suatu lembaga pers berdiri. Entah berhubungan dengan profit, keuntungan, ataupun lainnya. Itu yang menjadikan praktik kerja jurnalisme bersimpangan dengan hakikat kerja jurnalisme sesungguhnya.
Berapa banyak hal-hal kecil yang sifatnya remeh-temeh, tetapi sejatinya kita perlu tahu, namun ada beberapa hal sehingga menjadikan kita tidak tahu. Jelas kita banyak melewatkan dimensi semacam itu. Orang-orang kecil di antara mereka juga patut diberi ruang sendiri di dunia jurnalisme. Jika mereka tidak mendapat perhatian, maka di mana lagi mereka mempunyai ruang untuk mengeksistensikan dirinya.
Di sisi lain dari itu, agak kurang sopan kalau kita selalu berlomba-lomba menunjukkan diri kita pada orang lain, tetapi justru mereka sama sekali tidak mendapat ruang yang sama. Mungkin kita sedikit meminggirkan persoalan mereka, padahal dari situ masih banyak hal yang semestinya disuarakan, tetapi kita lalai tidak menyuarakan.
Permasalahan suara dan menyuarakan di dunia jurnalisme juga wajib dibarengi dengan nilai edukasi di masyarakat pembaca. Dilihat dari segi mana saja, sebisa mungkin perlu menyelipkan nilai edukasi berupa motivasi, semangat, dan dukungan agar mereka para pembaca mampu mengambil mata nilai kehidupan bagi dirinya sendiri.
Berbicara mengenai ideologi media, tentu kita juga belajar terkait bagaimana ke depannya suatu media. Dari sekian banyak media yang berkembang, mungkin hanya ada sedikit media yang anti mainstream atau berbeda dari yang lain. Jalan perjuangan media seperti itu memang baik, artinya mereka melakukan peneguhan jalan jurnalisme yang berkarakter.
Contoh saja di Jurnalisme tukang cilok, tukang bakso, batagor, dan pedagang-pedagang kecil di pinggiran jalan. Mereka mengais rezeki pelan-pelan, bahkan tak jarang dianggap remeh orang lain. Di dunia itu jurnalisme tidak bisa hidup dan menghidupkan mereka.
Nyatanya kalau kita mau mencoba menelisik ke sana, kita akan menemukan banyak kejutan yang mulanya sering kita anggap remeh. Kita mana tahu, seorang penjual batagor sehari bisa membawa uang 2 juta, kita mana tahu penjual pentol sehari bisa membawa uang ke rumah sebanyak 4 jutaan. Apa doa yang mereka gunakan, apa resep rahasia yang mereka bubuhkan. Model-model sisi lain semacam itu perlu digali lebih banyak lagi. Tujuannya sebagai penegasan bahwa masyarakat kecil mampu menopang diri dari hasil kerja kerasnya.
Maka dari itu perlunya jurnalisme hadir di antara mereka. Tujuannya agar masyarakat sadar dan sekaligus dapat pengetahuan baru dari mereka orang-orang kecil di pinggir trotoar, kepanasan di bawah langit yang beratap daun pepohonan. Selain pengetahuan, lebih-lebih pembaca juga bisa menambah referensi barangkali berinisiatif membuka usaha baru.
Sumber
Referensi :
Severin,
Werner J dan W. Tankard, jr. 2001. Teori Komunikasi: sejarah, metode,
dan terapan di dalam media massa (diterjemahkan oleh sugeng hariyanto).
Edisi kelima. Prenada Media:Jakarta
Mc Quail, Denis, 1987, Teori Komunikasi Massa,
Erlangga, Jakarta
Komentar
Posting Komentar