Kerajaan
besar pewaris Kasultanan Mataram babak belur karena peristiwa Palihan Nagari
pada 1755. Yaitu peristiwa yang menandai berakhirnya keutuhan Mataram dengan
terpecahnya negara menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta. Palilahan Nagari masih juga harus ditambahi dengan terpecahnya wilayah
Kasunanan Surakarta karena perjanjian Salatiga. Wilayah baru tersebut dikenal
sebagai Praja Mangkunegara yang berdiri pada tahun 1757.
Disusul pada
1799 VOC ambruk, kekuasaan Hindia Belanda jatuh ketangan kerajaan Belanda yang
ada dibawah kuasa Prancis. Gubernur Jendral Daendels yang memiliki banyak
kebijakan diluar nalar terhadap kerajaan Jawa. seblumnya VOC masih menganggap
kerajaan Jawa merupakan mitra sejajar namun dimasa pemerintahan Gubernur
Jendral Daendels, pemerintahan Belanda di Hindia mulai berani ikut campur
urusan kenegaraan. Ada tahun 1811 kekuasaan kerajaan Belanda atas Jawa harus
lepas karena serangan balatentara kerajaan Inggris dan Jawa berada ditangan
Kerajaan Inggris yang tak kalah kurang ajarnya terhadap kerajaan Jawa.
Kasultanan Yogyakarta diserang pada 1812 dan berhasil ditakhlukkan, banyak
catatan-catatan kuno keraron beserta benda-benda berharga diangkut oleh
balatentara Inggris atas perintah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.
Mengetahui
kejadian yang berlaku pada Kasunanan Yogyakarta, Pada tahun 1814, Pangeran
Adipati Anom Amangkunegara III, putra mahkota Kasunanan Surakarta memprakarsai
pembuatan Naskah babon pengetahuan lahir batin Jawa. Yang lantas dikenal dengan
nama Suluk Tambangraras. Naskah ini
dimaksudkan sebagai upaya penyelamatan terhadap segala pengetahuan Jawa yang
masih tersisa dan tercecer, sebelum kemungkinan penyerangan terhadap Kasunanan
Surakarta terjadi, sebagaimana penyerangan terhadap Kasultanan Yogyakarta. Bahasan
dalam Suluk Tambangraras amat kaya sehingga naskahnya sangat tebal dan berlatar
belakang pengembaraan para keturusnan Susuhunan Ageng Giri dimasa susuhunan Adi
Prabhu Anyakrakusuma atau lebih dikenal dengan Sultan Agung yang memerintah
Mataram pada 1613 – 1645. Sebuah pengembaraan yang dipicu oleh hancurnya Giri
Kedhaton karena serangan balatentara Mataram pada 1635. Dikemudian hari Suluk
Tambangraras dikenal dengan nama Serat Centhini.
Dalam
buku Suluk Tambangraras: Runtuhnya Giri Kadhaton yang ditulis oleh Damar
Shashangka ini menceritakan perjuangan dalam penulisan Suluk Tambangraras.
Dimana usaha dari Pangeran Adipati Anom Amangkunegara III yang berusaha dalam
pengumpulan dan penyelamatan mutiara mutiara yang tercecer agar utuh kembali
menjadi satu kesatuan. Dimana para pujangga yang terpilih adalah Raden Tumenggung
Sastranagara (Kelak dikenal dengan nama Raden Ngabehi Yasadipura II) yang
ditugaskan untuk napak tilas dan mengumpulkan ajaran dan pengetahuan yang ada
dibarat hingga tanah Priyangan (Sunda). Selanjutnya Raden Ngabehi Ranggasutrasna
yang ditugaskan untuk napak tilas dan pengumpulan pengetahuan wilayah timur
Jawa hingga mencapai Selat Bali. Dan yang terakhir adalah Raden Ngabehi
Sastradipura yang ditugaskan untuk mengumpulkan ajaran-ajaran Tasawuf dari para ulama sufi di Arab. Karena beberapa
pengajaran ditanah Jawa ini berasal dari wejangan para Wali yang bermuatan ilmu rasa atau ma’rifat.
Selain itu penulisan Suluk Tambangraras ini juga dibantu oleh pangeran Jungut
Mandurareja, Kyai Muhammad Minhad dan Kyai Kasan Besari, pemimpin pondok
pesantren yang berdiri didesa Tegalsari Jetis, Ponorogo sekarang.
Alur
dalam buku ini adalah maju mundur dimulai dari masuknya tentara dari kerajaan
Inggris dan keinginan dari Pangeran Adipati Anom Amangkunegara yang
berkeinginan untuk menuliskan sebuah kitab Babon yang memuat pengajaran Jawa.
Setelah itu dilanjutkan dengan kisah dimana Syekh Maulana Ishaq yang mendatangi
Jawa untuk mencari Kakeknya Syekh Jamaluddin Syah Jalal yang membawanya ke
Blambangan (Bannyuwangi). Dimana rakyat Blambangan terkena wabah dan Syekh
Maulana Ishaq memberikan obat dan berangsur sembuh. Karena keberhasilan itu
Pemimpin Blambangan Adipati Minak Sembuyu menikahkannya dengan putrinya Dewi
Sekardadu.
Namun
sayangnya ketika Dewi Sekardadu hamil tua, Syekh Maulana Ishaq harus diusir
karena mengajarkan agama Islam dikerajaannya dan mengajak sang adipati untuk
memeluk Islam. Akhirnya kelak ketika anak itu lahir diberikan kepada seorang
Nahkoda dari Tandhes (Gresik) yang bernama Abuhuraerah dan diberikan kepada Nyi
Gedhe Pinatih dan menjadi anak angkat dan diberi nama Jaka Samudra. Menginjak
usia muda Jaka Samudra dititipkan ke Pesantren Ngampeldenta yang dipimpin
langsung oleh Sunan Ampel dan Jaka Samudra itu diberi nama Raden Paku (Sebelum
dititipkan ke Sunan Ampel Raden Paku bertemu ayahnya ketika masih berumur 3
tahun, dari ayahnya memberi nama Ainul
Yaqin).
Menginjak usia 26 tahun Jaka Samudra menikah dengan Siti Murtasyi’ah putri Sunan Ampel dan Siti Wardah putri dari Ki Wiryasoraja atau Ki Gedhe Bungkul. Setelah itu Raden Paku menjadi pemimpin Pelabuhan di Tandes dan menemui Ayahnya di Pasai dan setelah kedatangannya diberi segenggam tanah untuk dicarikan tanah yang sama dari warna dan baunya dan kelak ketika sudah ditemukan, Raden Paku harus mendirikan pusat Pendidikan Agama islam serupa Pesantren Ngampeldenta. Kelak jika sudah masanya diatas tanah tersebut didirikan Kadhaton Agung yang kelak disegani diseluruh Nusantara. Wilayah itu adalah wilayah Giri di Tandhes dan kelak kerajaanya yang dipimpin oleh Raden Paku (Prabhu Setmata) adalah Giri Kadhaton!
Penulis :


Komentar
Posting Komentar